GEDUNG berbentuk gudang itu tidak besar. Tidak indah dan suram.
Panas dau pengab. Jutaan serat-serat halus memenuhi ruangan. Tak
ada yang meragukan serat-serat itu dengan mudah akan tersedot
melalui tarikan nafas.
Di dalam ruang itulah ratusan gadis tengah sibuk bekerja. Dalam
usia ratarata antara 17-20 tahun mereka bekerja sebaai buruh di
pabrik pemintalan benang tenun. Tampaknya mereka tekun bekerja,
karena tak seorangpun yang membuka mulut untuk ngobrol. Ternyata
bukan itu alasannya. Karena begitu membuka mulut, serat-serat
kapas pun akan turut tersedot ke dalam lubang mulut yang lebih
besar daripada hidung.
Di bibir waduk Jatiluhur (Purwakarta, Jawa Barat) berderet 4
buah pabrik pemintalan benang tenun. Yaitu PT Indorama pabrik
pemintalan dengan modal dari lndia, PT Indaci (dengan Jepang),
PT Texfib (dengan Jepang) dan PT Ellegant (dengan India).
Kalau pabrik yang bermodal Jepang memakai tenaga wanita hanya
untuk tenaga administrasi, pabrik pemintalan modal lndia banyak
memakai buruh wanita. Misamya PT Indorama yang mempunyai buruh
1.700 orang, 75% terdiri dari wanita. Demikian pula PT Ellegant
dengan buruh 700 orang. "Kerja wanita di bidang ini memang
lebih teliti dibanding dengan lelaki," kata Y. Meka yang jadi
manejer Urusan Pegawai PT Indorama. Memintal benang tenun, --
meskipun menggunakan mesin serba otomatis -- memang tetap
memerlukan ketelitian. Karena itu yang dipekerjakan adalah
gadis-gadis di bawah usia 20 tahun -- demi ketelitian. Sedangkan
yang berusia di atas itu hanya 30 orang saja.
Wajah buruh-buruh muda usia itu lumayanlah, sehingga sedikit
mengurangi rasa pengap ruangan kerja mereka. Yang muda mengawasi
mesin pintalan beralan. Sedang yang berusia lebih tua cukup
bertugas mengumpulkan kapas-kapas yang kotor. "Gaji buruh laki
maupun wanita tidak dibedakan," ujar Meka lagi.
Jam Kerja
Tapi nyatanya pabrik tersebut membagi 3 rombongan selama 24 jam
kerja. Rombongan pertama mulai jam 06.00 sampai 14.00. Rombongan
kedua dan rombongan malam kebagian jam kerja sampai 22.00 dan
06.00 pagi. Kerja tengah malam sampai pagi ini juga tidak
terkecuali bagi buruh wanita. Biarpun di republik ini masih
berlaku Ordonantie 17 Desember 1925 stbl. nomor 647 tentang
pembatasan kerja bagi anak dan wanita di malam hari. Tapi karena
saling memerlukan -- pabrik perlu tenaga dan buruh perlu uang
--ordonantie itu agaknya dilupakan.
Setiap buruh bekerja pagi selama 2 hari, 2 hari berikutnya kerja
sore dan malam dan 2 hari berikutnya menjelang pagi buta.
Setelah 6 hari kerja dengan Jam kerja yang beragam itu, buruh
diharuskan libur selama 2 hari. Ini berarti mereka tak dapat
gaji. Karena semua pabrik pemintalan yang ada di Jatiluhur itu
adalah buruh harian, biarpun telah mempunyai pengalaman kerja
cukup lama.
Mau tahu berapa besar ppah mcrcka? Rp 250 sekali kerja yaitu 8
jam, ditambah uang transpor Rp 70 (dijemput oleh bis perusahaan)
dan Rp 130 uang makan (makan dari kantin perusahaan) bagi 3
bulan pertama. Bagi buruh yang kebetulan tinggal dekat pabrik
tetap menerima upah Rp 250 plus nol, biarpun tidak mempergunakan
bis perusahaan. "Biaya transpor dan makan memang tidak termasuk
dalam komponen upah," ujar Meka.
Karena upah yang hanya Rp 50 (dan tertinggi Rp 350 inilah, para
buruh PT Indorama pernah mengirim surat ke DPRD Purwakarta agar
lembaga ini memperjuangkan kenaikan upah mereka dengan upah
minimal Rp 414. DPRD memang telah menyimak keluhan ini, bahkan
sudah membicarakannya ke FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia)
Cabang Purwakarta. Dua badan ini juga telah berembug dengan
perusahaan, tapi yang diberikan perusahaan baru berupa harapan
dan janji. Sebab seorang yang bernama Hussen atas nama PT
Indorama menyebut bahwa tuntutan itu sudah terpenuhi. Yaitu
kalau Rp 250 di tambah Rp 70 uang transpor dan Rp 130 uang
makan. Padahal menurut Meka tambahan itu tak termasuk komponen
upah -- meskipun ia tak berjanji mengadakan perubahan. Para
buruh sendiri tetap ngotot dan tidak mau tahu tentang soal
uang makan dan uang transpor.
Lebih dari itu apa yang didapat sebagai upah tadi tidak
dilengkapi dengan pakaian kerja, kain penutup mulut agar
serat-serat kapuk tidak masuk ke paru-paru. Tidak juga ada
tambahan susu atau makanan bergizi bagi mereka yang bekerja
malam. Apalagi poliklinik atau jaminan kesehatan dan jaminan
sosial, adalah sesuatu yang hanya ada dalam peraturan perburuhan
belaka.
Beberapa gadis sudah mengeluh bahwa dada mereka sakit. Tetapi
mereka toh tidak ada pilihan lain untuk tidak bekerja atau
pindah ke pekerjaan lain. Karena memang tidak ada pekerjaan
pilihan buat mereka. "Mulanya sih memang berat kerja di sini,"
kata Unah, 18 tahun dan tamatan SMP Negeri Purwakarta "setelah
lama, jadi biasa." Unah yang telah bekerja setahun di sini,
telah mencoba melamar pekerjaan ke berbagai alamat sesuai dengan
ijazahnya. Tapi nihil. Karena Unah anak tertua dengan 5 orang
adik dan mempunyai ayah yang sudah tua, "kerja apapun jadilah,
ketimbang nganggur."
Kisah Tina
Mereka yang ingin kerja di situ memang dengan mudah bisa
diterima. Sebab pendidikan bukan syarat utama. Yang pokok ada
surat bebas G-30-S, surat kelakuan baik dan surat kesehatan
jadilah. "Dari pada ngerambat, " ujar gadis yang lain. Ngerambat
ialah kerja menyiangi sawah dengan upah hanya Rp 150 sehari.
Di samping itu, ada bahaya lain kerja di pabrik begini. Apalagi
kalau kerja malam hari. Selama 1976/1977, buruh PT Indorama
telah mengalami 59 kali kecelakaan. Dari Januari sampai Maret
1979, di lima pabrik pemintalan tersebut telah terjadi 63 kali
kecelakaan dengan berbagai jenis. Putus tangan, kulit kepala
berikut rambut terlepas dijambret roda atau berbagai kecelakaan
lain.
Salah seorang yang hingga kini masih menunggu "kebijaksanaan" PT
Indorama ialah Tina. Di 1977 yang naas itu, Tina si janda muda
sedang berdinas malam. Secara tiba-tiba ban transmisi lepas.
Montir tidak ada di tempat. Atas inisiatifnya sendiri, Tina
mengambil sebatang bambu bekas gagang sapu untuk membetulkan ban
tersebut. Sial, tangannya ikut tertarik dan masuk ke gigi roda.
Tubuhnya terbanting-banting beberapa kali dan sekali hempas
tubuhnya terlontar di ubin. Ini terjadi setelah seluruh
tangannya terlepas dari tubuhnya.
Dengan gaji Rp 4.000 sebulan, Tina sudah bekerja di Indorama
setahun. Ada 6 bulan lamanya dia meringkuk di rumah sakit
Rancabadak Bandung. Mukanya cacat, tangannya hilang satu dan
anaknya yang masih kecil harus diurus sang nenek yang jadi buruh
tani. Hingga kini Tina -- yang dulu jadi kembangnya Indorama --
tidak bekerja. Ingatannya jadi kacau, sementara Indorama tidak
menjamin apa-apa untuk mengganti kerugian. Toh tidak diasuransi.
Juga tidak ada pihak berwenang yang mengurus. Apa yang pernah
didapatnya hanyalah uang Rp 40.000 hasil kolektif dari
rekan-rekannya yang mencoba menyumbang meringankan kesusahan.
Indorama hanya memberi biaya pengobatan.
Di luar semua itu masih ada skandal cinta atau skandal iseng.
Antara sesama pekerja maupun dengan atasan.