AKHIRNYA para peserta sidang Tanwir sepakat: pengertian tajdid (pembaruan) harus dirumuskan kembali. Dan rumusannya akan disinkronkan dengan isi GBHN mendatang. Itulah keputusan terpenting Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta yang berakhir hari Minggu malam lalu. Buat banyak orang, ini diartikan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan pembaru tetap terbuka untuk melakukan koreksi diri dan beradaptasi. H.A.R. Fakhruddin, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebelum Tanwir memang mengharapkan agar pertemuan itu bisa menggugah warganya. "Biar orang-orang Muhammadiyah yang tradisional terbuka pikirannya dan siap menghadapi kemajuan." Kesepakatan untuk "menajamkan pengertian tajdid" tercapai setelah menjadi perbincangan menarik dalam Komisi IV. Ketua Majelis Tablig PP Muhammadiyah Dr. Amien Rais dalam makalahnya yang berjudul "Muhammadiyah Menyongsong Abad ke-21", menyatakan secara tegas bahwa perlu dilakukan redefinisi tajdid terhadap tajdid yang pernah dilakukan Muhammadiyah. Menurut penglihatan Amien, Muhammadiyah pada mulanya, memang, berhasil memberantas penyakit TBC -- takhayul bid'ah, dan churafat. Sebagai gerakan tajdid, ia berhasil meluruskan umat agar memberikan zakat kepada yang berhak, dan bukan kepada kiai. Salat Ied juga dapat dialihkan dari masjid ke lapangan. "Tapi temuan-temuan itu sangat dipengaruhi oleh keadaan masyarakat pada waktu itu," katanya. Sekarang suasananya sudah lain. Muhammadiyah sudah membesar. Permasalahan yang dihadapi pun kian kompleks. Pergeseran nilai juga terjadi cukup tajam. Masyarakat sekarang cenderung berpikir pragmatis. Semua ini pada gilirannya dapat mendorong munculnya etika dan moralitas situasional. Untuk itu Amien mengajukan tiga alternatif. Pertama, perbaikan organisasi: jangan sampai Muhammadiyah terjebak dalam rawa-rawa rutinisme. "Kita tidak dapat lagi mengelola organisasi secara amatiran. Perlu profesionalisme," katanya. Kedua, melakukan penyegaran kepemimpinan. Dalam hal ini, "Perlu dilakukan rekruitmen tenaga yang potensial dan penuh perhitungan ke depan. Rekruitmen gaya lillahi ta'ala perlu segera diakhiri," katanya. Yang ketiga menyangkut pembinaan kader. Banyak putra-putri dari keluarga Muhammadiyah yang tidak tertarik untuk masuk IPM, Nasyi'atul Aisiyah, atau IMM. Padahal, jumlah anggota Muhammadiyah Jutaan orang. Ia memiliki 40 perguruan tinggi, ribuan sekolah, 12 rumah sakit besar, serta 3 ribu buah masjid. Tetapi mengapa putra-putri sendiri kurang tertarik? Sementara itu, Ahmad Ahar Basyir, Ketua Majelis Tarjih, menyatakan bahwa untuk menatap ke depan sebenarnya Muhammadiyah sudah mempunyai rumusan. Yaitu pembersihan dari pengaruh non-Islam (tandhif), pemahaman dan pengembangan ajaran Quran, serta penerapannya. Untuk masa kini, dua faktor yang terakhirlah yang perlu ditingkatkan. Di dalam memahami Quran, misalnya, tidak boleh dilakukan secara sepotong-sepotong. Dan tentang penerapan ajaran Quran, Muhammadiyah sebenarnya sudah melakukan penajaman. Untuk masa sekarang ini yang penting adalah melakukan penajaman tajdid. Rumah jompo, umpamanya, "Itu 'kan tidak sesuai dengan ajaran Islam," katanya. Adalah tugas seorang anak untuk berbakti dan merawat orangtua. Anehnya, Muhammadiyah punya rumah jompo. Sebab itu, Muhammadiyah perlu meluruskan diri. Perlu melakukan tajdid. Di sini tampak adanya persesuaian pendapat antara Azhar Basyir dan Amien Rais. Keduanya menginginkan peninjauan kembali terhadap gerakan tajdid yang telah dilakukan. Akhirnya, makalah Amien Rais disepakati oleh majelis. Hanya, ada 3 butir tambahan dari sidang. Yaitu mengenai teologi kerahmatan ala Muhammadiyah (lil alamin), peningkatan dan pengembangan potensi Muhammadiyah dan penyegaran kembali etos Muhammadiyah yang kini sudah luntur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini