TEMPO.CO, Jakarta -Ko-sutradara film dokumenter "The Act of Killing" (Jagal) membantah, filmnya telah memperburuk citra Indonesia. Hal itu ditulis dalam surat elektronik yang diterima Tempo hari ini, Jumat, 31 Januari 2014. Dia menanggapi tuduhan Teuku Faizasyah, Juru Bicara Presiden Indonesia Bidang Luar Negeri.
Teuku Faizasyah, seperti dikutip The Jakarta Globe pada 23 Januari 2014, menilai film itu memperburuk citra Indonesia. "Indonesia digambarkan sebagai bangsa yang kejam dan tak punya hukum... Itu tidak cocok, tidak pas. Harus diingat bahwa Indonesia sudah melalui reformasi. Banyak hal yang telah berubah," kata diplomat lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung dan doktor filsafat lulusan Universitas Waikato, Selandia Baru itu.
"Citra buruk bukanlah apa yang diungkap dari kejadian di masa lampau, tetapi apa yang dikerjakan saat ini," kata ko-sutradara Jagal yang bersama Joshua menggarap film itu selama delapan tahun. Menurutnya, citra buruk adalah yang melanggengkan ketidakadilan dan impunitas bagi mereka yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. "Citra buruk adalah tidak meminta maaf kepada penyintas dan keluarga korban kejahatan terhadap kemanusiaan."
Hingga kini sutradara pendamping Joshua itu menolak mengungkap jati dirinya. Dia menyebut dirinya Anonymous dan sangat sedikit informasi tentang dia. Di situs resmi film Jagal, www.actofkilling.com, dia hanya mengaku sebagai "salah satu mahasiswa Indonesia yang berhadap-hadapan dengan polisi antihuru-hara pada 1998 saat menuntut mundur kediktatoran militer Orde Baru". "Saya tetap anonim, untuk saat ini, karena kondisi politik Indonesia terlalu berbahaya bagi kami untuk bertindak lain," katanya dalam catatan produksi film itu.
Dia juga menegaskan, film bukanlah berisi pandangan asing. Sebaliknya, film ini dibuat oleh orang-orang dari berbagai bangsa, dengan awak film paling banyak berasal dari Indonesia, dengan semangat kemanusiaan dan solidaritas kepada semua korban pelanggaran hak azasi manusia di dunia.
Kalaupun film ini terdaftar sebagai sebagai produksi Denmark, Inggris, dan Norwegia, "Itu semata-mata karena keputusan kami untuk menjadi Anonim, awak film tak bernama, karena dalam pendapat kami, negara kami belum bisa menyediakan perlindungan yang memadai," katanya seraya menyebut kegagalan negara dalam mengungkap berbagai kasus, seperti pembunuhan Munir, wartawan Udin, dan jutaan korban kekerasan politik sejak 1965.
Film Jagal merekam satu episode kelam pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia di Medan pada 1965-1966. Secara khusus, film itu mengangkat pengakuan Anwar Congo, bekas tukang catut karcis bioskop yang kemudian jadi pembantai komunis.
Sejak 30 September 2013 film sepanjang 159 menit itu dapat diunduh warga Indonesia dari situs www.actofkilling.com. Film yang telah menuai berbagai penghargaan ini kini masuk dalam unggulan Oscar.
Kurniawan
Berita Terkait
Film Jagal Masih Membuat Penasaran Penonton
Kejaksaan Bantah Tak Serius Usut Kasus 1965-1966
NU Tolak Rekomendasi Komnas HAM soal Tragedi 1965
Pembuatan Film Jagal Menyakitkan Sutradaranya
Film Jagal, Apa Kata Franz Magnis Suseno?
Burhan Kampak, Jagal Pemburu PKI
Pemerintah Belum Mau Minta Maaf atas Tragedi 1965
Pastor Ini Menolak Pembantaian PKI di NTT