Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Musim semi (panen?) iwan tirta

Iwan tirta mengadakan pameran pakaian dari batik produksi perusahaannya. mutu batiknya yang dibuat oleh tangan pembatik akan tetap dipertahankan, dan akan diekspor dalam bentuk bahan. (ils)

8 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTENGAHAN April kemarin Iwan Tirta, untuk kesekian kalinya. mengadakan lagi pameran pakaian dari batik buatan perusahaannya. Di tokonya yang serba dipajang segala yang antik, banyak nyonya yang nyaris tidak dapat tempat duduk. Siska Sudomo isteri Kaskopkamtib yang datang terlambat terpaksa harus duduk di pojok belakang. Mien Sudarpo duduk di mana saja. Beberapa nyonya kulit putih rupanya lebih tertarik melihat pameran pakaian Iwan dari pada datang ke bazaar pagi itu yang diadakan oleh nyonya Yalink, isteri Dubes Belanda. Iwan Tirta tetap laku. Pameran pakaian yang keluar jauh lebih sederhana kalau dibandingkan batik-batik dan gaun-gaun ciptaannny yang terdahulu. Koleksi "musim semi dan panas 1976" (mengapa tidak "musim hujan"?) dari Iwan, condong ke warna lembut seperti coklat, hijau muda atau kuning redup. Baju pendek dengan leher V potongan sederhana, atau kaftan guntingan sederhana tapi corak batik yang agung. Itu saja. Dua tiga nyonya bahkan memberi komentar bahwa harga yang mahal (sekitar Rp 15.000) rasanya tidak sesuai dengan potongan yang begitu sederhana. Seni Dan Bisnis "Saya tidak akan mencemplungkan diri untuk jadi disainer baju", ujar Iwan Tirta pendek. Karena hal inilah mulai Mei nanti, dia akan mengajak disainer pakaian Arthur Tambunan untuk bekerja sama. Iwan yang mencipta bahannya, dan Arthur yang menggunting jadi baju. "Mengatur manajemen, administrasi dan mendisain batik saja sudah ruwet", tambahnya. Perusahaannya yang diberi nama Rama craft kini memasuki tahun kelima. Dia memulai usahanya dari kecil. Juga tidak mendapat fasilitas kredit lunak seperti pemilik perusahaan batik lainnya yang cepat membesar untuk kemudian seperti ban --kempes. "Dan saya tetap mempertahankan segi seni dalam batik-batik saya", begitu klaimnya. Artinya setiap mencetak batik, Iwan selalu menyisakan 20% sendiri untuk batik eksklusif. Sisanya batik sedang dan kodian (20% saja) yang bisa dibeli oleh pemilik kantong senen-kemis. Yang eksklusif ini ternyata membutuhkan cara tersendiri. Karena di mana pabrik batik lain memulai dengan mesin. Iwan tetap mempertahankan tenaga manusia. "Indonesia penuh dengan seni dan tenaga manusia. Inilah sebaiknya kita pergunakan sekarang", katanya lagi. Hal ini katanya mendapat perhatian laris dari luar negeri. Batik yang dibuat oleh tukang batik, yang karena tangannya gemetar, punya garis yang tidak lurus, yang dibuat berhari-hari. Tapi justeru inilah yang menarik mata penduduk belahan sana, yang sudah jenuh akan barang pabrik yang lebih rapi buatannya. Rama craft merasa bahwa dengan masih banyaknya sumber tenaga kerja dewasa ini di Indonesia, kerajinan tangan seperti batik perlu dipertahankan. Tidak memerlukan modal investasi yang besar, "Cuma yang kami perlukan sekarang ini ialah tenaga yang terlatih", tambah Iwan. Dear Mas Iwan Banyak memang Iwan mendapat surat dari penggemarnya - bagaikan Chicha Koeswoyo. Biarpun dia bukan seorang bintang film atau pemain ludruk terkenal. "Dear Mas Iwan yang baik! Nina ingin sekali kenal dengan kakak, apa boleh! Soalnya Nina suka sekali akan kreasi-kreasi kakak. Nina berhasrat sekali untuk menjadi perancang mode atau peragawati", demikian tulis seorang gadis umur belasan tahun. Surat-surat lain ada yang minta perkenalan, minta tanda tangan, minta sokongan dan tidak kurang yang menyatakan bahwa dia yakin dia berbakat membuat batik. "Banyak yang mengira terkenalnya saya tidak ditempuh lewat jalan yang sulit", ujarnya lagi. "Kalau melihat pameran pakaian yang tampaknya begitu gemerlapan, memang. Tapi bagaimana sampai gemerlapan, jarang orang paham". Ia tetap tidak mempunyai keinginan untuk melempar pakaian jadi (ready to wear) ke luar negeri. Alasannya: "Karena kita toh tidak bisa menyaingi perusahaan pakaian jadi yang sudah meraksasa dan terkenal, di samping kita memang tidak bisa menerima pesanan dalam jumlah besar". Iwan lebih puas melempar batiknya ke luar negeri (Amerika Utara dan Eropa) dalam bentuk bahan. Entah itu untuk tap]ak meja, korden atau bikini. Givailehy, itu ahli perancang mode' dari Paris, kini memulai memakai bahan Iwan Tirta untuk ciptaan-ciptaannya. "Nama saya tidak akan disebut", katanya lagi, "tapi-mereka yang tahu batik Indonesia, toh akan tahu itu batik siapa". Satu hal yang kini sangat diperlukannya: "Tenaga yang berbakat untuk mencipta disain dasi, tas, selendang, perhiasan dan assecories lain. Itu yang saya perlukan sekarang. Janganlah hendaknya semua orang sekaligus ingin jadi perancang baju. Lha yang buat sepatu tas dan lainnya, lantas siapa?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus