Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Soroti Revisi UU Penyiaran, Pengamat: RI Tidak Boleh Mundur ke Zaman Kegelapan

Pengamat menilai revisi UU Penyiaran bisa membawa Indonesia mundur ke zaman kegelapan di mana rezim mengebiri kemerdekaan pers.

27 Mei 2024 | 08.39 WIB

Jurnalis melakukan unjuk rasa damai di Gedung DPRD Sumatera Utara, Medan, Selasa, 21 Mei 2024. Jurnalis dari perwakilan organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Medan dan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Medan tersebut menolak rancangan undang-undang (RUU) no 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang dinilai menghalangi tugas jurnalistik dan kebebasan pers. ANTARA/Yudi Manar
Perbesar
Jurnalis melakukan unjuk rasa damai di Gedung DPRD Sumatera Utara, Medan, Selasa, 21 Mei 2024. Jurnalis dari perwakilan organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Medan dan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Medan tersebut menolak rancangan undang-undang (RUU) no 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang dinilai menghalangi tugas jurnalistik dan kebebasan pers. ANTARA/Yudi Manar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menyoroti revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau revisi UU Penyiaran yang menuai polemik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Jamiluddin mengatakan revisi UU Penyiaran harus ditolak bila tidak sejalan dengan kemerdekaan pers. "Sebab, Indonesia tidak boleh mundur ke zaman kegelapan di mana rezim berkuasa mengebiri kemerdekaan pers," kata dia dalam keterangan resminya pada Senin, 27 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menilai, kalau revisi UU Penyiaran ingin tetap dilanjutkan, pasal-pasal yang bertentangan dengan kemerdekaan pers harus ditiadakan. Dengan begitu, kata dia, pasal yang melarang investigative reporting harus dicabut.

Menurut Jamiluddin, ini lantaran laporan investigasi adalah bagian dari kontrol sosial yang diperlukan dalam demokrasi. Dia menuturkan, jenis laporan tersebut ibarat ruhnya demokrasi.

"Jadi kalau investigative reporting ditiadakan, itu sama saja ingin memberangus kemerdekaan pers. Ini tidak sejalan dengan konstitusi dan amanat reformasi," tutur Jamiluddin.

Mantan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta ini juga menyoroti muatan lain dalam revisi UU Penyiaran, yakni upaya mengalihkan sebagian tugas Dewan Pers ke Komisi Penyiaran Indonesia alias KPI.

Menurut Jamiluddin, ini juga tidak sejalan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU 40/1999 itu disebutkan, persoalan produk jurnalistik ditangani oleh Dewan Pers. 

"Hal ini, selain memunculkan dualisme, juga tidak memenuhi prinsif efektif dan efisien suatu lembaga didirikan," ucap dia.

Jamiluddin menuturkan, revisi UU Penyiaran harus membatasi cakupan penyiaran. Badan Legislatif DPR RI, kata dia, idealnya membatasi pengertian penyiaran yang berlaku universal. Sehingga revisi undang-undang ini tidak menyasar yang bukan ranah penyiaran.

 

 

 

 

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus