Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Kartu bridge nyonya djafar

Pembuatan kartu bridge bergambar wayang sudah dicetuskan sejak 1943 oleh johanna mossel, janda douwes dekker yang kemudian menikah dengan djafar kartodiredjo. (ils)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTU bridge dengan gambar wayang? "Ya, mengapa tidak? Mengapa tidak memakai gambar-gambar asli Indonesia?" jawab seorang wanita yang walaupun usianya telah 75 tahun, tetapi fikiran dan gerak-geriknya masih gesit. Ketika masih gadis, namanya Johanna Petronella Mossel. Lahir di Jakarta dan setelah lulus HBS dengan sertifikat Ursulinen Europese Lagere Acte, nona Mossel kemudian pindah ke Bandung. Di situ dia bertemu dengan Dr. EFE Douwes Dekker, cucu Multatuli, pengarang Max Havelaar. Johanna Mossel kemudian mengajar di sekolahnya Douwes Dekker, Ksatrian Instituut. Tahun 1926, biarpun tanpa restu orangtua, keduanya menikah. Pada 1941, Douwes Dekker alias Danudirdjo Setyabudi ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dipenjarakan di Ngawi, Jawa Timur. Tuduhannya: pro Nazi. Beberapa waktu kemudian, Douwes Dekker dipindahkan ke Suriname. Sebelum meninggalkan Indonesia, tokoh Perintis Pers Nasional ini sempat bertemu dengan isterinya. "Jaga dan tetap teruskan sekolah Ksatrian," demikian pesannya. Dan kepada salah seorang pengikutnya, Djafar Kartodirdjo, Douwes Dekker juga berpesan: lebih baik keduanya menikah saja. Tahun 1942, Johanna dan Djafar menikah, melaksanakan pesan Douwes Dekker, sementara perang Asia Timur Raya mulai melanda Indonesia. Punokawan Untuk Jacks Perkawinan itu hingga kini tetap lestari. Meskipun Johanna tidak pernah dikaruniai anak (baik dari Douwes Dekker maupun dari Djafar), tapi pasangan ini ada mengangkat beberapa anak angkat. Antara lain Usep Ranuwidjaja. Suami isteri itu kini menghabiskan hari tuanya di Yogya. Johanna sesekali memberi les bahasa asing di rumahnya. Sampai keduanya mempunyai kesibukan yang semakin memuncak. Yaitu mengurus pencetakan kartu-kartu bridge dengan motif wayang. "Dan ide itu sudah sejak 1943," kata Johanna "tahun itu saya sudah membuat sketsnya." Johanna bahkan pada 1943 itu sudah membeli kertas karton sebanyak 24 rim. Tetapi ketika perang pecah, kertas kartonnya disita pemerintah Jepang. "Sungguh menggelikan," tambahnya lagi "kita kok masih berbangga hati memakai barang luar negeri." Selama ini kartu-kartu bridge yang beredar memang barang impor. Yang bermerek Caravan, berasal dari AS dan Flying Wheel dari RRC. Beberapa lagi lainnya dari berbagai negara yang mempunyai gambar pemandangan, lukisan terkenal atau bahkan foto-foto wanita tanpa busana. Yang terakhir ini tentu saja dijual secara sembunyi-sembunyi dan mahal. Niatnya tetap mantap untuk membuat kartu bridge Indonesia asli. Apalagi suami ùsteri ini memang penggemar bridge. Pada 1976, cita-citanya itu ditekuninya lagi. Skets wayang yang dibuat 1943 masih disimpannya, diperbarui lagi. Selama sebulan, Johanna membuat skets keempat prabu untuk King (Kresna, Suyudan, Salya dan Yudistira), Kunti, Banowati, Srikandi dan Drupadi untuk Queens. Sedang Jacks terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, Bagong dan Cakil si buto (raksasa) itu kebagian jadi Joker. Untuk kartu-kartu AS (A), Johanna membuat skets makrokosmos berikut keagungan sangkan paran (asal manusia) sumber dan tujuan hidup. Setelah itu, suami isteri ini sibuk mencari percetakan yang cocok dan bersedia mencetak kartunya. Dari sekian banyak percetakan yang dihubungi pilihan jatuh pada percetakan Populair di Sala. Karena percetakan tidak bersedia menyediakan kertas karton, Johanna dengan diantar oleh anak angkatnya yang bernama Sartje harus keluar masuk kampung di Jembatan Lima Jakarta. Cuma dapat 13 rim. "Sebelum Kenop-15, harganya Rp 60.000 satu rim, kini jadi Rp 95.000," ujar Johanna. "Yaah, bagaimana lagi," katanya pula "memang mahal sih harga idealisme itu." Untuk modal, mereka terpaksa menjual mobil kecil merek Hillman 1960. Laku Rp 2 juta. Ditambah lagi dengan penjualan berbagai perhiasan milik Johanna. Sebelum dicetak, didapatkannya hak merek terdaftar (registered trade-mark) dari Direktorat Cipta dan Hak Patent di Jakarta. Untuk hal merek ini ongkosnya habis Rp 300.000. Untuk pemasaran telah dihimbaunya Dirjen Pariwisata, KLM dan Gabsi. Cetakan pertama direncanakan 10.000 perangkat dengan gambar biru dan merah berlatar belakang kartu batik motif kawung. "Untuk cetakan-cetakan berikutnya, akan saya pakai juga motif batik yang lain," kata Nyonya Johanna. Tetapi mengapa harus memilih kartu bridge? "Jenis permainan ini cukup populer," tambahnya "sebab kalau buku, harganya akan lebih mahal, belum tentu terbeli rakyat." Kalau kartu bridge impor berharga Rp 850, Johanna akan menjual kartunya dengan harga Rp 650 saja. Kini ketiganya, Djafar, Johanna atau Sartje, bergantian mengontrol pekerjaan pencetakan di Sala. Johanna tampak amat bersemangat. Katanya lagi: "Kalau saya mati dan tulang-tulang saya kemudian dipindahkan di tempat terhormat, itu tidak penting bagi saya." Yang lebih penting ialah: "Kalau peninggalan saya itu berbentuk nyata, ada dalam kehidupan bangsa saya, maka saya baru senang. "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus