Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga mahasiswa ITS mengembangkan ide inovasi membuat biobriket dari limbah blotong pabrik gula.
Perekat biobriket ini menggunakan tepung tapioka atau limbah kulit singkong.
Biobriket dari blotong ini bisa menyala sekitar satu jam.
RUMAH Fathul Mubin Ghufron, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, sekitar 1 kilometer dari pabrik gula di Karanganyar, Jawa Tengah. Pabrik itu menghasilkan limbah berupa ampas tebu dan blotong. Ampas tebu—lazimnya disebut bagas—adalah hasil sampingan dari proses ekstraksi cairan tebu. Sedangkan blotong merupakan limbah akhir yang bentuknya seperti pasir kasar. “Selama ini dibuang begitu saja dan belum dimanfaatkan,” katanya, Senin, 17 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengalaman di daerah asalnya itulah yang tebersit dalam pikiran Fathul saat mendengar ada kompetisi Smart Innovation and Ideas for Indonesia Transformation in Pandemic Era, Maret lalu. Untuk mengikuti kompetisi itu, ia mengajak dua rekan kampusnya, Zakiyah Nur Rafifaj dan Dicka Tama Putra. Ide yang muncul adalah bagaimana memanfaatkan blotong itu menjadi barang bermanfaat. Lalu muncullah ide membuat biobriket, energi alternatif pengganti bahan bakar yang dihasilkan dari bahan organik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiganya lantas membaca sejumlah jurnal ilmiah yang berhubungan dengan ampas tebu, blotong, dan briket. Dari jurnal itu diketahui bahwa bagas dan blotong punya karakteristik mudah terbakar, mempunyai kandungan air, gula, serat, dan mikroba yang dapat melepaskan panas akibat fermentasi. Dari referensi ilmiah itulah mereka mendapatkan formula pembuatan biobriket tersebut.
ilustrasi: djunaedi
Ide dari inovasi ketiganya itu sederhana. Blotong lebih dulu dijemur kira-kira dua hari sampai benar-benar kering. Pengeringan ini untuk menghilangkan kadar airnya. Setelah itu, blotong ditumbuk menggunakan alat tumbuk padi hingga semi-halus. Hasilnya lantas dicampur dengan tepung tapioka sebagai perekat. Menurut Fathul, selain tepung tapioka, yang bisa menjadi perekat adalah kulit singkong.
Dari kajian Fathul dan kawan-kawan, ada beberapa komposisi untuk membuat biobriket. Misalnya, untuk 10 kilogram blotong, perekatnya adalah 1 kilogram tepung tapioka. Kalau perekatnya memakai kulit singkong, untuk 10 kilogram blotong membutuhkan 2-3 kilogram kulit singkong. “Dibanding tepung tapioka, kulit singkong tentu kalah bagus kualitasnya. Tapi efektivitasnya sudah tinggi karena kandungannya hampir sama dengan tapioka,” tutur Fathul.
Setelah adonan jadi, langkah berikutnya adalah memasukkannya ke cetakan bulat, lalu ditekan hingga menjadi material padat. Fathul memilih cetakan bulat seukuran kepalan tangan agar berbeda dengan briket umumnya yang kotak. Agar mampu menghidupkan api secara maksimal, biobriket harus dijemur lagi selama satu hari. “Makin padat biobriket, makin tinggi tingkat daya nyala api yang dihasilkan,” tuturnya. Api biobriket ini ditaksir mampu menyala sampai satu jam.
Zakiyah mengatakan blotong dipilih sebagai bahan dasar karena lebih ramah lingkungan. “Proses pembuatan biobriket ini sederhana dan bisa ditiru masyarakat umum,” ujarnya seperti dikutip dalam rilis kampus ITS, Jumat, 7 Mei lalu. Ia juga berharap inovasi ini bisa mendapat dukungan pendanaan agar bisa masuk tahap produksi.
Fathul menyatakan pengembangan biobriket ini tentu ada kendalanya, yaitu sangat bergantung pada musim tebang dan giling tebu, yang terkadang tak menentu. “Kalau tak ada aktivitas giling tebu, otomatis tidak bisa memproduksi biobriket,” ucap Fathul. Namun, ia menambahkan, kendala itu bisa diatasi dengan mencari limbah blotong dari pabrik gula lain yang jadwal gilingnya berbeda.
Inovasi ketiga mahasiswa ini menyabet medali perunggu dalam kompetisi yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, itu. Fathul yakin inovasi ini bisa menghasilkan biobriket dengan harga yang lebih murah dari briket biasa karena menggunakan bahan limbah. Ia mengharapkan inovasi ini dapat dikembangkan menjadi produk usaha mikro kecil dan menengah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo