Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Mesin Penguping 'Made In' Polisi

Alat penyadap telepon genggam untuk mengintai Tommy Soeharto dan mengendus kasus bom Bali ternyata buatan Polri sendiri.

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTAK abu-abu seukuran aki mobil itu tampak kesepian. Tidak banyak pengunjung Police Expo 2003 yang digelar di Jakarta pekan lalu yang meliriknya. Apalagi penjaganya juga kurang menarik. Paling tidak kalah mempesona dibandingkan dengan sejumlah gadis molek yang menjaga stan pistol gas buatan negara Eropa Timur yang dibanjiri pengunjung. Padahal peranti bernama Virtual Base Transceiver Station (VBTS) tersebut jasanya amat besar. Mesin penyadap telepon seluler ini merupakan salah satu sarana yang dipakai untuk menguntit Imam Samudra, tersangka kasus bom Bali yang dibekuk di Pelabuhan Merak, Desember silam. Lewat VBTS pula, perbincangan Masnur di telepon genggamnya bisa direkam. Ketika ditangkap, salah satu tersangka kasus bom di Makassar ini pun tidak bisa berkelit. Dengan cara itu pula Tommy Soeharto ditangkap. Saat masih buron dua tahun lalu, gerak-gerik Tommy bisa dipantau berkat alat penyadap yang canggih ini. Di mana pun putra bungsu bekas presiden Soeharto ini bersembunyi, bisa dilacak karena nomor handset telepon genggamnya sudah dipegang polisi. Dalam pameran, mesin VBTS tersebut dijaga oleh seorang perwira menengah cerdas lulusan Politeknik Institut Teknologi Bandung. Sehari-hari dia bekerja di Badan Intelijen Keamanan, sebuah lembaga di bawah Markas Besar Kepolisian RI. Sang perwira mengakui, dulu peranti ini sempat dibilang sebagai alat pinjaman dari luar negeri. Harganya di pasaran mencapai Rp 2 sampai 3,8 miliar. Namun sejatinya mesin penyadap tersebut buatan Mabes Polri sendiri. Karena dirancang dan dibikin sendiri, harganya pun jauh lebih murah. Sebelum mampu membuat VBTS sendiri, polisi sempat kesulitan memata-matai para buron atau orang-orang yang dicurigai. Untuk menyadap pembicaraan lewat telepon genggam, mereka mesti bekerja sama dengan operator telepon seluler GSM seperti Telkomsel dan Satelindo. Soalnya, penyadapan hanya bisa dilakukan dari kantor operator. Ini pula yang dilakukan pada awal-awal pengejaran Tommy Soeharto. Sesudah berhasil membuat mesin penguping sendiri, segalanya menjadi lebih gampang. Penyadapan bisa dilakukan di mana saja, asal masih dalam radius 500 meter dari telepon genggam yang disadap. Kerja sama dengan operator pada saat tertentu saja untuk mengetahui lokasi keberadaan orang yang diincar. Kemampuan VBTS amat andal karena dilengkapi dengan semacam alat pemecah sandi yang dipakai jaringan GSM (Global System for Mobile Communications). Selama ini GSM menggunakan sandi bernama A3, A5, atau A8. Pada dasarnya, bermacam rumus ini sama, hanya berbeda kemampuannya. Di Indonesia, rumus yang digunakan para operator GSM adalah A5. Buat membongkar rumus sandi A5, para ahli di Mabes Polri perlu mengumpulkan sejumlah ahli teknologi informasi dari sekitar tujuh perusahaan. Ada yang menangani peranti lunak, ada pula yang menggarap perangkat kerasnya. "Sekitar enam bulan kita mengembangkan," kata perwira penjaga stan yang rajin belanja buku itu. Berbeda dengan AMPS?sistem analog yang sebelumnya masuk ke Indonesia?GSM memang lebih susah disadap karena sinyalnya disandikan. Toh, menurut Roy Suryo, ahli teknologi informasi dari Universitas Gadjah Mada, sandi GSM bukan tidak mungkin dipecahkan. Apalagi, seperti dilaporkan dalam situs informatics.ed.ac.uk, sejak 1999 dilaporkan sudah ada sekelompok peneliti Amerika Serikat yang bisa membuka sandi A5 hanya dalam hitungan detik. Setelah sandinya terpecahkan, para ahli di Mabes Polri tinggal membuat perangkat VBTS yang bisa menangkap sinyal GSM. Peranti ini lalu dihubungkan dengan sebuah notebook. Hasilnya? Semua perbincangan dan juga pesan singkat (SMS) yang dikirim dari telepon seluler ke stasiun pemancar terdekat milik operatornya bisa dicegat dan ditangkap oleh alat ini. Suaranya pun bisa direkam dengan jelas dalam hard disk komputer jinjing. Bukan cuma percakapan yang bisa disadap. VBTS bikinan polisi juga mampu mencatat nomor handset yang dikenal sebagai IMEI (International Mobile Equipment Identity). Ini merupakan nomor identitas handset, semacam KTP bagi telepon seluler. Tidak ada IMEI yang sama untuk setiap pesawat telepon genggam kendati mereknya berlainan. Penyadap juga bisa merekam nomor International Mobile Subscriber Identity alias IMSI. Dari nomor ini bisa dipastikan apakah kartu yang dipakai sebuah telepon genggam masih valid atau pulsanya bodong. Praktis, penguping canggih ini mampu menyedot semua data dari sebuah telepon genggam. Karena itu, sekali disadap, seorang pembawa telepon genggam akan gampang dimata-matai terus. Tommy Soeharto telah mengalaminya. Kendati dia sering ganti handset baru sampai 20 kali maupun kartu hingga 70 kali, tetap saja terlacak. Apalagi sang buron termasuk ceroboh. Kerap kali dia memakai kartu lama untuk handset yang baru, atau sebaliknya memakai kartu baru buat pesawat telepon lama yang nomornya sudah ditandai polisi. Mengapa VBTS buatan Polri baru dipamerkan sekarang? Tentu, menunggu momentum yang tepat. Itu sebabnya selama ini peranti yang canggih ini cenderung disembunyikan. Soalnya, "Kalau dibilang bikin sendiri, mungkin pada nggak percaya," kata si perwira penjaga stan sambil tersenyum. Dia tak salah. Sampai sekarang pun cukup banyak orang yang kurang yakin Mabes Polri mampu membuat VBTS. Apalagi proses pemecahan sandi jaringan GSM dikenal tidak mudah. Malah, "Saya belum dengar ada alat komersial yang bisa menyadap GSM di udara," ujar Roy Halim, Manajer Umum Divisi Solusi Sony-Ericsson Indonesia. Setahu dia, penyadapan hanya bisa dilakukan di operator, bukan lewat pencegatan di udara saat handset mengirim sinyal ke stasiun operator. Jangan heran jika VBTS bikinan polisi tetap kesepian sampai pameran peralatan polisi itu usai akhir pekan silam. Hanya, si perwira penjaga stan cukup bangga karena peranti yang dipajang itu telah berjasa membongkar sejumlah kasus pelik. Dan yang lebih penting, bisiknya, "Kita sudah bisa melakukan alih teknologi." Nurkhoiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus