Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Senyuman Setelah Darurat Sipil

Aceh memasuki status darurat sipil. Apa dampaknya bagi pemeriksaan dugaan korupsi Gubernur Abdullah Puteh?

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH Abdullah Puteh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, kini lebih cerah. Padahal, hari-hari sebelumnya, putra Meunasah Arun, Aceh Timur, ini terkesan menghindari insan pers. Namun, Kamis siang pekan lalu, ia menyempatkan diri menerima wawancara sejumlah wartawan di kediamannya sebelum terbang ke Jakarta. "Kalian kan lihat wajah saya. Tegar, kan? Kalau saya bersalah, pasti saya takut," katanya. Gubernur berusia 54 tahun ini boleh bernapas lega. Hari itu baru sehari ia menjadi Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) di tanah kelahirannya. Pemerintah pusat di Jakarta, Selasa malam pekan lalu, menetapkan penurunan status wilayah paling bergolak di barat Indonesia itu dari darurat militer menjadi darurat sipil. Perubahan status itu disampaikan langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara. "Setelah melalui beberapa kali sidang kabinet, dan setelah melalui konsultasi dengan DPR, saya menyatakan darurat militer yang berlaku di Aceh selama setahun ini menjadi darurat sipil," kata Presiden. Sebagai PDSD, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959, posisi alumni Jurusan Planologi Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung ini makin kuat, termasuk di depan hukum. Soalnya, ia menjadi penguasa tertinggi di daerah dan membawahkan TNI dan polisi. Kewenangan besar inilah yang di mata banyak khalayak akan mempersulit upaya hukum yang sedang dilakukan untuk membongkar kasus korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Maka bertalu-talulah desakan diajukan agar Presiden menonaktifkan Abdullah Puteh sebelum menjadi PDSD. Di Banda Aceh, ratusan mahasiswa dari berbagai kampus mengawali awal pekan dengan menggelar demonstrasi di depan gedung DPRD, kantor kejaksaan tinggi, dan Simpang Lima di pusat ibu kota Serambi Mekah. Di Jakarta, suara keras muncul dari Permadi, S.H., anggota Komisi Pertahanan DPR; Zoemrotin, Ketua Tim Aceh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; dan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam). Apa sebenarnya yang ditudingkan ke mantan Wakil Sekretaris Jenderal Golkar itu? Solidaritas Masyarakat Antikorupsi (Samak) Aceh mensinyalir sedikitnya ada tiga kasus besar korupsi yang diduga melibatkan Puteh: dugaan korupsi pembelian mesin pembangkit listrik Lhueng Bata senilai Rp 30 miliar, proyek perusahaan penerbangan Seulawah Air yang akhirnya gulung tikar, dan dugaan penggelembungan harga pembelian helikopter Mi-2 dari Rusia seharga Rp 12 miliar. Belum lagi yang terkait dengan Ladia Galaska. Untuk kasus mesin pembangkit listrik, Penguasa Darurat Militer Daerah bersama polisi yang memeriksa kasus ini pernah menahan Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, T.M. Lizam. Lizam kemudian dilepaskan karena bukti-buktinya dianggap masih tipis. Namun dalam kasus ini sudah ada tersangka yang diseret polisi, yakni William Taylor, kontraktor rekanan Pemerintah Provinsi Aceh. Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Bachrumsyah Kasman pun berjanji akan mengambil jalan lurus, termasuk meminta izin presiden jika Puteh diperlukan untuk pemeriksaan. "Mau darurat sipil, darurat militer, atau darurat perang sekalipun, penegakan hukum tetap harus dijalankan," ujarnya. Markas Besar Kepolisian RI telah menurunkan seorang jenderal bintang satu, Direktur Tindak Pidana Korupsi, Brigjen Sugiri. Tim lain dari Mabes Polri untuk menelisik sepak terjang Puteh dalam penggunaan dana provinsi pun masih berada di Aceh. Sedangkan kejaksaan tinggi, seperti kata Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Andi Amir Achmad, sedang meneliti praktek patgulipat pembelian helikopter tahan peluru itu. Namun, apa masih dapat dipercaya langkah polisi dalam menangani kasus korupsi? Hal inilah yang dipertanyakan para aktivis lembaga swadaya masyarakat di Aceh, yang dari semula membongkar kasus-kasus korupsi itu. Seperti dikatakan Akhiruddin, Koordinator Solidaritas Antikorupsi di Aceh (Sorak), "Kapolda sendiri sekarang berada di bawah Penguasa Darurat Sipil. Jadi, siapa yang bisa menjamin?" Puteh sendiri tampak semakin percaya diri. "Saya bersedia yang pertama diperiksa untuk mengklarifikasi isu-isu yang selama ini sengaja diwacanakan (kepada saya)," katanya. Sampai di sini, tampaknya skor 1 : 0 buat Puteh. Edy Budiyarso, Yuswardi Suud (Banda Aceh), TNR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus