TEMPO.CO, Jakarta – Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum atau KPU, Wahyu Setiawan, diganjar hukuman 6 tahun penjara atas kasus suap pergantian antar-waktu anggota DPR. Sidang vonis dilakukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 24 Agustus 2020.
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata Ketua Majelis Hakim saat membacakan amar putusannya.
Perjalanan perkara suap Wahyu berlangsung selama lebih-kurang delapan bulan. Kasus ini juga menyeret caleg PDIP Harun Masiku—yang saat ini masih buron--dan eks kader PDIP Saeful Bahri.
Berikut ini rekam kronologi kasus Wahyu, mulai awal perkara, penangkapan dalam operasi senyap, hingga vonis.
- Juli 2019, bermula dari gugatan uji material pemungutan dan penghitungan suara
Pada awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan seorang pengacara, Doni, mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019.
Kursi warisan Nazarudin Kiemas tersebut yang menjadi pangkal masalah terjadi perebutan antara Harun Masiku dan Riezky Aprilia yang berbuntut pada kasus dugaan suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. PDIP merekomendasikan Harun sebagai PAW, sedangkan KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai anggota DPR karena dianggap berhak sebagai pemilik suara terbanyak kedua setelah Nazarudin Kiemas.
Gugatan itu kemudian dikabulkan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019. Dalam putusannya, MA menetapkan bahwa partai adalah penentu suara dan pengganti antar-waktu.
- Agustus 2019, PDIP bersurat ke KPU
Penetapan MA menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti caleg yang meninggal dunia. Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas.
- September 2019, PDIP ajukan permohonan fatwa MA
Dua pekan kemudian, tanggal 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat berisi penetapan caleg. Lalu Saeful menghubungi mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina, dan melakukan lobi untuk mengabulkan Harun sebagai anggota DPR lewat jalur pergantian antar waktu.
Selanjutnya, Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saefullah kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun. Wahyu pun menyanggupi.
- Desember 2019, Wahyu menerima uang
Untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR-RI pengganti antar waktu, Wahyu meminta dana operasional Rp 900 juta. Pemberian itu dilakukan dalam dua tahap. Pada pertengahan Desember 2019, salah satu sumber dana memberikan uang Rp 400 juta kepada Wahyu. Wahyu juga menerima uang dari Agustiani sebesar Rp 200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
- 7 Januari 2020, KPU menolak permohonan PDIP
Pada 7 Januari 2020, berdasarkan hasil rapat pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal. Setelah gagal, Wahyu kemudian menghubungi Doni untuk menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun lolos PAW.
- 8 Januari 2020, Wahyu terjaring dalam operasi senyap
Pada Rabu, 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian jatah milik dia yang masih ada di Agustiani. Setelah penyerahan uang ini terjadi, tim KPK melakukan operasi tangkap tangan. Tim menemukan dan menyita barang bukti uang Rp 400 juta yang berada di tangan Agustiani dalam bentuk dolar Singapura. KPK memiliki waktu 1x24 jam untuk menyelidiki dugaan perkara yang menyeret Wahyu.
- 10 Januari 2020, Wahyu mengundurkan diri dari KPU
Dua hari setelah terjaring operasi senyap, Wahyu memutuskan mundur dari KPU. Pengumuman itu disampaikan Ketua KPU Arief Budiman. "Pak Wahyu Setiawan sudah membuat surat pengajuan pengunduran diri yang ditujukan kepada presiden dan diberitahukan kepada KPU," ujar Arief kala itu. Arief mengatakan surat bermaterai Rp 6.000 yang ditandangani oleh Wahyu Setiawan tersebut segera dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
- 28 Mei 2020, sidang perdana
Sidang perdana perkara Wahyu dihelat secara virtual di tengah situasi pandemi corona. Sidang itu dilaksanakan pada 28 Mei 2020. Dalam sidang itu, Wahyu didakwa menerima suap Rp 600 juta dari Harun Masiku.
- 20 Juli 2020, Wahyu mengakui menerima duit dari Saeful Bahri
Dalam sidang pemeriksaan pada 20 juli 2020, Wahyu mengakui menerima uang 15 ribu dolar Singapura dari kader PDIP Saeful Bahri melalui perantaraan Agustiani Tio Fridelina. "Saya jujur saja Pak Jaksa di forum pengadilan ini saya menyampaikan bahwa saya menerima uang 15 ribu dolar Singapura itu fakta dan saya harus bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum," kata Wahyu.
Meski begitu, Wahyu mengatakan pemberian uang itu tak terkait dengan permintaan PDIP melalui surat permohonan PAW. "Tapi bila pertanyaannya terkait apa, sebenarnya itu tidak terkait dengan permintaan PDIP karena surat PDIP itu memang tidak mungkin dilaksanakan," kata dia. Selain didakwa menerima duit Rp 600 juta, Wahyu kala itu juga didakwa menerima suap Rp 500 juta dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan.
- 3 Agustus 2020, sidang pembacaan tuntutan
Pada 3 Agustus 2020, Wahyu menjalani sidang tuntutan. Sidang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam sidang itu, Jaksa KPK menuntut Wahyu dengan hukuman kurung 8 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
- 10 Agustus 2020, sidang pembacaan pledoi
Wahyu menjalani sidang pembacaan pledoin pada 10 Agustus 2020. Dalam sidang tersebut, Wahyu mengaku bersalah menerima suap PAW anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan gratifikasi. Dia berujar menerima 15 ribu dolar Singapura dari pengurusan PAW dan gratifikasi Rp 500 juta terkait seleksi anggota KPUD Papua seperti yang sebelumnya disampaikan dalam siding pemeriksaan 20 Juli. "Dengan penuh kesadaran, saya mengakui bersalah telah menerima uang," kata Wahyu.
Wahyu pun menyatakan dirinya kooperatif dalam mengikuti proses hukum. Ia menyebut tak berusaha menutup-nutupi perbuatannya. Ia juga memastikan akan mengembalikan uang melalui KPK.
Dalam sidang itu, Wahyu mengungkapkan keiriannya terhadap tuntutan dan vonis ringan yang dijatuhkan kepada penyuapnya dan bekas kader PDIP, yakni Saeful Bahri. "Sementara itu saudara Saeful Bahri yang berperan aktif dalam mengatur dan mendapatkan untung dari proses pengurusan pergantian antarwaktu dituntut dan dihukum jauh lebih ringan dari saya," kata Wahyu.
Kala itu, jaksa menuntut kader PDIP Saeful Bahri 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Saeful 1 tahun 8 bulan penjara. KPK tak mengajukan banding atas putusan tersebut. "Saya rasakan sangat berat dan tidak adil," kata Wahyu Setiawan.
- 24 Agustus, sidang vonis
Sidang vonis Wahyu digelar awal pekan ini. Selain memutuskan Wahyu diganjar hukuman bui 6 tahun, majelis hakim mewajibkan bekas komisioner KPU ini membayar denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | ROSSENO AJI | HALIDA BUNGA