Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAKI-LAKI itu, 48 tahun, bernama Djapar. Karena ia berasal dari
Bugis, orang-orang di Cilacap kemudian memanggilnya Djapar
Bugis.
Bagaimana Djapar kemudian terdampar di Cilacap, cukup
berliku-liku riwayatnya. Tahun 1950, Djapar -- tanpa menerangkan
apa sebabnya -- telah membunuh seseorang di Makassar (kini
Ujungpandang). Karena perbuatannya itu, Djapar harus menjalani
masa hukumannya 19 tahun 6 bulan. Cukup banyak rumah penjara
yang pernah diinapinya Tanggerang, Glodok, Cipinang (semuanya di
Jakarta), kemudian pindah ke penjara Semarang, Ambarawa,
Kutoarjo, Magelang, Cilacap dan terakhir di Nusakambangan.
Tahun 1969, utang Djapar kepada penjara lunas. Setahun kemudian,
ia berhasil bekerja di proyek tambang pasir besi Cilacap sebagai
mandor. Proyek selesai, Djapar menjadi nelayan. Sementara itu ia
telah menikah dengan Sutinah, kini 27 tahun, dan punya 4 orang
anak.
Biasanya, Djapar pergi mencari udang karang di perairan
Karangbolong, Nusakambangan. Anaknya yang berusia 7 tahun,
Surito selalu menyertai sang ayah. Seperti kebanyakan
orang-orang laut di sekitar Sulawesi atau Banda, Djapar adalah
juga penyelam alam. Akhir Juli, 1979, ketika ia menyelam di
kedalaman 10 - 12 meter ia melihat bongkahan karang yang
bentuknya agak aneh. Benda itu cukup berat kalau dibandingkan
dengan bongkahan karang biasa. Dari pada pulang dengan tangan
kosong, bongkahan itu dibawanya pulang. Beberapa hari, bongkahan
itu menghiasi sudut luar rumah pondoknya. Tergeletak begitu
saja, tak ada yang menggubris.
Syahdan, suatu hari ketika Djapar menganggur, dia teringat akan
bongkahan itu. Dibersihkannya. Ketika itu lapisannya terkelupas
-- dan ia temukan sebatang logam yang berukuran lebar 10 cm,
panjang 40 cm, tebal 10 cm.
Lebih menarik lagi, pada salah satu muka batang logam itu ada
tulisan G.V.A. Djapar mengira logam itu besi tua biasa. Karena
sudah seminggu Djapar tidak mendapat ikan atau udang, dan
dapurnya pun nyaris tak berasap lagi, ia keliling kampung
menawarkan batangan logam tersebut. Seorang tukang loak --
setelah tawar menawar -- mau membelinya seharga Rp 500.
"Lumayan, daripada anak saya nggak makan," ujarnya.
Sepuluh hari berikutnya, dia berhasil mendapatkan 8 batang logam
yang sama. Dan itu berarti Rp 4.000. Lumayan. Dan nelayan lain
pun tertarik. Sekitar Agustus lalu, Djapar tidak lagi memonopoli
pencarian batangan logam tersebut.
Jadwal Komando
Harga logam tersebut juga melonjak luar biasa -- sampai Rp
80.000. Bersamaan dengan naiknya harga emas, September batangan
logam bermerek G.V.A jadi Rp 180.000. Terus saja menjulang
sampai Rp 225.000, dan harga bulan Februari ini bahkan bisa
mencapai Rp 265.000.
Masalahnya, permintaan lebih besar ketimbang jumlah logam yang
ditemukan. Sejak September, ada sekitar 67 penyelam (penyelam
sungguhan atau nelayan yang jadi penyelam) mengaduk-aduk pantai
Karangbolong. Tidak kurang dari 50 perahu comprang berkeliaran
sekitar 25 meter dari pantai Karangbolong. Jarak dari pelabuhan
Cilacap sampai ke tempat "harta karun" itu bersembunyi tak jauh
memang. Malah hanya 15 menit saja jika ditempuh dengan perahu
motor tempel.
Biasanya mereka berangkat jam 03.00 pagi. Tidak semua nelayan
mencari secara bersamaan. Beberapa di antara mereka harus
berkonsultasi dulu dengan "orang tua" alias dukun. Tiap grup
punya konsultan macam ini. Dan dukun inilah yang memberi "jadwal
komando" tentang hari dan jam baik untuk berangkat.
Peralatan yang mereka pakai cukup sederhana. Sebuah mesin
kompresor, masker penyelam, argulator untuk mengatur pernapasan
lewat mulut, rantai besi seberat 15 - 25 kg. Yang terakhir ini
untuk mempercepat si penyelam sampai ke dasar laut. Juga dibawa
slang pernapasan, martil atau linggis. Harga peralatan selam ini
berkisar Rp 430 000. Penyelam yang tidak mampu, cukup mengenakan
kostum berupa kaus olahraga. Beberapa penyelam alam bahkan tidak
memerlukan argulator, asal ia tahu kapan ia seharusnya muncul ke
permukaan laut.
Tiap kelompok biasanya berjumlah 5 atau 6 orang: dua orang
penyelam bekerja bergantian, seorang lain bertugas sebagai
penjaga kompresor dan yang lain mengatur perahu, atau menerima
isyarat bila penyelam minta tali pengikat logam ditarik.
Tapi rezeki toh tidak bisa dipaksa. Jika beruntung, dalam waktu
setengah jam sudah memperoleh logam yang dicari. Yang sial nol
sampai pulang.
Biasanya, kalau seorang penyelam menemukan batangan logam,
penyelam lain menyerbu lokasi itu. Panik, gembira dan suasana
yang tidak karuan terpusat di lokasi itu. Slang-slang udarapun
jadi saling berbelit. Bulan lalu, dua orang tewas. "Karena itu
kami kemudian melakukan tindakan larangan," ujar Adpel Cilacap,
R. Soeroso Prawirosiswojo. Lewat Syahbandar telah dikeluarkan
larangan menyelam sejak 23 Januari, 1980. "Nelayan kok mau
coba-coba jadi penyelam," tambah Soeroso.
Masjid
Larangan resmi ini ditujukan bagi semua pencari batangan besi
tersebut. Soalnya, ada tim penyelam bukan dari Cilacap juga
turut campur tangan. Misalnya kelompok yang menamakan diri
"ekspedisi Puhara". Puhara adalah singkatan dari "Pemanfaatan
Umum & Harta Pusaka Rakyat Indonesia", yang konon mendapat
rekomendasi dari Bappeda Jawa Tengah.
Setelah mengirim tim peneliti, Puhara mencoba mengumpulkan para
penyelam dan nelayan, untuk menentukan bagi hasil. Puhara
sendiri mendapat bagian 35%.
Niat ini tentu saja ditentang oleh nelayan dan penyelam. Dan
ketika Adpel menanyakan surat izin resmi dari Dirjen Perhubungan
Laut, orang Puhara ternyata tak punya. Juga ketika alamatnya
dicari di Jakarta, ternyata palsu. Tim ekspedisi ini sempat
menggunakan nama Sekretariat Negara sebagai backingnya -- tapi
sekarang sudah terpaksa angkat kaki dari teluk Cilacap.
Minggu lalu, masih ada beberapa penyelam tradisional yang
berkeliaran di pantai Karangbolong. "Mereka belum mengcrti
pengumuman kami. Juga kami tak bisa menghentikan kegiatan mereka
secara tiba-tiba," ujar Soeroso.
Selain batangan logam itu, ada keping mata uang VOC bertahun
1790. Sebagian besar pembeli pertama batangan logam itu adalah
orang-orang 'nonpri". Logam ini kemudian mereka jual kepada
agen-agen yang kabarnya melego lagi ke Jakarta, Yogya atau
Surabaya. Konon oleh pabrik pelebur logam, batangan logam dari
Karangbolong ini disebut "babet", bahan pelapis metal mesin
kendaraan. Ah Hok, salah seorang pembeli, mengaku bahwa dari
setiap batang ia bisa menarik keuntungan sekitar Rp 10.000 - Rp
15.000.
Djapar Bugis sendiri cukup bersyukur akan rahmat Tuhan. Sejak
Juli tahun lalu hingga pertengahan Februari 1980 ia berhasil
mendapat 110 batang logam. "Saya tidak mengerti logam apa ini
dan mengapa harganya jadi naik cepat," ujarnya. Pembeli selalu
memburunya. Bahkan sering, belum sampai di rumah, ia sudah
dihadang pembeli menyodorkan tumpukan uang di bawah hidungnya.
Kini Djapar Bugis sudah memiliki 3 buah perahu bermotor tempel.
Juga dua set alat penyelam yang harganya sekitar satu juta
rupiah. Rumahnya yang gubuk kini telah didandaninya dengan
ongkos Rp 4 juta. Semua itu ia dapat dari penjualan
batang-batang logam tadi. Bukan hanya itu. Rezekinya itu ia
sisihkan untuk memberi sumbangan sebesar Rp 360 ribu pada
beberapa masjid di Cilacap, Bandung, Pangandaran, Kebumen dan
Gombong. Katanya sambil tertawa "Ya, hitung-hitung buat
tabungan di akhirat nanti."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo