Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"TIADA hari tanpa dentuman meriam," kata sebuah balada. "Sepasang pengantin remaja Beirut tersenyum, di tengah asap mesiu dan anyir darah. Langit berjelaga, malam dihiasi lelatu dari roket yang meledak di segenap penjuru kota. Sejak masih bocah hingga ranjang pengantin tidurnya didendangkan rentetan tembakan." Telah 14 tahun perang saudara di Libanon belum juga mereda. Puluhan ribu korban yang tewas, dan tidak terhitung jumlah harta benda yang musnah. Bahkan sejak pertengahan Maret lalu adu senjata semakin menggila. Lihatlah, aliran listrik di kota berpenduduk 1,5 juta jiwa itu mati total. Saluran air putus. Pasar, pabrik, apartemen, sekolah, rumah ibadat, bahkan rumah sakit hubar-habir dilantak mortir. Pertentangan milisi kanan pimpinan Jenderal Michel Aoun dan milisi Druze pimpinan Walid Jumblat -- yang didukung Syria -- tampaknya belum mereda. Campur tangan asing -- Palestina, Israel, dan Syria, konon belakangan Irak -- semakin merunyamkan konflik golongan Islam dan Kristen itu. Usaha Komite Liga Arab untuk mendamaikan konflik kedua belah pihak mulanya kelihatan berhasil. Tapi nyatanya gencatan senjata tak berlangsung lama. Tawaran Liga itu untuk mengirim pengamat gencatan senjata bahkan dijawab dengan meningkatkan gempuran dari mereka yang bersengketa. Dan amuk perang berkobar lagi di kala seorang gadis cilik terbangun dari tidurnya di liang perlindungan. Darah di wajahnya tertutupi debu. "Ibu, Ibu, tolonglah, rumah kita terbakar," jeritnya. "Kami sedang tidur nyenyak ketika tiba-tiba atap terkuak lebar, dan kami berada dalam timbunan puing. Anakku menjerit minta tolong. Tapi aku diimpit tumpukan batu," kata seorang ayah di rumah sakit Makkased, Beirut Barat, pekan silam. "Apa sebenarnya yang diinginkan tentara-tentara itu? Biarkanlah kami hidup tenteram. Cukup sudah penderitaan ini." "Saya telah banyak melihat film kekejaman Perang Vietnam, tapi peperangan di Beirut ini lebih dahsyat," kata fotografer Mohammad Yassir.Burhan Piliang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo