BEGITU belajar di SMP di Jakarta, 1982, Prakoso Sastrowardojo, kecewa. Matematika dan Biologi, misalnya, dirasanya terlalu berat dibandingkan pelajaran yang pernah diterimanya di Australia. "Sekolah disini terasa sukar sekali," katanya. "Di Australia, sekolah menyenangkan dan terasa ringan." Di sana, 1980, ia belajar di Norwood High School, Adelaide, setingkat SMP di sini. Tak hanya Prakoso, beberapa remaja Indonesla yang pernah sekolah menengah di luar negeri dan kemudian kembali ke tanah air - atau sebaliknya - ternyata mempunyai pengalaman serupa. Berikut, beberapa hal tentang sekolah menengah di luar negeri yang oleh para remaja yang diwawancarai TEMPO dianggap menguntungkan. Mereka kebanyakan pernah duduk di bangku sekolah menengah Amerika Serikat. Sekolah dengan sedikit pelajaran dan jam belajar yang panjang. Ada sebuah anekdot dari Aman Bakti Pulungan. Anak Medan ini pada 1975 masuk Poughkeepsie High School di New York. Biasa, ia lantas diwawancarai teman-temannya, anak-anak Amerika. Ia pun bercerita antara lain, di sekolahnya, SMA Harapan Medan, ia mendapat 17 mata pelajaran dalam setahun. Siswa-siswa Amerika itu terperangah. "Anda pasti seorang jenius," kata salah seorang di antara mereka kepada Aman. Aman kaget karena merasa dirinya bukan jenius. Ia lantas menjelaskan. "Akibatnya," ceritanya kembali, "kami tahu banyak hal tapi sedikit-sedikit." Semula, Aman, yang langsung diterima di kelas III itu, di Medan, telah lima bulan duduk di tingkat yang sama jurusan IPA. Tapi bukan karena lima bulan itu ia merasa mudah mengikuti pelajaran di Poughkeepsie. Di Negeri Paman Sam ini, ia hanya harus mengikuti empat pelajaran wajib: Bahasa Inggris Sejarah Amerika, Olah Raga, dan Matematikn. Yang terakhir itu merupakan pilihan dari Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia. Selain yang wajib, Aman pun diharuskan memilih dua pilihan dari 15 pelajaran yang ditawarkan (antara lain keterampilan mengetik, memasak, pertukangan, fotografi, drama, dan musik). Anak Indonesia ini memilih fotografi dan drama. Total, ia hanya harus mengikuti enam mata pelajaran. Tapi, tak berarti ia bisa santai. Di sana anak ketiga dari empat bersaudara ini sekolah hampir seharian. Yakni, dari pukul 08.00 sampai 15.00, hanya dengan waktu istirahat makan siang satu jam. Agak lain yang dialami Heraandayani yang menempuh SMA di Beverly Hills High School, Los Angeles, awal 1980-an. Di sini pun hanya ada empat mata pelajaran wajib: Bahasa Inggris, Matematika, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Tapi pelajaran pilihan yang harus diambil Hera minimal tiga - ini untuk siswa yang pas-pasan kemampuannya. Sisa yang kemampuannya di atas rata-rata boleh menentukan pelajaran pilihan sebanyak kesanggupannya. Karena itu, bisa dimengerti bila Aman, yang menerima 17 mata pelajaran ketika di Medan, dikira jenius oleh kawan-kawannya di Amerika. Empat siswa Indonesia yang kini sedang belajar di SMA di Amerika Serikat, yang ditemui koresponden TEMO di sana, mempunyai pengalaman sama, meski di sekolah-sekolah yang berbeda. Sistem sekolah menengah di Amerika Serikat tidak seragam. Tiap-tiap sekolah diberi kemerdekaan menentukan sendiri sistem dan kurikulum. Yang sama, Bahasa Inggris dan Sejarah Amerika selalu ada di antara pelajaran wajib. Dan rata-rata di tingkat SMA-nya. Seorang siswa minimal hanya menempuh enam mata pelajaran. Bahkan di beberapa SMA sana, bagi siswa kelas terakhir (SMA Amerika sampai kelas IV) yang akan melanjutkan ke universitas pelajaran yang wajib hanya satu: Bahasa Inggris. Selebihnya, pelajaran pilihan. Di Prancis, berbeda dengan di Amerika Serikat, tampaknya jumlah mata pelajaran sedikit lebih banyak. Pun, Lycee (SMTA-nya Prancis) tidak menerapkan sistem kurikulum pilihan dan wajib. Yang ada yakni sistem penjurusan. Ada lima jurusan di Lycee. Filsafat dan Sastra, Ekonomi dan Ilmu Sosial, Matematika dan Fisika, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (rupanya, Fisika tak dimasukkan ilmu pengetahuan alam), serta Matematika dan Teknik. SMA di Jepang memberikan tujuh pelajaran wajib. Bahasa Jepang, Matematika, Ilmu Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam, Kesehatan, Olah Raga, Seni (musik, seni rupa, kaligrafi). Kemudian ada beberapa mata pelajaran pilihan, dipilih sesuai dengan rencana siswa setelah lulus SMA. Yang pilihan itu antara lain: Bahasa Asing, Matematika, Sejarah Jepang, Sejarah Dunia, Pendidikan Moral, Ilmu Politik, Ekonomi, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Tampaknya, agak mirip dengan rencana kurikulum inti dan pilihan di Indonesia. Sejumlah mata pelajaran diajarkan sebagai pelajaran wajib, tapi hanya dasar-dasarnya saja. Yang wajib itu bisa menjadi pelajaran pilihan, tentu, dengan isi yang lebih mendalam. SMA di Malaysia lain lagi. Jenjang pendidikan ini disebut Sijil Pelajaran Malaysia (SPM), lamanya cuma dua tahun. Di sini diberikan sembilan mata pelajaran, dengan catatan, enam pelajaran merupakan pelajaran pokok yang menentukan. Tampaknya, di Malaysia tidak semua lulusan SPM bisa melanjutkan ke universitas. "Hanya mereka yang hasil ujiannya cemerlang boleh melanjutkan ke universitas," tulis koresponden TEMPO di Kuala Lumpur. Dan universitas di Malaysia, dua tahun awal disebut kelas prauniversitas atau kelas Matrikulasi. Fungsinya menyiapkan lulusan SPM sesuai dengan jurusan yang dipilih siswa. Hubungan guru-murid akrab, suasana kelas menyenangkan. Inilah cerita Fauzi anak Prnf Snelaiman. dosen ITB - yang pada 1975-1981 belajar di Amerika Serikat. Fauzi menamatkan SMP di Maryland, dan melanjutkan pelajaran di Walt Whitman High School di kota itu juga. "Guru-guru mengajar dengan santai, tidak banyak basa-basi," tuturnya. Bila ada pelajaran yang tidak memerlukan menulis, misalnya sejarah, tak jarang guru mengajak murid-murid keliling kota sambil bercerita. Kadang rombongan itu mampir pula ke museum, dan terus saja Pak Guru berkisah ini itu, sementara siswa boleh bertanya apa saja. Atau, kalau tak keluar sekolah, guru mengajar murid-murid dengan santai di bawah pohon di halaman sekolah, sambil menjelaskan bagaimana Abraham Lincoln secara otodidak mempelajari hukum, menjadi ahli hukum, kemudian dipilih menjadi presiden Amerika, dan menghapuskan perbudakan. "Guru-guru di sekolah Amerika ingin benar-benar yakim bahwa murid mereka sudah memahami pelajaran yang diberikan," tutur Ami Tantra Diponegoro, yang kini duduk di kelas terakhir di San Ramon High School, Daville, California. Maka, dialog guru-murid tak hanya terbatas di dalam kelas. "Sering di kafe, sambil makan atau minum, guru menjelaskan soal-soal tertentu kepada beberapa siswa yang menanyakannya," kata Fauzi, yang kini duduk di Jurusan Mesin ITB. Bahkan suasana ruang kelas boleh diubah-ubah para siswa bila mereka menghendaki. Menurut Aman, yang belajar di Poughkeepsie High School, New York, bila murid-murid bosan dengan bangku berjajar ke belakang lantas bangku-bangku diatur sepero tapak kuda. Bosan lagi, diatur melingkar, dan guru persis di tengah mereka - ini tentu kalau pelajaran tak membutuhkan guru menulis di papan tulis. Tapi jangan dikira, keakraban guru-murid berlangsung terus. "Keakraban jadi lenyap begitu ujian tiba," tutur Ninuk Herawati yang pernah duduk di Advance Level School, London. Menurut Ninuk, yang kini kuliah di Universitas Jayabaya, di Inggris pun keakraban guru-murid seperti di Amerika juga. "Pokoknya, saya benar-benar merasa sekolah, ya, di London itu," katanya. Maksud Ninuk, guru selalu mengetes dengan cara apa saja dan di mana saja, untuk mengetahui apakah pelajarannya dipahami murid-murid. Metode belajar-mengajar mendorong murid berusaha sendiri, tidak terbatas belajar di sekolah dengan guru. Di sekolahnya di Adelaide, kata Prakoso, pelajaran terasa gampang dan praktis. Bahasa Inggris misalnya, soal tata bahasa tak ditekankan benar seperti di sekolah Indonesia. "Bahasa Inggris diberikan dengan mudah, siswa cepat memahami dan buku bahasa Inggrisnya seperti komik," tutur anak bungsu Sastrawan Soebagio Sastrowardojo ini. "Yang paling berat cuma pelajaran memulis esei," katanya lagi. Tapi itulah. Di balik "pelajaran yang gampang" itu, kebiasaan membaca dan menulis sepertinya ditekankan benar di sekolah-sekolah Amerika. "Tiap hari disuruh mengarang, dan tiap minggu harus membaca sebuah novel,' kata Ami Tantri. Dan bukan sekadar membaca, tapi juga membuat resensi novel itu, tutur Bambang Kusnaryono, yang kini belajar di High School di Boise. Idaho. Untuk mata-mata pelajaran noneksakta, metode belajar-mengajar lebih banyak berupa diskusi. "Di Indonesia saya capek menulis, mencatat pelajaran," kata Sitra, adik Fauzi, yang menempuh SD hingga kelas 1 SMP di Maryland, Amerika Serikat. Menurut Sitra, siswa didorong mencari bacaan cendiri. memhuka-huka ensiklopedi agar tak jadi kambing congek di kelas. "Kami sudah mengenal ensiklopedi dari kelas IV SD," katanya. Untuk pelajaran eksakta, lebih banyak presentasi dan praktek di laboratorium. Presentasi menggunakan gambar-gambar, slide, dan film. Dan boleh dikata, pada pelajaran Kimia misalnya, hampir seluruhnya diberikan di laboratorium. "Di laboratorium, rasanya kami ini sudah seperti ahli kimia saja," kata Ina Alibasyah Suryo, yang pernah empat tahun di Thomas Jefferson School di Arlington, Washington. Yang unik juga, di Goldenhale High School, Washington, ada yang disebut free period, pelajaran bebas. Siswa tetap di dalam kelas, tapi boleh mengerjakan apa saja. Seperti Anang Rizkani Noor dari Yogyakarta, yang sekarang belajar di situ, memanfaatkan pelajaran bebas untuk mengerjakan PR dan mempelajari buku teks. Singkat kata, gambaran guru hanya memberi dan murid menerima memang tak ada. Yang terjadi, belajar bersama dengan moderator guru. Aman, anak Medan itu, sangat terkesan ketika seorang gurunya berkata bahwa beda dia dengan murid-muridnya hanyalah dia kebetulan lebih dahulu tahu. Di Prancis, lain lagi. Pada awal-awal tingkat pertama Lycee umum (SMA), tak ada buku teks. Guru hanya memberikan judul sejumlah buku yang harus dibaca, di dalam kelas mereka berdiskusi. Asyik. Lalu soal pekerjaan rumah atau PR itu. PR benar-benar diperiksa guru, dan dari situlah guru tahu seberapa jauh siswanya memahami pelajaran. "Guru saya rajin sekali membahas PR tiap-tiap murid," tutur Sitra. Sebagaimana pelajaran yang tak terpatok pada buku teks, PR pun memberikan soal yang sering jawabannya harus dicari dari surat kabar, siaran televisi, dan buku-buku bacaan. Jadi? Boleh dikata yang dibentuk di sekolah-sekolah itu bukanlah menjejalkan pengetahuan kepada anak didik. Tapi, membentuk seorang siswa yang bisa mengembangkan diri dengan bekal pengetahuan dasar di bidang yang diminati masing-masing. Toh, pendidikan menengah di Amerika Serikat yang seperti itu bukannya tanpa cacat. The New York Times Magazine, 5 Juni 1983, menurunkan sejumlah cacat itu. Yang menyolok, meski Bahasa Inggris menjadi pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan, kini banyak lulusan SMA sana tak becus berbahasa. Conrohnya, ada siswa menulis karangan mengandung kalimat seperti ini: "Paus, tentu saja, selalu seorang pemeluk Katolik." Seperti tak ada kesadaran bahwa "bahasa mengandung konsckucnsi membcrikan makna", bukan sekadar susunan kata yang betul dari segi tata bahasa. Dan ternyata kelonggaran adanya kurikulum wajib dan pilihan ada dampak tak menyenangkan juga. Hanya kurang dari 50% siswa SMA Amerika yang mempelajari Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam selama satu tahun pelajaran. Tak lebih dari 16% yang mengambil kuliah Kimia. Akibatnya, guru Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam jumlahnya turun. Sejak 1972, guru Matematika turun sekitar 20% dan guru Ilmu Pengetahuan Alam sekitar 35%. Selain itu, pada 1981 sekitar sepertiga guru ilmu eksakta ternyata di bawah standar. Akibatnya, selama 1975-1980, sekitar 70% siswa sekolah menengah atas harus masuk kelas remedial untuk Matematika. Tampaknya, memang bukan haya soal kurikulum yang menentukan hasil pendidlkan. Para pelaksana kurikulum, ya, para guru itu, rupanya lebih berperan. Bagaimana mereka menempatkan diri dalam kelas, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Bagaimana mereka memandang para siswa, bukan sebagai obyek yang harus disuapi dan terkadang dipukul. Tapi, lebih sebagai teman yang perlu didorong agar bisa "mencari ikan sendiri" ataupun memiliki kail.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini