Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Resor Jakarta Utara menangkap sejumlah orang yang diduga gay di pusat kebugaran PT Atlantis Jaya, kawasan Ruko Kokan Permata, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Ahad pekan lalu. Sebanyak 141 pria dipergoki sedang menari telanjang dan berpesta seks di sana.
Sepuluh orang di antaranya dijadikan tersangka, lalu 126 orang lainnya dibebaskan. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal Rikwanto mengatakan polisi menindak aksi pornografi dan pornoaksi yang ditemukan dalam pesta The Wild One tersebut.
Artikel majalah Tempo edisi 26 April 1987 berjudul "Setelah Jadi Homo" mengulas kisah terpidana pembunuhan 6 tahun penjara, Usman Ali, 32 tahun. Tapi ia kembali dituntut 10 tahun penjara karena perkara serupa, yang persidangannya berlangsung pada awal Mei 1987.
Kisah Usman berawal pada Januari 1987. Bagai Goliath dengan David, Usman tega membunuh lagi. Korbannya, sebut saja Sutarji, anak berusia 8 tahun, bertubuh kecil dan berkulit kuning. Sedangkan Usman, yang berbadan tegap dengan otot lengan menonjol, memang tak disangka seorang homo. Ia tulen jadi homo setelah lelaki yang tak tamat sekolah dasar ini "bersekolah" di penjara. Malam itu Usman mengajak Sutarji menonton film di Bioskop Kelud, Malang, Jawa Timur. Karena Sutarji seharihari sudah lengket dengan Usman, tingkah di balik keintimannya dengan bocah itu tak ada yang mencurigai. Maklum, selain anggota keluarga, Usman jadi pembantu dalam keluarga Murtosiah, 48 tahun, orang tua Sutarji.
Begitu selesai menonton film, Usman mengajak Sutarji minum es mambo, lalu berkeliling Kota Malang. Malam semakin larut. Udara dingin dan merasuk sumsum. Mereka berdua rapat berpelukan. Tapi, begitu mereka melewati semaksemak daerah kuburan umum Tumpang-25 kilometer sebelah barat Malang-bagai kena aliran listrik, berahi Usman memuncak.Tak tahu setan mana yang menyeretnya, tangan Usman mulai menjaili Sutarji. Dengan kasar Usman berusaha melepas celana Sutarji. Anak yang masih duduk di kelas II sekolah dasar ini ternyata tak tinggal diam. Ditepisnya tangan kasar tersebut.Tapi Usman tak membiarkan mangsanya. Tangannya semakin kokoh memaksa. Merasa diperlakukan kasar, Sutarji menjerit. Usman jadi rengsa dan agak gugup. Tapi nafsu setannya sudah keburu merasuki pikirannya.Karena anak ini tetap meronta, Usman yang sudah kalap langsung mencabut pisau siletnya dan membunuh Sutarji. "Saya jengkel karena dia tak mau melayani, lalu saya bunuh," begitu pengakuan Usman ketika menyerahkan diri ke polisi.
Keluarga Murtosiah tak menyangka Usman berbuat senekat itu. "Karena masih famili, Usman memang saya perlakukan seperti anak saya sendiri. Maka, kalau mereka suka tidur sekamar, saya tak curiga. Tapi mengapa dia tega membunuh?" kata Murtosiah, April 1987. Sutarji bukanlah anak kandung Mur, tapi anak salah seorang familinya, yang dipungut dan diperlakukan seperti anak sendiri. Sedangkan Usman adalah anak yatim. Kedua orang tuanya meninggal sejak ia masih kecil. Usman punya seorang adik, Arifin, 25 tahun.Ketika masih kecil, mereka dipungut oleh pamannya yang tinggal di Poncokusumo. Karena menganggap pamannya berperilaku kasar, Usman memisahkan diri dan tinggal dengan bibinya, Murtosiah. "Di tempat saya ini, Sutarji dan Usman sudah seperti adikabang sekandung," kata Mur.
Ternyata Usman melakukan pembunuhan. Tujuh tahun lalu, bujangan ini membuat seorang janda lima anak tersungkur. Menurut pengakuan Usman kepada M. Baharun dari Tempo, waktu itu si janda memaksanya bermain cinta. Terbukti membunuh, Usman meringkuk di dalam kerangkeng Lowokwaru, Malang, selama enam tahun. Pada pertengahan 1986 baru dia bebas.Kelakuan mencari pasangan sejenis semakin tebal setelah Usman mendekam di penjara. "Di penjara, saya tak pernah melakukan hubungan intim dengan teman sekamar, tapi sering melihat temanteman kalau lagi main," kata Usman pada 1987.
Rupanya, apa yang sering disaksikannya selama di penjara tersebut akhirnya menyeret diri Usman ke dalam dunia homo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo