Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETEGANGAN di laut antara nelayan tradisionil dengan para
pemilik pukat harimau trawl) tampaknya belum juga mereda.
Berbagai peraturan dari pemerintah daerah maupun pusat sudah
mencoba merubah keadaan itu. Namun belum menunjukkan tanda-tanda
perdamaian.
Untuk perairan di kawasan Sumatera Utara keadaan serupa itu
makin terasa juga. Karena itu akhir 1977 lalu Gubernur Marah
Halim mengeluarkan SK nomor 848. Dalam keputusan ini ditentukan
bahwa surat izin berlayar bagi kapal-kapal perikanan di perairan
Sumatera Utara hanya diberikan jika telah mendapat surat izin
usaha perikanan dan surat izin kapal perikanan dari gubernur.
Lebih penting dari itu, SK tadi juga menetapkan bahwa penggunaan
kapal motor pukat harimau di perairan daerah itu hanya
diperkenankan bagi yang berukuran 10 ton ke atas. Untuk ukuran
6 ton ke bawah hanya sampai 17 Desember 1977 lalu dan untuk 6,1
ton hingga 10 ton hanya diberi izin hingga akhir Maret 1978.
Tentang jermal (bagan) ditetapkan: dilarang memindahkan posisi
ke tempat lain dari yang tertera di dalam surat izin. Untuk
sementara tak dikeluarkan izin jermal baru.
Tentu saja SK 848 itu cukup membuat kecut hati para pengusaha
pukat harimau. Sebab seperti diungkapkan seorang pejabat di
Kantor Gubernur Sumatera Utara. di perairan propinsi ini
terdapat 875 buah trawl dan sekitar 100 buah di antaranya tak
memiliki izin alias liar. Dari jumlah itu 429 di antaranya
berukuran 10 ton ke atas (kecuali yang liar). Berdasar SK tadi
berarti mulai Apnl nanti hanya jumlah itu saja yang boleh
beroperasi. Lalu bagaimana nasib yang kecil-kecil? "Mungkin
terus juga beroperasi dengan menggunakan alat jaring," jawab RH
Gultom Ketua Pernuputra (Persatuan Nelayan Usaha Pukat Tarik)
Asahan.
Sementara, Mungkin
Tapi lebih penting dari itu bagi Gultom, SK Gubernur Sumatera
Utara tadi belum tentu meredakan ketegangan di laut seperti
diharapkan. "Kalau untuk meredakan ketegangan sementara
mungkin," katanya. Diungkapkannya, pertikaian antara nelayan
tradisionil dengan pukat harimau selama ini berpangkal pada
pelanggaran areal yang banyak dilakukan trawl. Tapi kesalahan
tak semata-mata dibuat oleh pihak itu. Menurut Gultom kelemahan
mental petugaspetugas negara sebagai pengawas perairan cukup
punya peranan. Bahkan terkadang secara tak langsung mendorong
terjadinya pelanggaran. Sambil menunjukkan setumpuk foto-kopi
surat perintah penyitaan surat izin berlayar pukat harimau dari
Kamla Tanjung Balai, diungkapkannya pula "hampir tiap minggu ada
penangkapan, tapi hanya berapa yang sampai di pengadilan."
Tapi barangkali Gultom tak perlu begitu ragu, jika saja Brigen
Ismail hendak menepati janjinya. Panglima Kodam II Bukit Barisan
ini awal bulan ini berkunjung ke pantai Bagan Asahan dan Teluk
Nibung--keduanya di Kabupaten Asahan. Di perairan kabupaten ini
terdapat sekitar 500 buah pukat harimau. Jika SK tadi berjalan
hanya tinggal 30 hingga 40 buah saja trawl di sini yang boleh
beroperasi. Di Teluk Nibung Brigjen Ismail mengungkapkan bahwa
dari hasil peninjauannya di daerah Asahan, ternyata SK 848 tadi
belum terlaksana seluruhnya. Ia meminta seluruh pejabat yang
berhubungan dengan pengamanan SK tadi agar benar-benar
melaksanakannya. "Kalau tidak, terpaksa saya akan turun tangan
dengan jalur Opstibda," kata Panglima. Begitu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo