Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Mereka, Gadis-gadis Di Pabrik Itu

Di pabrik-pabrik banyak menggunakan tenaga kerja wanita. Sebab tenaga wanita lebih teliti. Ordonantie tentang pembatasan kerja anak dan wanita belum diperhatikan. (ils)

21 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG berbentuk gudang itu tidak besar. Tidak indah dan suram. Panas dau pengab. Jutaan serat-serat halus memenuhi ruangan. Tak ada yang meragukan serat-serat itu dengan mudah akan tersedot melalui tarikan nafas. Di dalam ruang itulah ratusan gadis tengah sibuk bekerja. Dalam usia ratarata antara 17-20 tahun mereka bekerja sebaai buruh di pabrik pemintalan benang tenun. Tampaknya mereka tekun bekerja, karena tak seorangpun yang membuka mulut untuk ngobrol. Ternyata bukan itu alasannya. Karena begitu membuka mulut, serat-serat kapas pun akan turut tersedot ke dalam lubang mulut yang lebih besar daripada hidung. Di bibir waduk Jatiluhur (Purwakarta, Jawa Barat) berderet 4 buah pabrik pemintalan benang tenun. Yaitu PT Indorama pabrik pemintalan dengan modal dari lndia, PT Indaci (dengan Jepang), PT Texfib (dengan Jepang) dan PT Ellegant (dengan India). Kalau pabrik yang bermodal Jepang memakai tenaga wanita hanya untuk tenaga administrasi, pabrik pemintalan modal lndia banyak memakai buruh wanita. Misamya PT Indorama yang mempunyai buruh 1.700 orang, 75% terdiri dari wanita. Demikian pula PT Ellegant dengan buruh 700 orang. "Kerja wanita di bidang ini memang lebih teliti dibanding dengan lelaki," kata Y. Meka yang jadi manejer Urusan Pegawai PT Indorama. Memintal benang tenun, -- meskipun menggunakan mesin serba otomatis -- memang tetap memerlukan ketelitian. Karena itu yang dipekerjakan adalah gadis-gadis di bawah usia 20 tahun -- demi ketelitian. Sedangkan yang berusia di atas itu hanya 30 orang saja. Wajah buruh-buruh muda usia itu lumayanlah, sehingga sedikit mengurangi rasa pengap ruangan kerja mereka. Yang muda mengawasi mesin pintalan beralan. Sedang yang berusia lebih tua cukup bertugas mengumpulkan kapas-kapas yang kotor. "Gaji buruh laki maupun wanita tidak dibedakan," ujar Meka lagi. Jam Kerja Tapi nyatanya pabrik tersebut membagi 3 rombongan selama 24 jam kerja. Rombongan pertama mulai jam 06.00 sampai 14.00. Rombongan kedua dan rombongan malam kebagian jam kerja sampai 22.00 dan 06.00 pagi. Kerja tengah malam sampai pagi ini juga tidak terkecuali bagi buruh wanita. Biarpun di republik ini masih berlaku Ordonantie 17 Desember 1925 stbl. nomor 647 tentang pembatasan kerja bagi anak dan wanita di malam hari. Tapi karena saling memerlukan -- pabrik perlu tenaga dan buruh perlu uang --ordonantie itu agaknya dilupakan. Setiap buruh bekerja pagi selama 2 hari, 2 hari berikutnya kerja sore dan malam dan 2 hari berikutnya menjelang pagi buta. Setelah 6 hari kerja dengan Jam kerja yang beragam itu, buruh diharuskan libur selama 2 hari. Ini berarti mereka tak dapat gaji. Karena semua pabrik pemintalan yang ada di Jatiluhur itu adalah buruh harian, biarpun telah mempunyai pengalaman kerja cukup lama. Mau tahu berapa besar ppah mcrcka? Rp 250 sekali kerja yaitu 8 jam, ditambah uang transpor Rp 70 (dijemput oleh bis perusahaan) dan Rp 130 uang makan (makan dari kantin perusahaan) bagi 3 bulan pertama. Bagi buruh yang kebetulan tinggal dekat pabrik tetap menerima upah Rp 250 plus nol, biarpun tidak mempergunakan bis perusahaan. "Biaya transpor dan makan memang tidak termasuk dalam komponen upah," ujar Meka. Karena upah yang hanya Rp 50 (dan tertinggi Rp 350 inilah, para buruh PT Indorama pernah mengirim surat ke DPRD Purwakarta agar lembaga ini memperjuangkan kenaikan upah mereka dengan upah minimal Rp 414. DPRD memang telah menyimak keluhan ini, bahkan sudah membicarakannya ke FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) Cabang Purwakarta. Dua badan ini juga telah berembug dengan perusahaan, tapi yang diberikan perusahaan baru berupa harapan dan janji. Sebab seorang yang bernama Hussen atas nama PT Indorama menyebut bahwa tuntutan itu sudah terpenuhi. Yaitu kalau Rp 250 di tambah Rp 70 uang transpor dan Rp 130 uang makan. Padahal menurut Meka tambahan itu tak termasuk komponen upah -- meskipun ia tak berjanji mengadakan perubahan. Para buruh sendiri tetap ngotot dan tidak mau tahu tentang soal uang makan dan uang transpor. Lebih dari itu apa yang didapat sebagai upah tadi tidak dilengkapi dengan pakaian kerja, kain penutup mulut agar serat-serat kapuk tidak masuk ke paru-paru. Tidak juga ada tambahan susu atau makanan bergizi bagi mereka yang bekerja malam. Apalagi poliklinik atau jaminan kesehatan dan jaminan sosial, adalah sesuatu yang hanya ada dalam peraturan perburuhan belaka. Beberapa gadis sudah mengeluh bahwa dada mereka sakit. Tetapi mereka toh tidak ada pilihan lain untuk tidak bekerja atau pindah ke pekerjaan lain. Karena memang tidak ada pekerjaan pilihan buat mereka. "Mulanya sih memang berat kerja di sini," kata Unah, 18 tahun dan tamatan SMP Negeri Purwakarta "setelah lama, jadi biasa." Unah yang telah bekerja setahun di sini, telah mencoba melamar pekerjaan ke berbagai alamat sesuai dengan ijazahnya. Tapi nihil. Karena Unah anak tertua dengan 5 orang adik dan mempunyai ayah yang sudah tua, "kerja apapun jadilah, ketimbang nganggur." Kisah Tina Mereka yang ingin kerja di situ memang dengan mudah bisa diterima. Sebab pendidikan bukan syarat utama. Yang pokok ada surat bebas G-30-S, surat kelakuan baik dan surat kesehatan jadilah. "Dari pada ngerambat, " ujar gadis yang lain. Ngerambat ialah kerja menyiangi sawah dengan upah hanya Rp 150 sehari. Di samping itu, ada bahaya lain kerja di pabrik begini. Apalagi kalau kerja malam hari. Selama 1976/1977, buruh PT Indorama telah mengalami 59 kali kecelakaan. Dari Januari sampai Maret 1979, di lima pabrik pemintalan tersebut telah terjadi 63 kali kecelakaan dengan berbagai jenis. Putus tangan, kulit kepala berikut rambut terlepas dijambret roda atau berbagai kecelakaan lain. Salah seorang yang hingga kini masih menunggu "kebijaksanaan" PT Indorama ialah Tina. Di 1977 yang naas itu, Tina si janda muda sedang berdinas malam. Secara tiba-tiba ban transmisi lepas. Montir tidak ada di tempat. Atas inisiatifnya sendiri, Tina mengambil sebatang bambu bekas gagang sapu untuk membetulkan ban tersebut. Sial, tangannya ikut tertarik dan masuk ke gigi roda. Tubuhnya terbanting-banting beberapa kali dan sekali hempas tubuhnya terlontar di ubin. Ini terjadi setelah seluruh tangannya terlepas dari tubuhnya. Dengan gaji Rp 4.000 sebulan, Tina sudah bekerja di Indorama setahun. Ada 6 bulan lamanya dia meringkuk di rumah sakit Rancabadak Bandung. Mukanya cacat, tangannya hilang satu dan anaknya yang masih kecil harus diurus sang nenek yang jadi buruh tani. Hingga kini Tina -- yang dulu jadi kembangnya Indorama -- tidak bekerja. Ingatannya jadi kacau, sementara Indorama tidak menjamin apa-apa untuk mengganti kerugian. Toh tidak diasuransi. Juga tidak ada pihak berwenang yang mengurus. Apa yang pernah didapatnya hanyalah uang Rp 40.000 hasil kolektif dari rekan-rekannya yang mencoba menyumbang meringankan kesusahan. Indorama hanya memberi biaya pengobatan. Di luar semua itu masih ada skandal cinta atau skandal iseng. Antara sesama pekerja maupun dengan atasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus