Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH satu dasawarsa terakhir ini tak banyak terdengar kabar
dari Burma. Karena negeri itu memang menutup diri di bawah
pemerintahan Ne Win yang terkenal getol melancarkan sosialsme
ala Burma.
Tapi sekitar pertengahan Pebruari lalu, seorang staf fotografer
AP Neal Ulevich berhasd menyusup ke sana dan menggarap pelbagai
aspek kehidupan daerah pedalaman serta ibukotanya: Rangoon.
Satu hal yang menarik dari hasil politik tutup pintunya Burma
adalah seperti nampak di pasaran Taunggyi, di daerah Shan,
bahan-bahan kecantikan, batere, pena, semir sepatu dan
barangbarang keperluan lain sehari-hari adalah merupakan benda
selundupan, baik dari Thailand maupun dari seantero negara
tetangga lainnya. Dan pemerintah Burma agaknya lebih suka
berlagak pilon saja terhadap hal itu sebagai satu cara menopang
roda perekonomiannya.(No. 1).
Masih di daerah yang sama ditampilkan satu potret wanita
sedang menikmati sebatang cerutu. Ini rupanya sudah kebiasaan
sebari-hari bagi penduduk, tak terkecuali kanak-kanak sekalipun.
(No. 5).
Perempuan di sana terbilang makhluk yang aktif dalam tata hidup
sehari-hari, di danau Inle, misalnya, yang terletak di
perbukitan Shan pada ketinggian sekitar 1.500 M, kaum wanita ini
berbelanja dengan menggunakan sampan-sampan. Sebab pasarnya pun
merupakan pasar terapung. (No. 6).
Sementara kaum prianya berdayung ke jurusan lain,
untung-untungan mencari ikan di danau yang tenang dan jernih
itu. (No. 2).
Mereka memang kaum mukimin di sekitar danau ini, yang mendirikan
rumah di pulau-pulau, yang tak lebih dari tanah terapung (No.
3). Karena mereka sehari-harinya memang berada di daerah danau
ini, maka mereka menamakan dirinya sebagai Inthe alias putera
sang danau.
Sebegitu jauh tak ada soal bagi mereka ada atau tidaknya jalan
raya, sehingga semua orang - termasuk pengemis, bila bepergian
selalu menggunakan sampan.
Sedangkan di kota besar, seperti di Rangoon, keadaannya juga tak
lebih menggembirakan, Kendaraan bermotor hampir bisa dihitung
dengan jari, sehingga kendaraan yang ada pun bakal minta ampun
untuk menggotong penumpang, (No, 4).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo