Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengakui Radar Atmosfer Khatulistiwa atau Equatorial Atmosphere Radar (EAR) yang dibangun Jepang di Kototabang, Agam, Sumatera Barat, telah berperan penting memantau dinamika atmosfer di Indonesia. Radar itu bisa memberikan informasi dalam memperkuat kemampuan mitigasi bencana hidrometeorologi.
"Kolaborasi riset khususnya terkait EAR ini sangat penting bagi kita untuk bisa memahami atau meningkatkan pemahaman atas dinamika cuaca dan iklim di negara kita yang berada di khatulistiwa," kata Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam Simposium Internasional Lapan BRIN - Kyoto University dalam rangka HUT ke-20 EAR di Jakarta, Senin 20 September 2021.
Dalam simposium mengangkat tema tentang Atmosfer Khatulistiwa itu, Handoko menjelaskan bahwa EAR adalah radar atmosfer yang dioperasikan pada frekuensi tengah sebesar 47 MHz. EAR dirancang untuk mengukur kecepatan angin dan turbulensi vertikal dan horizontal di troposfer dan stratosfer bawah. Batasnya adalah hingga ketinggian 20 kilometer dengan resolusi waktu dan ketinggian tinggi masing-masing kurang dari 1 menit dan 150 meter.
Handoko menuturkan, manfaat dari penggunaan EAR sangat signifikan bagi masyarakat karena pemahaman mitigasi bencana hidrometeorologi memerlukan kajian dan studi berbasis ilmu pengetahuan yang sangat komprehensif. Infrastruktur riset EAR disebutnya membantu menyediakan kajian dan studi tersebut. "Selain itu, EAR yang sudah beroperasi sejak 2001 juga telah menyediakan data yang bersifat jangka panjang," katanya.
Pelaksana tugas Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Erna Sri Adiningsih mengungkap kalau berbagai riset dan hasil ilmiah serta data telah dihasilkan melalui pemanfaatan fasilitas riset EAR sejak peluncuran operasionalnya pada 2001. Masyarakat, kata dia, bisa merasakan manfaatnya melalui perbaikan di dalam konteks metode untuk memprediksi perubahan iklim global, "dan dinamika atmosfer secara global khususnya yang punya karakteristik daerah-daerah tropis seperti Indonesia."
Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH) Kyoto University, Jepang, membangun Radar Atmosfer Ekuator itu tepatnya di Observatorium Atmosfer Khatulistiwa di Kototabang. Pengoperasian EAR didasarkan pada nota kesepahaman antara RISH dan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN, yang sebelumnya bernama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Presiden Kyoto University Nagahiro Minato menyebutkan EAR ini adalah fasilitas riset terbesar dari RISH Kyoto University yang berada di luar Jepang. "Terima kasih, ini semua terwujud berkat kolaborasi yang kuat dengan LAPAN,” katanya dalam simposium melalui pesan video, seperti dikutip dari website LAPAN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dituturkan pula dalam laman itu bahwa RISH sedang mempromosikan proyek penelitian besar terbarunya “Study of the coupling processes in the solar-terrestrial system”. Studi bertujuan mempelajari respons terhadap input energi matahari di magnetosfer, ionosfer, atmosfer tengah, dan troposfer di atas wilayah Indonesia.
RISH dan BRIN berencana memasang The Equatorial Middle and Upper Atmosphere (EMU) Radar yang bertujuan untuk mempelajari dan menangkap aliran energi dan material yang terjadi di semua rentang ketinggian atmosfer khatulistiwa atau dikenal sebagai air mancur khatulistiwa tersebut. Hasil pengamatan akan diarsipkan dalam database, yang akan dibuka secara luas kepada masyarakat internasional dengan memanfaatkan sistem pertukaran metadata yang dinamakan Inter-University Upper Atmosphere Global Observation NETwork (IUGONET).
"RISH dan BRIN akan melanjutkan kolaborasi ilmiah ini untuk jangka waktu yang lama, dan akan menghasilkan manfaat dari penelitian kami yang berkontribusi pada studi lingkungan Bumi," bunyi keterangan yang menyertai rencana tersebut.
ANTARA, LAPAN