Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Burma: di pedalaman dan di kota

Fotografer ap neal ulevich berhasil menyusup membuat foto-foto pelbagai aspek kehidupan daerah pedalaman burma serta kota rangoon. (ils)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH satu dasawarsa terakhir ini tak banyak terdengar kabar dari Burma. Karena negeri itu memang menutup diri di bawah pemerintahan Ne Win yang terkenal getol melancarkan sosialsme ala Burma. Tapi sekitar pertengahan Pebruari lalu, seorang staf fotografer AP Neal Ulevich berhasd menyusup ke sana dan menggarap pelbagai aspek kehidupan daerah pedalaman serta ibukotanya: Rangoon. Satu hal yang menarik dari hasil politik tutup pintunya Burma adalah seperti nampak di pasaran Taunggyi, di daerah Shan, bahan-bahan kecantikan, batere, pena, semir sepatu dan barangbarang keperluan lain sehari-hari adalah merupakan benda selundupan, baik dari Thailand maupun dari seantero negara tetangga lainnya. Dan pemerintah Burma agaknya lebih suka berlagak pilon saja terhadap hal itu sebagai satu cara menopang roda perekonomiannya.(No. 1). Masih di daerah yang sama ditampilkan satu potret wanita sedang menikmati sebatang cerutu. Ini rupanya sudah kebiasaan sebari-hari bagi penduduk, tak terkecuali kanak-kanak sekalipun. (No. 5). Perempuan di sana terbilang makhluk yang aktif dalam tata hidup sehari-hari, di danau Inle, misalnya, yang terletak di perbukitan Shan pada ketinggian sekitar 1.500 M, kaum wanita ini berbelanja dengan menggunakan sampan-sampan. Sebab pasarnya pun merupakan pasar terapung. (No. 6). Sementara kaum prianya berdayung ke jurusan lain, untung-untungan mencari ikan di danau yang tenang dan jernih itu. (No. 2). Mereka memang kaum mukimin di sekitar danau ini, yang mendirikan rumah di pulau-pulau, yang tak lebih dari tanah terapung (No. 3). Karena mereka sehari-harinya memang berada di daerah danau ini, maka mereka menamakan dirinya sebagai Inthe alias putera sang danau. Sebegitu jauh tak ada soal bagi mereka ada atau tidaknya jalan raya, sehingga semua orang - termasuk pengemis, bila bepergian selalu menggunakan sampan. Sedangkan di kota besar, seperti di Rangoon, keadaannya juga tak lebih menggembirakan, Kendaraan bermotor hampir bisa dihitung dengan jari, sehingga kendaraan yang ada pun bakal minta ampun untuk menggotong penumpang, (No, 4).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus