PERALATAN astronomi Tiongkok yang nyaris berkarat dan penuh debu
karena terlantar sejak Revolusi Kebudayaan menghentikan seluruh
penelitian ilmu-ilmu murni di sana, kini mulai didandani
kembali. Sebuah cermin teropong bintang bergaris tengah hampir
20 meter, sedang diasah di Nanking. Kacanya masih dari jenis
Pyrex bantuan Rusia, sebelum kedua negeri sosialis itu bercerai
belasan tahun silam. Alat itu, nantinya akan dipasang di
Observatorium Peking, di utara ibukota RRT.
Tak jauh dari situ, 130 km di utara Peking di tepi sebuah waduk
raksasa, satu pusat penelitian radio-astronomi dengan dua lusin
antena parabola sedang diperbaiki, agar mampu bersaing dengan
observatorium mana pun di dunia. Sedang di Kunming, propinsi
Yunnan di pegunungan yang berbatasan dengan Vietnam dan Birma,
sebuah observatorium baru sedang dibangun. Puluhan hektar tanatl
sudah dicadangkan untuk pembangunan observatorium baru itu,
beberapa mil di luar kota.
Semuanya itu, dan masih banyak kesibukan lain dari ahli-ahli
astronomi Cina, merupakan kelanjutan dari garis Hua Kuo-feng
yang mau menembus kerugian penelitian ilmu murni akibat oposisi
'kelompok Shanghai' tempo hari. Hal itu telah dilaporkan oleh
delegasi 10 ahli astronomi Amerika yang mengunjungi rekan-rekan
mereka di Tiongkok selama tiga minggu, akhir tahun lalu. "Mereka
berusaha bangkit kembali untuk memberikan saham yang berarti
dalam penelitian benda-benda angkasa," tutur Dr Leo Goldberg dan
anggota rombongan lainnya kepada wartawan New York Times, 6
Nopember lalu.
Archimedes
Meskipun sering dilupakan oleh banyak penulis buku ilmu falak,
pengetahuan Tiongkok di bidang itu sejak puluhan abad lalu sudah
sangat tinggi. Malah jauh sebelum Ptolomeus dari Mesir dan
ahli-ahli Yunani seperti Archimedes dan Plato berkecimpung di
bidang itu. "Sebelum Renaissance' begitu diakui oleh ahli
sejarah Asia Timur di Universitas Cambridge, Dr Joscph Needham.
"orang-orang Cina adalah pengamat gejala antariksa yang paling
tekun dan akurat di dunia." Atau seperti dikemukakan Laplace,
yang dikutip dalam buku The World of Ancient Chna (J.B.
Grosier, London, 1972), "dari semua bangsa kuno, orang Cina
memiliki catatan ilmu falak yang tertua."
Semasa pemerintahan Kaisar Yao yang dimulai tahun 2357 sebelum
Masehi misalnya, kaisar itu sudah mengajarkan kedua
astronomnya--Hi dan Ho --bagaimana menentukan keempat musim.
Catatan tentang gerhana bulan dan matahari di Tiongkok, sudah
ada sejak 1361 sebelum Masehi. Orang-orang Cina juga telah
membuat daftar 90 ledakan antariksa (supernova) antara tahun
1400 sb.M. sampai 1690 sesudah Masehi. Dan berbeda dengan
astronom Yunani Kuno dan Mesir Kuno - yang menganggap
bintang-bintang adalah "lubang" pada cungkup kristal yang
menutupi bumi--astronom Tiongkok Kuno memandang bintang sebagai
sumber cahaya di kejauhan nan tak terhingga konsep yang lebih
mendekati kebenaran.
Keunggulan Tiongkok dalam ilmu falak itu, didukung oleh
kemajuan mereka dalam ilmu pasti, ilmu ukur sudut
(goniometri), dan i~lmu ukur ruang (trigonometri). Rumus
Pythagoras yang terkenal itu -- kwadrat sisi miring satu
segitiga siku siku = jumlah kwadr~at sisi siku-sikunya
(cÿFD = ~aÿFD + bÿFD) -- s~udah ~di kenal oleh matematikus Yu di
Tion~gkok, belasan ratus tahun yang lalu. Menurut dugaan
Grosier, Pythagoras telah memperoleh pengetahuan itu dari
Yu. Atau dari orang India, yang pada gilirannya memperoleh
rumus itu dari Tiongkok.
Juga pedoman (kompas), telah dikenal di Tiongkok sejak lama.
Malah se menara sejarawan berpendapat, bahwa alat penunjuk arah
Utara-Selatan itu memang ditemukan di Tiongkok, sekitar tahun
2600 sb. Masehi. Penemunya, Kaisar Hoan-ti yang memang terkena!
lantaran percobaan ilmiahnya, dikisahkan berhasil mencari dan
menangkap seorang pemberontak, Tchi-yeu, dengan keretanya yang
mampu menunjuk ke selatan (chi-nan-che). Sehingga Grosier merasa
pasti, bahwa pelaut Arab yang sudah mengenal pedoman lama
sebelum bangsa-bansa Eropa, memperolehnya dari Tiongkok. Dan
bukankah dalam Hadith sendiri ada ayat yang menganjurkan orang
Islam menuntut ilmu. kalau perlu sampai ke negeri Cina?
Memang, seperti diakui Dr Needham, "kontribusi ,ahli-ahli ilmu
falak Tiongkok yang utama adalah alat-alat yang diciptakannya."
Ini antara lain meliputi pelana ekuatorial - kini standar dalam
kebanyakan teropong bintang yang diperkenalkan tahun 1270 untuk
menunjang teropong bintang Peking.
Sebelumnya, instrumen-instrumen Cina itu dijalankan dengan
mekanisme jam yang diciptakan tahun 723. Teropong bintang Peking
itulah yang mau di modernisir dengan cermin teleskop yang sedang
diasah di bengkel optik di Nanking. Di tempat Observatorium
Peking yang sekarang itu, masih dapat disaksikan bekas-bekas
teropong bintang lama yang dibangun tahun 1674.
Penyempurnaannya, tak mengabaikan bantuan tenaga ahli asing.
Sebab seorang padri Yesuit bangsa Belgia, Ferdinand Verbiest,
telah dimanfaatkan keahlian instrumentasinya untuk menambah
kepekaan observatorium Peking itu.
Kini, dengan bantuan Amerika mungkin, Tiongkok mau menegakkan
kembali kehebatannya dalam bidang astronomi seperti ratusan
tahun yang lalu. Satu ambisi yang cukup berat dicapai, tentunya.
Sebab masalahnya bukan soal hardware saja. Juga softwarenya,
ahli-ahlinya sangat ketinggalan. Seperti dikemukakan Dr Goldberg
yang memimpin misi astronom-astronom AS beranjangsana ke sana,
kebanyakan astronom Cina yang berbakat telah melarikan diri ke
teori. Pengamatan sangat kurang. Dan kebanyakan sudah tua.
Tenaga peneliti yang mampu di bawah 35 tahun, kurang sekali.
Sebabnya, kata rekan Goldberg Dr Harlan Smith, "karena
pendidikan tinggi macet setelah Revolusi Kebudayaan di akhir
1960-an." Kalau begitu, terpaksa sekolah dulu ke negeri
orang-orang Barbar (begitu orang Cina menyebut orang kulit
putih, zaman dulu) itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini