Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"capek saya maju-mundur"

4 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM setahun Prof.Dr. Nugroho Notosusanto, 53, menjadi menteri P & K, ia sudah merasa di "dar-der-dor" dari sana-sini. Itu karena beberapa kebijaksanaannya dalam dunia pendidikan yang banyak mengundang perdebatan, misalnya sistem seleksi dan penerimaan mahasiswa baru serta perubahan kurikulum yang menghapuskan penjurusan di SMA. Menteri yang merangkap rektor Universitas Indonesia ini mengakui, "mula-mula, ya, agak babak belur, tapi sekarang sudah bisa menyesuaikan diri", dengan kritik-kritik di media massa. Berikut wawancara TEMPO dengan Nugroho, bapak tiga anak dan guru besar sejarah Fakultas Sastra UI ini. Bagaimana sebetulnya latar belakang kebijaksanaan baru yang Anda putuskan? Sebenarnya, bukan baru. Sudah dibahas dari zamannya Pak Sjarif Thajeb (menteri P & K 1974-1978). Seperti dihapuskannya IPS-IPA di SMA itu, penganjur utamanya dulu adalah Prof. Slamet Iman Santoso. Tapi yang memutuskannya menjadi keputusan menteri, ya, baru saya. Dasarnya, karena semua itu sudah diwolak-walik, perut-pantatnya sudah diketahui semuanya. Tinggal saya maunya apa. Semua sudah dibahas secara mendalam, sudah terlalu lama terkatung-katung. Sekarang saya putuskanlah, capek saya maju-mundur. Tapi, kurikulum baru misalnya, mengapa Anda putuskan sekarang, mengapa tidak tahun depan misalnya? Kalau pembangunan begini terus, kita akan memasuki revolusi industri, yang di Eropa sudah terjadi di abad ke-19. Jadi, kita ketinggalan. Revolusi industri menyangkut bidang ekonomi dan sosial budaya. Seluruh mentalitas berubah. Revolusi industri pertama kali menghendaki dukungan dari ilmu dan teknologi untuk tenaga pelaksana. Tapi tidak kurang memerlukan dukungan dari jasa ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Karena ckonominya berubah, kulturnya berubah. Kultur sosial budaya berubah, mentalitas berubah pula. Rasa hidup manusianya berubah. Manusia yang hidup dengan gaya wedang teh yang dicor dari teko dengan manusia yang kalau mau minum tinggal memasukkan koim, keluar minuman terus dimimum, 'kan lain. Orang yang kalau mau nonton wayang orang harus pergi ke Senen dengan orang yang timggal menghidupkan televisi, nontonnya sambil leyeh-leyeh, 'kan berbeda. Untuk memasuki revolusi industri itu, pendidikan harus mengikuti. Tidak bisa lagi orang dibagi menjadi IPS, IPA, dan Bahasa. Yang kita hadapi dalam hidup terlalu kompleks, tidak sesimpel pembagian itu. Semua anak didik harus mempunyai pengetahuan dasar sama, baru setelah itu mereka harus mengembangkan diri ke arah berbagai spesialisasi, yang pilihan itu. Masalahnya tinggal apakah amak didik bisa memilih sesuai dengan pilihan dam kemampuannya, dengan pertolongan guru bimbingan dan penyuluhan, serta orangtua mereka. Kurikulum inti dan pilihan antara lain dimaksudkan mengurangi beban pelajaran yang terlalu banyak sekarang. Tapi dibanding kurikulum sekolah menengah di beberapa negara lain, apakah jumlah pelajaran itu masih akan terlalu banyak? Benar, masih terlalu banyak. Tapi nanti saya diteriaki lebih keras kalau pelajaran saya kurangi lagi. Sekarang saja sudah ada yang bilang, kurikulum baru tidak mencerdaskan anak, tapi membodohkan anak. Lho, cerdas atau bodoh 'kan tidak tergantung kuantitas. Di Amerika Serikat cuma ada enam mata pelajaran, dan itu cukup. Anak-anak Amerika 'kan tidak bodoh. Tapi apakah sekolah-sekolah kita sudah siap dengan kurikulum baru, terutama soal pelaksanaan sistem kredit? Jumlah dan mutu guru, misalnya? Yang akan direpotkan nanti adalah administrasi sekolah. Untuk mengatasi soal guru, buku petunjuk guru menjadi penting. Masalah mutu guru yang kurang paling tepat diatasi dengan buku petunjuk guru. Saya imi sudah kewalahan menyediakan guru. Seperti sistem belajar jarak jauh dan universitas terbuka itu diadakan antara lain karena hemat guru. Dan itu semua sudah disiapkan sebelum saya jadi menteri. Singkat kata, jadi memang tak benar bahwa ganti menteri ganti peraturan? Lho, saya ini dikira apa? Apa malamnya saya mimpl kunkulum inti, lalu paginya saya putuskan mengganti kurikulum? Saya menyusun kebijaksanaan memakai tiga sumber. Landasan hukum, sejarah, dan pendapat masyarakat. Landasan hukum itu berupa UUD 1945, Pancasila, GBHN, kebijaksanaan mandataris yang dicetuskan dalam berbagai kesempatan. Baik MPR, mandataris, maupun saya dalam menentukan kebijaksanaan tentu memakai yang dinamakan pelajaran dari sejarah. Saya, khususnya, memakai sejarah pendidikan nasional. Yang serius saya pakai adalah sejarah zaman Orde Baru, sebab saya mempunyai nota jabatan terakhir dari dua menteri pendahulu saya. Dari Pak Sjarif Thajeb dan Pak Daoed Joesoef. Semua itu dijadikan pertimbangan sebelum menentukan suatu kebijaksanaan. Saya ini pembantu mandataris. Jadi, jangan sampai saya mempunyai ilusi saya menentukan policy sendiri. Klira-klirunya (salah-salah) saya itu membawa nama presiden, jadi saya harus hati-hati. Dan saya bekerja untuk semua anak, bukan cuma untuk anak saya. Anda sering kali menekankan bahwa jabatan menteri terbatas waktunya, hingga tak mungkin semua program terlaksana. Idealnya, berapa tahun jabatan menteri P & K? Di negara maju, yang pendidikannya sudah mempunyai landasan kuat, satu tahun pun cukup. Tapi kita, negara berkembang, berapa tahun dibutuhkan seorang menteri pendidikan dan kebudayaan membuat persiapan tinggal landas, saya tak tahu. Tergantung GBHN memerintahkan apa, ya, itu yang harus dijalankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus