Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski menyandang label lembaga pendidikan tinggi keagamaan, Institut Agama Islam Negeri tidak hanya mengajarkan soal agama. Bahasa yang diajarkan pun bukan cuma Arab, melainkan juga Inggris. Selain menghafal kitab, mahasiswanya dituntut menguasai berbagai disiplin ilmu.
Pola pendidikan modern di IAIN ini muncul belakangan. Adalah Menteri Agama Munawir Sjadzali yang mengalihkan kiblat IAIN dari Timur Tengah ke Barat, sehingga menciptakan IAIN yang seperti sekarang. Majalah Tempo edisi 30 November 1985 mengulas ihwal pengalihan ini.
Gagasan memodernkan pola pendidikan di IAIN muncul dalam pikiran Munawir seusai kunjungannya ke delapan universitas di Amerika Serikat dan Eropa pada Oktober 1985. Ia ingin IAIN tidak hanya mencetak ulama yang mengerti kitab, tapi juga mumpuni menjawab berbagai masalah lingkungan, sosial, dan perkembangan dunia modern. Intinya, lulusan IAIN harus menjadi ulama plus.
Tentu saja keputusan Munawir yang menggeser kiblat sumber pendidikan IAIN dari Timur Tengah ke Amerika Serikat dan Eropa itu mengundang kontroversi. Sebagian kalangan menyambut antusias. Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Achmad Syadali, misalnya, menilai langkah itu sebagai terobosan memecah kejenuhan pendidikan di IAIN. Menurut dia, pola pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang selama ini menjadi kiblat IAIN, sudah tidak mampu memenuhi tuntutan zaman. "Alumnus IAIN belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat," katanya.
Achmad mengatakan metode pendidikan Al-Azhar terlalu terikat pada pendapat mazhab. "Kurang ada keberanian mengkaji sendiri persoalan yang muncul," ia menambahkan. Akibatnya, IAIN kurang mampu mencetak pemikir yang segar dan bebas.
Hal senada diungkapkan Machnun Husein, dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menurut dia, kajian ilmu agama di Al-Azhar sering tidak relevan dengan persoalan kekinian.
Bekas Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Harun Nasution, yang pernah belajar di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar pada 1940-an, mengatakan pendidikan di Al-Azhar sudah kuno karena lebih menekankan aktivitas menghafal. "Tak boleh melawan pendapat dalam buku wajib," katanya. Nurcholish Madjid berpendapat serupa. "Universitas Al-Azhar itu mirip pesantren," ucapnya. Alumnus Pesantren Gontor yang lulus doktor di Universitas Chicago, Amerika Serikat, itu malah mengatakan kualitas intelektual Islam di Mesir sebenarnya telah merosot sejak abad ke-13.
Kritik lebih keras muncul dari Abbas Pulungan, dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Medan. Menurut dia, Al-Azhar tidak layak jadi kiblat IAIN karena mutu pendidikan di sana tidak lebih tinggi dibanding IAIN. Satu-satunya nilai lebih belajar di Al-Azhar, dia melanjutkan, adalah makin fasih berbahasa Arab. "Belajar di sana pulangnya menguasai bahasa Arab. Tapi itu kan hal biasa," kata pria yang pernah menolak tawaran untuk belajar ke Kairo itu.
Sebagian kalangan lain berpendapat berbeda. Salah satunya Quraish Shihab. Ahli tafsir lulusan Al-Azhar pada 1982 itu menilai pola pendidikan Al-Azhar sudah modern. "Dosen-dosen saya di Al-Azhar sangat terbuka," ujar Quraish, yang kala itu telah menjadi dosen di IAIN Jakarta.
Banyak mendapat dukungan, Menteri Munawir jalan terus. Sebagai langkah awal, ia merangkul Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk membiayai 30 sarjana IAIN belajar ke Amerika. "Bukan untuk belajar agama, melainkan belajar bagaimana cara berpikir," katanya. Tentu kebijakan itu juga disertai perombakan kurikulum.
Urusan bahasa juga bikin pusing. Setidaknya 14 IAIN di seluruh Indonesia perlu menyiapkan sarjana yang tak hanya menguasai bahasa Arab, tapi juga Inggris. "Itu yang repot," kata Hasbi A.R., Rektor IAIN Medan. "Dari 70 dosen tetap di sini, hanya dua yang benar-benar fasih berbahasa Inggris."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo