Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Peneliti Jepang Tunjukkan SARS-CoV-2 Bisa Hidup di Kulit 9 Jam

Temuan juga membuktikan SARS-CoV-2 memiliki risiko lebih tinggi untuk penularan lewat kontak fisik ketimbang virus flu A.

9 Oktober 2020 | 14.13 WIB

Seorang pengunjung mengenakan hand sanitizer sebelum bermain dan masuk ke Lucky Star Casino yang baru dibuka kembali di tengah pandemi wabah Virus Corona di El Reno, Oklahoma, AS, 20 Mei 2020. Setelah dibuka kembali, kasino menerapkan peraturan ketat seperti wajib melalui alat pindai khusus untuk mengecek tubuh dan mencuci tangan sebelum bermain, dan wajib memakai masker. REUTERS/Nick Oxford
Perbesar
Seorang pengunjung mengenakan hand sanitizer sebelum bermain dan masuk ke Lucky Star Casino yang baru dibuka kembali di tengah pandemi wabah Virus Corona di El Reno, Oklahoma, AS, 20 Mei 2020. Setelah dibuka kembali, kasino menerapkan peraturan ketat seperti wajib melalui alat pindai khusus untuk mengecek tubuh dan mencuci tangan sebelum bermain, dan wajib memakai masker. REUTERS/Nick Oxford

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi baru di Jepang menemukan virus corona jenis baru penyebab Covid-19 bisa bertahan hidup pada kulit manusia jauh lebih lama daripada virus flu umumnya. SARS-CoV-2 hidup di sampel kulit manusia di laboratorium selama sekitar sembilan jam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Itu kontras dengan sebuah galur virus influenza A yang juga digunakan dalam studi itu. Virus flu A didapati hanya dapat bertahan hidup pada sampel yang sama hanya selama dua jam. Tapi, beruntungnya, kedua jenis virus corona itu, yang hidup lebih lama maupun lebih singkat, sama tidak tahan terhadap hand sanitizer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temuan ini menggarisbawahi pentingnya mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer untuk mencegah penularan Covid-19. Temuan juga membuktikan SARS-CoV-2 memiliki risiko lebih tinggi untuk penularan lewat kontak fisik karena lebih stabil di permukaan kulit ketimbang virus flu A.

Melaporkan hasil studinya itu dalam jurnal Clinical Infectious Diseases terbit 3 Oktober lalu, tim penelitinya yang asal Universitas Kedokteran Perfektur Kyoto itu menambahkan, "Temuan ini mendukung hipotesis kalau tangan yang higienis penting untuk mencegah penyebaran SARS-CoV-2."

Di masa awal pandemi Covid-19, peneliti di Amerika Serikat telah menganalisis berapa lama SARS-CoV-2 bisa bertahan hidup di aneka permukaan benda. Mereka mendapati, misalnya, virus itu bisa hidup pada tembaga selama lebih dari empat jam, di atas kertas karton lebih dari 24 jam, dan pada plastik serta besi lebih dari 72 jam.

Meski begitu, untuk alasan etik, menguji berapa lama virus itu bisa bertahan hidup pada permukaan kulit manusia lebih kompleks. Peneliti tidak bisa begitu saja menempatkan koleksi virus itu pada tangan seorang relawan.

Jadi, untuk studinya itu, tim peneliti dari Kyoto, Jepang, menciptakan sebuah model kulit manusia. Mereka menggunakan sampel dari autopsi mayat berusia satu hari.

Para penelitinya itu menyertakan catatan bahwa bahkan 24 jam setelah kematian, kulit manusia masih bisa digunakan untuk operasi plastik. Artinya, kulit masih mempertahankan banyak fungsinya. Itu membuat sampelnya dianggap berkecukupan sebagai model kulit manusia hidup dalam studi SARS-CoV-2.

Menggunakan model itulah, studi itu menemukan SARS-CoV-2 bertahan di permukaan kulit manusia selama 9,04 jam, dibandingkan 1,82 jam yang bisa dijalani virus flu A. Ketika dicampur dengan mucus atau lendir, untuk meniru emisi partikel virus saat seseorang batuk atau bersin, virus corona yang sedang menebar pandemi itu bahkan bertahan lebih lama lagi, sekitar 11 jam.

Meski begitu, kedua virus bisa langsung inaktif dalam 15 detik setelah pada kulit itu digunakan hand sanitizer dengan kandungan alkohol 80 persen. "Tangan yang higienis membimbing kepada inaktivasi virus yang cepat dan mungkin mengurangi risiko penularan infeksi lewat kontak," tertulis di publikasi makalahnya.

Para penelitinya tak lupa menambahkan catatan kalau studi mereka tidak memperhitungkan 'dosis infeksi' SARS-CoV-2, yakni kuantitas partikel virus itu yang dibutuhkan untuk infeksi bisa terjadi dari kontak dengan kulit yang terkontaminasi. Itu, kata mereka, bisa dijawab lewat studi lanjutannya nanti.

LIVESCIENCE

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus