Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

7 Babak Pandemi Covid-19, dari Li Wenliang hingga Pengembangan Vaksin

Kilas balik perjalanan pandemi Covid-19 dari sisi sains dan teknologi,

30 Desember 2020 | 23.50 WIB

Ilustrasi virus corona atau Covid-19. REUTERS
Perbesar
Ilustrasi virus corona atau Covid-19. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Virus corona Covid-19 atau SARS-CoV-2 telah mewabah di muka Bumi sepanjang tahun ini--dan belum berakhir. Hingga Rabu malam ini, 30 Desember 2020, sebanyak lebih dari 82 juta populasi di dunia dilaporkan telah diinfeksi virus penyebab pneumonia itu dan hampir 1,8 juta di antaranya meninggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Negara besar dan kecil, maju dan terbelakang, di tengah benua maupun samudera, tak ada yang resisten dari wabah virus yang diyakini telah melompat dari hewan ini. Dari anak-anak sampai lansia juga tak kuasa menghindar darinya karena virus menyebar lewat mobilitas warga dan mudah menular lewat kontak juga menumpang droplet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menyebar dari Cina, virus corona Covid-19 kini telah mengubah dunia. Sebuah normal baru pun muncul. Secara bersamaan para ilmuwan dipaksa cepat memahami si virus baru dan mencari kelemahan-kelemahannya. Gagap, sudah pasti. Kontroversi, bukan sekali-dua kali terjadi.

Berikut kilas balik perjalanan pandemi ini dari sisi sains dan teknologi,

 

1. Penemuan dan Dokter Li Wenliang

Termasuk yang pertama menyadari bahaya virus corona jenis baru ini adalah seorang dokter mata di Rumah Sakit Umum Pusat Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, bernama Li Wenliang. Dokter berusia 34 tahun itu telah mengingatkan rekan-rekannya setelah mendapati beberapa pasien diketahui mengalami gejala mirip SARS yang mewabah di negara itu pada 2003.

"Infeksi virus corona tipe baru sudah terkonfirmasi dan jenisnya sedang diidentifikasi. Beri tahu semua keluarga dan kerabat agar waspada," pesan Li di grup Wechat yang beranggotakan bekas teman sekolahnya pada 30 Desember 2019.

Peringatan itu malah berbuntut pemanggilan Li dan delapan rekannya oleh kepolisian di Wuhan pada 3 Januari 2020 karena dianggap menyebarkan isu yang bisa menimbulkan kepanikan. Pada saat itu pula Biro Kesehatan Kota Wuhan menyatakan bahwa tidak ada bukti virus tersebut dapat ditularkan antarmanusia.

Namun, virus tersebut justru menular dari individu ke individu. Kematian pun mulai terjadi. Sehingga pemerintah pusat mengambil serangkaian kebijakan, salah satunya dengan mengunci (lockdown) Kota Wuhan dan beberapa kota lainnya di Provinsi Hubei.

 

Dokter Wuhan, Li Wenliang, Wuhan yang memperingatkan wabah virus Corona meninggal dunia setelah positif terinfeksi virus Corona. Li Wenliang sempat ditahan oleh polisi Wuhan bulan lalu karena dituduh menyebarkan hoaks virus Corona. Twitter.com

 

Setelah menandatangani surat teguran, Li kembali bekerja. Dia ikut menangani pasien yang terinfeksi virus corona jenis baru itu. Hingga pada 10 Januari dia mengalami batuk dan demam pada hari berikutnya. Dia dirawat di rumah sakit pada 12 Januari 2020 dan dinyatakan positif terinfeksi virus itu. Nyawa Li tidak tertolong pada 7 Februari 2020.

Kemudian tiga rekan kerja Li, yang juga para dokter yang pertama kali memperingatkan tentang virus corona baru, meninggal akibat terinfeksi virus itu. Mereka adalah Zhu Heping (66 tahun) meninggal 9 Maret, Mei Zhongming (57 tahun) meninggal pada 3 Maret, dan Jiang Xueqing (57 tahun) meninggal 1 Maret 2020 lalu.

 

2. Menular Antar-Manusia

Virus ini pertama kali tertedeksi dapat menular antar manusia pada Januari 2020. Ketua tim peneliti yang ditunjuk pemerintah Cina, Zhong Nanshan, mengatakan virus yang saat itu dianggap misterius yang telah menewaskan sedikitnya empat orang itu dapat menular antar manusia.

Sebelumnya, otoritas kesehatan Cina mengatakan kalau dalam banyak kasus, virus itu hanya menyebar dari hewan ke manusia. "Sekarang kami dapat memastikan bahwa itu adalah fenomena penularan dari manusia ke manusia," kata Nanshan.

Pada 14 Januari 2020, Cina mengkonfirmasi kematian empat orang yang diakibatkan virus itu di Wuhan. Kabar itu meningkatkan tekanan pada pemerintah Cina untuk mengatasi krisis kesehatan masyarakat yang meningkat.

Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) langsung mengadakan pertemuan darurat membahas ancaman wabah virus corona dari Cina, keesokan harinya. Pakar kesehatan masyarakat di Imperial College London, Inggis, Neil Ferguson, menekankan efisiensi virus itu menyebar dari orang ke orang. Menurutnya, tiga kasus di luar Cina sudah cukup mengkhawatirkan dunia.

Situasinya dianggap bertambah mencekam karena jutaan warga Cina pada waktu yang sama akan melakukan perjalanan liburan Tahun Baru Imlek. Ini menambah kekhawatiran bahwa virus penyebab pneumonia itu dapat menyebar dengan cepat dan skala yang lebih luas.

Presiden Cina Xi Jinping langsung bertindak dan menyatakan bahwa wabah itu harus ditanggapi dengan serius. “Perlindungan masyarakat merupakan prioritas utama dan penyebaran penyakit ini harus diatasi,” katanya saat itu.

Pihak berwenang juga mulai melaporkan bahwa kasus-kasus baru infeksi, dan terdeteksi untuk pertama kalinya di Beijing, Shanghai dan Guangdong, semuanya ratusan mil dari Wuhan. Bahkan, kasus-kasus juga telah dilaporkan di Jepang, Korea Selatan dan Thailand.

3. Nama Covid-19

Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada 11 Februari 2020, telah menetapkan nama Covid-19 untuk penyakit yang dsebabkan virus corona baru yang mewabah dari Wuhan, Cina. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, merincinya sebagai 'co' berarti 'corona, 'vi' untuk 'virus', dan 'd' adalah 'disease', sedang '19' menunjuk tahun ketika wabah teridentifikasi pertama yakni pada 31 Desember 2019.

 

Tedros Adhanom Ghebreyesus, Dirjen WHO. Sumber: Reuters / Denis Balibouse/rt.com

 

Menurutnya, nama Covid-19 sengaja dipilih menghindari stigma terhadap lokasi geografis, spesies hewan, atau komunitas tertentu sesuai rekomendasi internasional dalam hal penamaan. Berdasarkan panduan yang diterbitkannya 2015 lalu, WHO menyarankan tidak menggunakan nama lokasi seperti yang pernah dilakukannya dengan virus Ebola dan Zika. Penamaan dua virus itu menggunakan nama lokasi di mana penyakitnya pertama teridentifikasi, akibatnya publik kini selalu mengaitkan lokasi-penyakit itu.

Nama-nama yang lebih umum atau generik seperti halnya "Middle East Respiratory Syndrome atau MERS” atau "Flu Spanyol" juga kini dihindari karena bisa menciptakan stigma ke seluruh wilayah atau kelompok etnik tertentu. Menggunakan nama orang—biasanya nama penemunya—juga dilarang berdasarkan panduan terbaru WHO.

WHO juga mencatat kalau pemberian nama menggunakan nama spesies hewan bisa menciptakan kebingungan. Contoh yang ini ketika virus H1N1 populer sebagai flu babi pada 2009 lalu. Penamaan itu memukul industri babi meski penyakit flu itu sebenarnya bisa menyebar lebih luas karena penularan oleh manusia daripada oleh babi.

 

4. Menular Melalui Udara dan Perdebatannya

WHO, pada Juli 2020, membuka kemungkinan risiko penularan Covid-19 melalui udara. Hal tersebut muncul setelah 239 ilmuwan di seluruh dunia mengirim surat terbuka kepada WHO yang merinci bukti penularan melalui udara.

“Kami harus terbuka terhadap bukti ini dan memahami implikasinya mengenai mode transmisi dan mengenai tindakan pencegahan yang perlu diambil," ujar Pimpinan teknis WHO untuk pencegahan dan pengendalian infeksi, Benedetta Allegranzi.

Surat dari para ilmuwan menyerukan penyesuaian protokol kesehatan dan pengakuan mengenai risiko penularan Covid-19 melalui udara yang lebih besar. Tiga contoh kasus penularan lewat udara adalah kasus di tengah kelompok paduan suara, penumpang dalam bus, dan kasus penularan di sebuah restoran yang dilengkapi penyejuk ruangan.

Sebelumnya, WHO mencatat bahwa transmisi melalui udara mungkin terjadi dalam keadaan tertentu di mana aerosol yang lebih kecil dari 5 mikron dihasilkan, seperti ketika prosedur medis dilakukan di rumah sakit. "WHO sedang melihat kemungkinan peran transmisi udara di kondisi lain, seperti di lokasi yang dekat dengan ventilasi buruk," kata pimpinan teknis WHO untuk Covid-19 Maria Van Kerkhove.

 

5. Covid-19 Produksi Laboratorium?

Pada Maret 2020, banyak informasi beredar yang menyatakan bahwa Covid-19 sengaja dibuat atau produk rekayasa laboratorium. Namun, hasil studi yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine membantahnya. Kesimpulannya menyebutkan bahwa virus corona baru itu adalah buah proses evolusi alami.

Studi itu dipimpin oleh Kristian Andersen, profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research Institute di La Jolla, California, Amerika Serikat. Dia menjelaskan, sejak awal wabah Covid-19, para peneliti telah menguliti asal-usul virus penyebab pneumonia itu dengan menganalisis data urutan genomnya.

"Dengan membandingkan data urutan genom jenis-jenis virus corona yang sudah ada, kami dapat dengan tegas menentukan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses alami," ujar Andersen.

Sejak awal, para ahli mengaitkan virus dengan pasar makanan laut di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Makalah-makalah penelitian yang ada menduga bahwa virus tersebut mungkin telah menyebar ke manusia dari mamalia yang diperdagangkan secara ilegal.

6. Berasal dari Kelelawar

Ahli virologi Cina, Shi Zhengli, mencurigai kelelawar jenis tapal kuda sebagai inang dari Covid-19. Dalam penelitiannya, Zhengli mengungkap adanya 'perlombaan' evolusi antara protein yang ada di virus corona dan di sel kelelawar jenis itu. Evolusi itu melahirkan beragam genetik si virus.

Publikasi temuan itu dilakukan pada Mei, di tengah kecurigaan Amerika kalau Covid-19 berasal dari laboratorium di Cina. Tepatnya dari laboratorium Institut Virologi Wuhan yang dipimpin Zhengli. Namun peneliti perempuan yang dikenal sebagai 'Bat Woman' itu menegaskan virus itu produk evolusi alami dan telah melompat ke manusia dari kelelawar.

Zhengli menunjuk spesifik Rhinolophidae salah satu jenis kelelawar yang merupakan inang dari virus yang sedang menciptakan pandemi tersebut. Ini adalah jenis kelelawar yang sama yang berada di balik wabah SADS (Swine Acute Diarrhea Syndrome) yang menyebabkan kematian 25 ribu babi pada 2016-2017 lalu.

Penelitiannya yang terbaru mendapati kelelawar jenis itu membawa banyak virus corona dengan keragaman genetik yang tinggi. Keragaman itu terutama dalam protein paku virus yang berperan menempel pada sel manusia dan menginfeksinya.

 

Pintu masuk ke pasar makanan laut Huanan, tempat virus corona diyakini pertama kali muncul, diblokir dengan pagar biru ketika dipotret di Wuhan, provinsi Hubei, Cina 30 Maret 2020.[REUTERS / Aly Song]

 

Penelitian Zhengli pertama kali dipublikasikan dalam platform bioRxiv berjudul, "Evolusi antara virus dan inangnya memicu beragam genetika dalam kelelawar SARS" pada 14 Mei 2020. Temuannya menyebutkan bahwa protein paku SARS-CoV dan protein reseptor ACE2 pada kelelawar tapal kuda mungkin telah berevolusi bareng dan mengalami seleksi yang ketat satu sama lain.

 

7. Vaksin Covid-19 vs Kontroversi vs Mutasi Virus

Pandemi yang panjang membuat masyarakat dunia sangat menantikan kehadiran vaksin. Pengembangan dan uji klinis pun bersemi di sejumlah negara seperti Amerika, Inggris, Rusia, dan Cina. Di sinilah kontroversi mewarnai, mulai dari uji klinis yang jauh lebih singkat oleh para pengembang vaksin sampai riset yang dianggap mengambil jalan pintas secara ekstrem di Rusia.

Di tanah air, kontroversi terjadi saat tim peneliti di Universitas Airlangga mengumumkan temuan kombinasi obat yang dianggap tak melalui prosedur ilmiah yang seharusnya. Permohonan untuk segera bisa produksi massal pun dijegal dan prosedur diulang kembali.

Untuk obat pula, WHO akhirnya mencoret remdesivir sebagai obat yang potensial untuk menolong pasien Covid-19 pada November. Sebelumnya WHO juga sempat membekukan uji hidroxychloroquine pada Mei namun kemudian menjalankannya lagi sebulan berselang. Alasan untuk keduanya sama yakni keraguan bisa membuat pasien lebih baik dan bahkan meningkatkan risiko kematian.

Tak kalah, Indonesia juga ikut mengembangkan vaksin sendiri di bawah koordinasi Tim Nasional Pengembangan Vaksin Merah Putih. Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro menunjuk tujuh pengembang di kampus-kampus dan lembaga dan mengungkapkan ada dua pengembangan bibit vaksin Merah Putih dengan platform yang berbeda yang progresnya dinilai relatif cepat.

Di dunia, sejumlah vaksin Covid-19 sudah melampaui uji klinis fase akhirnya di pengujung tahun. Beberapa bahkan sudah mengantongi izin penggunaan darurat, dengan syarat efikasi lebih dari 50 persen, dan mulai didistribusikan terutama di negara maju atau kaya. Proses distribusi tepat saat gelombang kedua pandemi kembali menyapu banyak negara di dunia.

Di dalam gelombang kedua itu pula terungkap mutasi baru virus corona Covid-19 yang lebih infektif , seperti yang disebut varian G dan yang terbaru dari Inggris B117. Sejauh ini, WHO dan para pengembang vaksin yakin, mutasi bisa diatasi.

Zacharias Wuragil

Zacharias Wuragil

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus