Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan tengah bergejolak. Mulanya adalah pernyataan Bambang Wuryanto yang menilai kelakuan Ganjar Pranowo sudah kelewatan sehingga Gubernur Jawa Tengah itu tak diundang dalam konsolidasi partai menuju Pemilihan Umum 2024 yang dipimpin Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Puan Maharani. “Bila kamu pintar, jangan sok pintar,” kata Ketua PDIP Jawa Tengah itu, Ahad, 23 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelakuan yang kelewatan itu ternyata menyangkut ambisi Ganjar menuju pemilihan presiden 2024. Dalam keterangannya, PDIP Jawa Tengah menyebut Ganjar terlalu berambisi menjadi presiden sehingga meninggalkan norma kepartaian. Sebab, PDIP agaknya hendak mengusung Puan Maharani menjadi calon presiden 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik internal di partai banteng itu bukan sesuatu yang baru. Pada masa Orde Baru, konflik di tubuh partai yang saat itu bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tersebut berulang kali terjadi. Artikel majalah Tempo edisi 16 Desember 1978 berjudul “Hardjantho Makin Penting” menceritakan salah satu konflik tersebut.
Kemelut PDI memasuki minggu ketiga. Seperti tahun lalu, dalam kemelut kali ini pun mereka memperebutkan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. Tahun lalu, Sanusi dkk berhasil tetap berkantor di sana. Usaha Djon Pakan, wakil sekretaris jenderal yang pro-Isnaeni, yang ketika itu hendak merebut dengan kekerasan, gagal.
Kali ini, ganti Isnaeni dkk yang menguasai kantor tersebut. Sejak “dibebastugaskan” sebagai Ketua DPP PDI, Isnaeni dan Sugawara hampir tiap hari berusaha muncul di gedung yang tampak kurang terpelihara itu. Baik tahun lalu maupun kali ini, pola perpecahan itu tetap, yaitu di antara sembilan anggota DPP yang berasal dari Partai Nasional Indonesia.
Sejak dulu sampai sekarang, sementara Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik berpihak pada Sanusi, Musyawarah Rakyat Banyak dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia di belakang Isnaeni. Yang berbeda mungkin sikap pemerintah. Pada bulan-bulan pertama perpecahan tahun lalu, pemerintah bersikap “membiarkan” kedua DPP berjalan sendiri-sendiri. Kali ini, sementara DPP Sanusi diizinkan menggelar rapat di Jalan Borobudur, DPP Isnaeni dilarang mengadakan rapat di Jalan Diponegoro.
Rapat Borobudur memutuskan beberapa hal yang mendasar. Selain mengesahkan keputusan “pembebastugasan” Isnaeni-Sunawar, rapat mengesahkan keanggotaan Majelis Permusyawaratan Pimpinan, lembaga tertinggi di bawah kongres yang bertugas menyiapkan materi kongres. Panitia kongres pun disahkan dengan Hardjantho Sumodisastro sebagai ketua pelaksana. Melihat peran yang makin penting itu, Hardjantho santer disebut menjadi calon Ketua Umum DPP PDI dalam Kongres II PDI mendatang.
Sementara dalam kemelut PDI tahun lalu memihak Isnaeni, kini Hardjantho di belakang Sanusi. Pernah menjadi Ketua Legiun Veteran RI, Hardjantho kini dikenal sebagai pengusaha besar yang antara lain memimpin PT Panca Tunggal di Gondangdia Lama dan PT Statomer di Wisma Nusantara. Sejak tahun lalu ia dikabarkan sebagai calon Ketua Umum DPP PDI.
Sesudah penyelesaian konflik PDI, 6 Januari 1978, ia tampil sebagai Ketua Fraksi PDI di DPR. Hardjantho ternyata tidak sendirian. Seperti dua pihak yang bertengkar, ia pun membawa beberapa kawan, dan tentu saja juga menghendaki jabatan strategis, misalnya pimpinan DPD PDI Jakarta Raya, kata Ipik Asmasubrata, Ketua DPD PDI Jakarta Raya yang pro-Isnaeni, beberapa hari lalu.
Hardjantho juga berusaha memasukkan Gembel ke kepengurusan DPD PDI Jakarta Raya. Siapakah Gembel? Nama lengkapnya Gembel Soedijono, bekas anggota Tentara Pelajar Brigade XVII Surakarta. Ia kini antara lain memimpin dua perusahaan, PT Rimba Tirta Emas dan PT Dirodo Gajah Eilm.
Kapan penyelesaiannya? “Pokoknya sebelum kongres harus sudah beres,” ujar Gembel. Tapi, sampai minggu lalu, kericuhan itu belum juga beres. Bahkan muncul kasus baru. Beredar selembar kertas fotokopi yang ditandatangani Ketua DPP PDI Hardjantho dan Sekretaris Jenderal Sabam Sirait yang menyebutkan pembebastugasan Usep Ranawidjaja dari segala jabatan dan keanggotaan PDI. Tapi ternyata itu palsu.
Pihak DPP PDI Sanusi kemudian menyerahkan persoalan kepada Kepolisian RI. Orang bisa menuduh kelompok Isnaeni sebagai pelaku pemalsuan itu mengingat Usep, salah seorang Ketua DPP PDI, tak serasi tapi tidak dibebastugaskan oleh Sanusi. Tapi, akhir pekan lalu, Isnaeni menuduh justru Hardjantho-lah yang berbuat hal itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo