Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kamar itu masih seperti 20 tahun lalu saat Tragedi Trisakti pecah. Buku-buku dan diktat kuliah Hafidhin Royan tersimpan rapi di lemari. Sunarmi Junus kemudian menunjuk satu buku yang terdapat noda berwarna coklat. “Itu buku terakhir yang dia bawa, warna coklat di diktat itu bercak darah,” ujar Sunarmi saat menemani Tempo melihat kamar anaknya di Jalan Sirnagalih, Bandung, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Hafidhin Royan adalah mahasiswa jurusan Teknik Sipil Universitas Trisakti yang gugur ditembus peluru aparat saat aksi unjuk rasa 12 Mei 1998 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tragedi Trisakti itu memukul keluarga Sunarmi Junus. Ayah Hafidhin, Enus Junus, menjadi orang yang sangat terpukul atas kematian anaknya yang ditembak aparat. Sebagai seorang pegawai negeri saat itu, Enus yang telah lama mengabdi pada negara harus menghadapi kenyataan pahit: Anaknya dibunuh justru oleh aparat negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Huda Nurjanti, kakak Hafidhin Royan berkisah, sejak Tragedi Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa termasuk sang adik, bapaknya itu kerap mengliping berita. Ia pun rajin merawat kamar anaknya. Semua barang milik anak lelaki satu-satunya di keluarga itu dia pajang. "Awalnya, hanya untuk dinikmati oleh Bapak, hingga akhirnya tersebar dari mulut ke mulut oleh orang-orang," kata Huda.
Ibu Hafidhin Royan, Sunarmi Junus, 76 tahun di rumahnya, Jalan Sirnagalih, Kota Bandung, 29 April 2018. Tempo/Caesar Akbar
Kamar itu seperti bercerita tentang Tragedi Trisakti yang ikut menghilangkan nyawa Hafidhin Royan. Peristwa 20 tahun lalu itu terpatri dari foto-foto yang dipajang di sana. Sebuah pigura berisikan tulisan, “Perjuanganmu akan kami teruskan sampai titik darah penghabisan” terpampang di dinding berbaur dengan foto, lukisan, poster band, tempelan kucing Garfield, pajangan mobil Volkswagen, hingga piagam milik Hafidhin.
Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 lalu berawal dari unjuk rasa yang digelar kampus biru itu untuk menuntut reformasi. Kondisi negara yang saat itu sedang kritis dengan ekonomi yang hancur membuat mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut pergantian rezim. Mahasiswa Trisakti yang turun ke jalan awalnya berunjuk rasa dengan damai. Mereka bahkan sempat membagikan bunga kepada polisi yang berjaga.
Tapi saat matahari tergelincir di sore hari, suasana tiba-tiba berubah chaos. Aparat keamanan menembakkan gas air mata dan peluru dari senjata laras panjangnya. Heru P Sanusi, dosen Universitas Trisakti ingat betul, bunyi desing peluru yang mengenai dinding kampus. Heru pun menjadi saksi kebrutalan aparat yang menewaskan mahasiswanya. Ia mengangkat tubuh seorang mahasiswa yang ditembak di bagian lehernya. Mahasisa itu kemudian diketahui sebagai Hendriawan Sie yang kuliah di Fakultas Ekonomi.
Hendriawan menjadi korban bersama Hafidhin Royan, Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto. Sunarmi meyakini Hafidhin Royan ditembak dengan peluru tajam. "Lubang masuknya sebesar 0,6 sentimeter. Saat dibalik, batang otaknya sampai tersembul," ujar ibu lima anak itu. Dia menyebut darah itu mengenai ransel Hafidhin sebelum membercaki buku-buku di dalamnya.
Pada saat Tragedi Trisakti terjadi, Sunarmi tengah berada di Jakarta karena Huda, kakak Hafidhin baru saja melahirkan. Ia mendengar peristiwa itu melalui telepon dari seorang mahasiswa Trisakti. Sunarmi kemudian meluncur ke Sumber Waras. Ia menemui anaknya telah terbujur kaku dengan luka tembak di kepala.
"Ibu yang lain sempat pingsan, alhamdulillah saya masih diberi kekuatan," tutur dia. Sunarmi sekeluarga akhirnya mengantar Hafidhin untuk dimakamkan di belakang rumahnya di Bandung pada Rabu, 13 Mei 1998 sekitar pukul 06.00 WIB. Sebelum itu, jenazah Hafidhin telah terlebih dahulu diotopsi dan disemayamkan di kampus Trisakti.
Wafatnya Hafidhin, kata Sunarmi, sangat memengaruhi suaminya. "Bapak dan Pak Bagus (ayah Elang Mulya) stres berat karena meninggalnya anak kita, itu sangat tampak," ujar dia. Hampir setiap menjelang tanggal 12 Mei sang suami selalu merasa tak tenang. Sebab, setiap tahunnya kenangan yang hampir dilupakan suaminya itu kembali tampak menjelang tanggal tersebut.
Bahkan, Sunarmi merasa peristiwa itu pun memengaruhi alam bawah sadar suaminya. "Pernah ketika kami sahur bersama, Bapak terus ngomong yang aneh-aneh, memanggil Royan," tutur dia. Beban pikiran itu, ujar Sunarmi, kemudian memengaruhi kesehatan suaminya hingga akhirnya sang suami meninggal di usianya yang ke 64 tahun pada 2006 lalu.
Selain sang suami, Sunarmi menuturkan kematian Hafidhin juga memengaruhi anak bungsunya, Hayyu Rakhmia, yang kala itu masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Atas. "Nilainya jadi banyak merahnya," kata dia. "Biasanya kalau enggak bisa itu minta diajarin hafidin pas dia pulang."
Setelah 20 tahun reformasi, kasus meninggalnya empat mahasiswa Trisakti masih menyisakan tanya. Pemerintah memang telah menghukum beberapa polisi yang saat itu bertugas. Namun hingga kini tak diketahui dari mana perintah penembakan itu berasal dan siapa pucuk pimpinan yang bertanggung jawab.
Sunarmi geram, karena berbagai rekomendasi yang dikeluarkan tim gabungan pencari fakta tragedy Trisakti tak ditindaklanjuti pemerintah. Harapan sempat timbul di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu orang tua korban Tragedi Trisakti diundang ke Istana untuk pemberian gelar pejuang reformasi.
Suasana Malam Gelora, yang memperingati 20 tahun Tragedi Trisakti di Kampus A, Grogol, Jakarta, 11 Mei 2018. TEMPO/Maria Fransisca Lahur.
Sunarmi mengatakan di sisa usianya, dia masih mengejar tanggung jawab negara atas kematian sang anak. Hingga kini pemerintahan Joko Widodo, Sunarmi tetap menagih janji presiden yang pada saat kampanye mengatakan akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Sayang memang, orang yang diminta menangani masalah ini adalah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto. Sunarmi mengatakan Wiranto memang pernah mengajak bertemu para orang tua korban, namun saat itu ia tak bisa hadir. Menurut Sunarmi, Wiranto yang saat itu menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang juga membawahi Polri harusnya ikut bertanggung jawab. “Harusnya bertanggung jawab.”
Keinginan agar Wiranto bertanggung jawab atas Tragedi Trisakti juga diungkapkan Lasmiyati. Ibunda Heri Hartanto itu mengatakan saat bertemu dengan orang tua korban Wiranto berjanji akan membicarakan masalah Tragedi Trisakti ini dengan Presiden Jokowi. Janji tinggalah janji. Lasmiyati kini masih tetap menuntut pemerintah melaksanakan janjinya mengungkap dalang penembakan di Trisakti. “Harusnya negara bertanggung jawab,” kata dia sebelum berziarah ke makam anaknya di Tanah Kusir pada Rabu 9 Mei 2018 lalu.