Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan industri kelapa memiliki peluang yang besar dalam bidang ekonomi hijau. Jokowi melihat potensi ekspor yang besar dari produk hilirisasi kelapa dan peluangnya untuk energi terbarukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya banyak melihat limbah kelapa sekarang menjadi bioenergi. Kemudian kelapa juga bisa jadi bioavtur. Ini juga jadi pekerjaan besar kita agar penggunaan bisa semakin meningkat dan diminati negara-negara lain,” kata Jokowi saat menghadiri Konferensi dan Pameran Kelapa Internasional (Cocotech) ke-51 Tahun 2024 di Surabaya, Jawa Timur, Senin, 22 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menyebut jika potensi kelapa sangat besar dilihat dari luasnya lahan sebesar 3,8 juta hektare dengan produksi kelapa hingga 2,8 juta ton per tahun. Potensi yang besar ini bisa dimanfaatkan untuk diekspor sebagai bioenergi dan bioavtur sebagai campuran bahan bakar pesawat.
Lalu, bisakah kelapa diolah menjadi bahan bakar pesawat?
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM, Agus Cahyono, menjelaskan jika hal tersebut sangat mungkin diwujudkan. Menurut dia, kelapa dapat diolah dengan menghasilkan minyak kelapa yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar pesawat ramah lingkungan atau bioavtur.
“Secara teknis memungkinkan, SAF-Sustainable Aviation Fuel (bahan bakar penerbangan berkelanjutan) yang saat ini dikembangkan menggunakan bahan baku minyak goreng bekas (used cooking oil) atau dari lemak,” katanya saat dihubungi Tempo melalui aplikasi perpesanan, Selasa, 23 Juli 2024.
Agus juga menyebutkan pihaknya masih menunggu penjelasan detail pemanfaatan minyak kelapa untuk bahan bakar pesawat dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi ESDM.
Sebelumnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pernah membuat proyek bersama perusahaan asal Jepang bekerja sama untuk mengolah minyak kelapa yang digunakan bahkan diolah dari yang non-standar alias tak layak jual untuk bioavtur.
Saat ini produksi bioavtur dari kelapa non-standar ini sudah masuk dalam tahap pembangunan pabrik di Banyuasin, Sumatera Selatan. BRIN telah mengajak stakeholder terkait untuk berkolaborasi pada pengembangan industri bioavtur, seperti PT ABE Indonesia yang juga berkolaborasi dengan Green Power Development Corporation of Japan, sebuah perusahaan asal Jepang.
Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN, Mego Pinandito, menjelaskan bahwa kelapa non-standar sudah diakui kelayakannya oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Menurut Mego, pengakuan ini merupakan sinyal positif terhadap perkembangan industri dalam negeri Indonesia.
"Masuknya kelapa non-standar ke dalam positive list akan membuka peluang bagi negara-negara penghasil kelapa termasuk Indonesia, untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon di sektor penerbangan," kata Mego dikutip dari keterangan resminya, Jumat, 19 Juli 2024.
Dilansir dari The International Air Transport Association (IATA), SAF seperti yang disebutkan oleh Agus Cahyono menjadi salah satu solusi untuk perkembangan energi berkelanjutan. Karakteristik kimia dan fisik SAF hampir identik dengan bahan bakar jet konvensional dan dapat dicampur secara aman dengan bahan bakar jet konvensional pada tingkat yang berbeda-beda, menggunakan infrastruktur pasokan yang sama, dan tak memerlukan adaptasi pesawat atau mesin.
Bahan bakar dengan sifat-sifat ini disebut “bahan bakar drop-in”, yaitu bahan bakar yang dapat secara otomatis dimasukkan ke dalam sistem pengisian bahan bakar bandara yang ada. Selain itu, untuk menggunakan istilah “berkelanjutan” secara valid, harus memenuhi kriteria keberlanjutan seperti pengurangan emisi karbon dalam siklus hidup, terbatasnya kebutuhan air bersih, tidak ada persaingan dengan produksi pangan yang dibutuhkan (seperti biofuel generasi pertama), dan tidak ada deforestasi.
BAGUS PRIBADI | DANIEL A. FAJRI