Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KARTU bridge dengan gambar wayang? "Ya, mengapa tidak? Mengapa
tidak memakai gambar-gambar asli Indonesia?" jawab seorang
wanita yang walaupun usianya telah 75 tahun, tetapi fikiran dan
gerak-geriknya masih gesit.
Ketika masih gadis, namanya Johanna Petronella Mossel. Lahir di
Jakarta dan setelah lulus HBS dengan sertifikat Ursulinen
Europese Lagere Acte, nona Mossel kemudian pindah ke Bandung.
Di situ dia bertemu dengan Dr. EFE Douwes Dekker, cucu
Multatuli, pengarang Max Havelaar. Johanna Mossel kemudian
mengajar di sekolahnya Douwes Dekker, Ksatrian Instituut.
Tahun 1926, biarpun tanpa restu orangtua, keduanya menikah. Pada
1941, Douwes Dekker alias Danudirdjo Setyabudi ditangkap
pemerintah Hindia Belanda dan dipenjarakan di Ngawi, Jawa Timur.
Tuduhannya: pro Nazi. Beberapa waktu kemudian, Douwes Dekker
dipindahkan ke Suriname. Sebelum meninggalkan Indonesia, tokoh
Perintis Pers Nasional ini sempat bertemu dengan isterinya.
"Jaga dan tetap teruskan sekolah Ksatrian," demikian pesannya.
Dan kepada salah seorang pengikutnya, Djafar Kartodirdjo, Douwes
Dekker juga berpesan: lebih baik keduanya menikah saja. Tahun
1942, Johanna dan Djafar menikah, melaksanakan pesan Douwes
Dekker, sementara perang Asia Timur Raya mulai melanda
Indonesia.
Punokawan Untuk Jacks
Perkawinan itu hingga kini tetap lestari. Meskipun Johanna tidak
pernah dikaruniai anak (baik dari Douwes Dekker maupun dari
Djafar), tapi pasangan ini ada mengangkat beberapa anak angkat.
Antara lain Usep Ranuwidjaja. Suami isteri itu kini menghabiskan
hari tuanya di Yogya. Johanna sesekali memberi les bahasa asing
di rumahnya.
Sampai keduanya mempunyai kesibukan yang semakin memuncak. Yaitu
mengurus pencetakan kartu-kartu bridge dengan motif wayang. "Dan
ide itu sudah sejak 1943," kata Johanna "tahun itu saya sudah
membuat sketsnya." Johanna bahkan pada 1943 itu sudah membeli
kertas karton sebanyak 24 rim. Tetapi ketika perang pecah,
kertas kartonnya disita pemerintah Jepang.
"Sungguh menggelikan," tambahnya lagi "kita kok masih berbangga
hati memakai barang luar negeri." Selama ini kartu-kartu bridge
yang beredar memang barang impor. Yang bermerek Caravan, berasal
dari AS dan Flying Wheel dari RRC. Beberapa lagi lainnya dari
berbagai negara yang mempunyai gambar pemandangan, lukisan
terkenal atau bahkan foto-foto wanita tanpa busana. Yang
terakhir ini tentu saja dijual secara sembunyi-sembunyi dan
mahal.
Niatnya tetap mantap untuk membuat kartu bridge Indonesia asli.
Apalagi suami ùsteri ini memang penggemar bridge. Pada 1976,
cita-citanya itu ditekuninya lagi. Skets wayang yang dibuat 1943
masih disimpannya, diperbarui lagi. Selama sebulan, Johanna
membuat skets keempat prabu untuk King (Kresna, Suyudan, Salya
dan Yudistira), Kunti, Banowati, Srikandi dan Drupadi untuk
Queens. Sedang Jacks terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, Bagong
dan Cakil si buto (raksasa) itu kebagian jadi Joker. Untuk
kartu-kartu AS (A), Johanna membuat skets makrokosmos berikut
keagungan sangkan paran (asal manusia) sumber dan tujuan hidup.
Setelah itu, suami isteri ini sibuk mencari percetakan yang
cocok dan bersedia mencetak kartunya. Dari sekian banyak
percetakan yang dihubungi pilihan jatuh pada percetakan Populair
di Sala. Karena percetakan tidak bersedia menyediakan kertas
karton, Johanna dengan diantar oleh anak angkatnya yang bernama
Sartje harus keluar masuk kampung di Jembatan Lima Jakarta. Cuma
dapat 13 rim. "Sebelum Kenop-15, harganya Rp 60.000 satu rim,
kini jadi Rp 95.000," ujar Johanna.
"Yaah, bagaimana lagi," katanya pula "memang mahal sih harga
idealisme itu." Untuk modal, mereka terpaksa menjual mobil kecil
merek Hillman 1960. Laku Rp 2 juta. Ditambah lagi dengan
penjualan berbagai perhiasan milik Johanna. Sebelum dicetak,
didapatkannya hak merek terdaftar (registered trade-mark) dari
Direktorat Cipta dan Hak Patent di Jakarta. Untuk hal merek ini
ongkosnya habis Rp 300.000. Untuk pemasaran telah dihimbaunya
Dirjen Pariwisata, KLM dan Gabsi. Cetakan pertama direncanakan
10.000 perangkat dengan gambar biru dan merah berlatar belakang
kartu batik motif kawung.
"Untuk cetakan-cetakan berikutnya, akan saya pakai juga motif
batik yang lain," kata Nyonya Johanna. Tetapi mengapa harus
memilih kartu bridge? "Jenis permainan ini cukup populer,"
tambahnya "sebab kalau buku, harganya akan lebih mahal, belum
tentu terbeli rakyat."
Kalau kartu bridge impor berharga Rp 850, Johanna akan menjual
kartunya dengan harga Rp 650 saja. Kini ketiganya, Djafar,
Johanna atau Sartje, bergantian mengontrol pekerjaan pencetakan
di Sala. Johanna tampak amat bersemangat. Katanya lagi: "Kalau
saya mati dan tulang-tulang saya kemudian dipindahkan di tempat
terhormat, itu tidak penting bagi saya." Yang lebih penting
ialah: "Kalau peninggalan saya itu berbentuk nyata, ada dalam
kehidupan bangsa saya, maka saya baru senang. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo