Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sisa-sisa pengkotakan

6 mahasiswa institut pertanian malang dianggap tak layak ikut ujian negara karena lulusan sma ips. mereka mengadukan ipm ke ikadin cabang malang. prestasi keenam mahasiswa itu, tergolong baik.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORBAN pengkotakan SMA menjadi jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang merupakan bagian dari sistem Kurikulum 1975, masih ada. Di Insitut Pertanian Malang (IPM) di Malang, Jawa Timur, enam mahasiswa tak memperoleh Nomor Induk Registrasi Mahasiswa (NIRM). Padahal, nomor itu bukan sekadar angka: NIRM syarat mutlak untuk menempuh ujian negara. Sebenarnya keberanian institut bidangeksakta yang baru berumur dua tahun ini menerima lulusan IPS mestinya pantas dipuji. Keberanian itu bertolak dari imbauan Menteri P & K kala itu, Nugroho Notosusanto (almarhum), yang menyatakan perguruan tinggi jangan menganaktirikan siswa IPS. Selain itu, di awal dan sebelum 1980 beberapa perguruan tinggi negeri -- antara lain Unair (Surabaya) dan UGM (Yogyakarta) -- mencoba pula menerima lulusan IPS untuk jurusan eksakta. Pihak Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) yang berkuasa mengeluarkan NIRM tampaknya punya pandangan lain. Prof. Abdul Gani, S.H., Ketua Kopertis VII, yang wilayahnya mengikuti Malang, menegaskan, "Dari IPS masuk jurusan eksakta memang tidak boleh." Kopertis tak mengada-ada. Ketika turun peraturan tentang NIRM, pada 1978, yang ditandatangani oleh Dirjen Pendidikan Tinggi, disebutkan yang berhak mendapat nomor adalah mahasiswa dengan "ijazah/ STTB dari SLTA negeri sejurusan," atau SLTA swasta yang sederajat dengan negeri. Soal "sejurusan" itulah yang bermaksud mengatur siswa lulusan IPS hanya boleh ke bidang sosial-budaya, sementara lulusan IPA boleh ke mana saja. NIRM itu diharuskan, antara lain untuk memantau jumlah mahasiswa swasta. Abdul Gani sebenarnya juga bermaksud baik: menjaga agar mereka tak gagal kuliah. Ia mengambil pelajaran dari, antara lain Unair, yang menyatakan bahwa eksperimennya menerima lulusan IPS masuk eksakta gagal (TEMPO 21 Juli 1979). Bila kemudian keenam mahasiswa mengadukan IPM -- bukan Kopertis VII -- ke Ikadin cabang Malang, urusan langsung mahasiswa memang dengan kampusnya. Soal NIRM itu urusan Institut dan Kopertis. Dari pihak IPM sendiri, sebenarnya ada upaya memecahkan soal ini. Menurut Dadang Djumena, Ketua Yayasan Pembangunan Nasional, pendiri IPM, sudah disediakan tiga cara: mahasiswa diusahakan mengikuti ujian persamaan SMA jurusan eksakta, tetap di IPM dengan hanya gelar lokal, tapi kalau lulus nanti diiamin lapangan kerjanya: terakhir, pindah ke perguruan tinggi swasta yang lain. "Prestasi keenam mahasiswa itu, meski dari IPS, tergolong bagus," tambahnya. Kini, pihak Ikadin sedang berupaya menyelesaikan soal dengan damai, tutur Sukiman Dahlan Saleh, humas Ikadin Malang. Sementara itu, keenam mahasiswa yang telah mengikuti kuliah empat semester itu mengajukan dua alternatif. Yaitu, bila harus keluar minta ganti rugi masing-masing Rp 6 juta. Bila tetap dibolehkan kuliah, mereka menuntut agar dibebaskan dari biaya kuliah, dan semua ongkos ujian negara. Kasus yang pertama kali terjadi di Indonesia ini tentulah merepotkan pihak IPM yang baru memiliki tiga fakultas -- Pertanian, Teknologi Pertanian, dan Kehutanan. Dengan 300 mahasiswa, Dadang Jumena (bekas suami penyanyi Ernie Johan), merasa berat seandainya harus membayar uang ganti rugi itu. "Kami ini mendirikan IPM dengan ikhlas demi menunjang pendidikan, bukan bertujuan komersial," katanya kepada wartawan TEMPO Budiono Darsono. Ia menduga, soal ini terhambat karena birokrasi saja. Prof. Dr. Yuhara Sukra, Direktur Perguruan Tinggi Swasta, mengakui bahwa kebijaksanaan swasta mestinya mengikuti yang negeri, yang telah membebaskan lulusan SMA jurusan apa saja untuk masuk bidang apa saja. "Tapi swasta memang tak secepat negeri," tambahnya. Ia, yang belum menerima laporan ihwal IPM ini, agak heran, dan tak bersedia memberikan tanggapan lebih jauh. Yang pantas disayangkan adalah, gaya "paternalisme" Kopertis VII, yang belumbelum sudah memvonis bahwa yang dari IPS bakal gagal di IPA. Sri Indrayati, Laporan Biro Surabaya & Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus