Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAYI TABUNG Sutradara & Skenario: Nurhadie Irawan Pemain: Widyawati, Deddy Mizwar, Fauziah Ahmad Daud, Baharuddin H.J. Omar Produksi: Kanta Indah Film BAYI itu -- oleh hakim disebut bayi Z -- akhirnya diperebutkan di meja hijau. Siapakah yang berhak atas Z? Ibu yang mengandung dan melahirkan (ibu fisiologis) ataukah ibu yang memiliki sel telur (ibu biologis)? Sengketa timbul karena teknologi kedokteran memungkinkan kedua fungsi itu dipisahkan. Inilah adegan paling menarik dari Bayi Tabung. Sidang pengadilan di Malaysia menyuguhkan tontonan mengasyikkan, bagaimana keadilan itu diperjuangkan dengan ngotot tapi berwibawa dan rapi. Tapi itu juga berkat permainan gemilang Fauziah Ahmad Daud, yang memerankan pembela ibu fisiologis, dan Baharuddin H.J. Omar, yang menjadi jaksa dan membela kepentingan ibu biologis. Dengan kalimat yang tangkas, Fauziah -- artis terbaik Malaysia -- dan Baharuddin, aktor idola RTM, mengangkat film ini dari konflik-konflik yang datar di bagian awalnya. Karena puncak film ini pada persidangan perebutan bayi Z -- sebagaimana halnya bayi M di Amerika yan merebut perhatian media massa dunia, yang dijadikan ilham film ini -- cara Nurhadie bercerita yang runtut membuat film jadi bertele-tele. Separuh film menceritakan suami-istri Sukarya (Deddy Mizwar) dan Jelina (Widyawati), yang menghadapi problem keuangan karena anak tunggalnya. Tania (Vivi Samodro), terkena leukemia. Operasi sumsum tulang belakang Tania yang dilakukan di Semarang membutuhkan uang banyak sementara Sukarya diberhentikan sebagai dosen karena terlibat aksi mahasiswa. Problem inilah yang memacu Jelina tertarik pada tawaran kerja sama yang -- agak aneh juga -- bagi Jelina tak jelas wujudnya saat itu. Baru belakangan ia tahu, kerja sama itu adalah penitipan embrio di rahimnya. Penjelasan proses bayi tabung ini, yang disampaikan Datin Maria (ibu biologis) kepada Jelina, bertele-tele. Nurhadie seperti kesulitan bercerita bagaimana memaparkan proses teknologi canggih itu. Atau ia bermaksud mempermainkan batin Jelina -- sebuah konflik lagi yang mau dibangunnya -- yang sayangnya tidak mencuat. Yang muncul justru kesan: kedua wanita yang berlainan bangsa ini begitu sulit berkomunikasi. Sampai berhari-hari -- yang digambarkan dengan adegan di berbagai tempat serta kostum yang bergonta-ganti bagai pameran mode. Lalu, sebagai orang Timur, cara Jelina untuk memutuskan menerima "penitipan embrio" itu, tanpa membicarakannya secara tuntas dengan suaminya, lagi-lagi terasa sebagai sesuatu yang dipaksakan. Apa pun alasannya, termasuk soal waktu yang mendesak. Andai kata cerita dibuat lurus, Jelina mempertimbangkan penitipan embrio itu dengan suaminya, adegan Sukarya marah dan menuduh istrinya hamil lantaran berzina -- yang sebenarnya klise tak perlu ada. Dan adegan yang benar-benar tak perlu adalah datangnya pasangan ini ke pengadilan agama (atau BP4?) untuk minta nasihat. Adegan ini tak memperjelas masalah, dan juga tidak menjelaskan sikap agama terhadap bayi tabung melalui ibu titipan. Bahkan ada kesan, ulama di lembaga itu menyetujui atau paling sedikit tidak menolak teknologi bayi tabung dengan menggunakan ibu titipan. Karena begitu pasangan ini pulang, mereka rukun. Nah, film baru terasa lancar dan segar ketika Jelina mulai "kontak emosi" dengan janin yang ada di tubuhnya. Penonton mulai digiring pada sikap mendua Jelina dan Sukarya. Menyerahkan bayi itu kepada pasangan Datuk Kamaruszaman dan Datin Marina berarti memutuskan kasih sayang kemanjaan, kenangan suka duka, yang sudah terjalin selama 9 bulan dalam kandungan. Lebih-lebih Tania, yang begitu polos, sangat mengharap-harap datangnya adik baru. Namun, mempertahankan bayi itu berarti mengingkari perjanjian, apalagi uang sudah diterima untuk penyembuhan Tania. Saat kelahiran, yang konon paling menegangkan sekaligus mengharukan kaum wanita, menjadi titik balik. Jelina mempertahankan bayi itu dan jalur hukum pun ditempuh. Jika saja Nurhadie memulai cerita dari sini, dari proses perdebatan di pengadilan, sementara konflik-konflik sebelumnya cukup dilukiskan lewat kilas balik (flash back) -- yang bisa diulang-ulang sekaligus menunjukkan proses peradilan berlangsung lama -- barangkali tontonan yang bertemakan kehidupan manusia modern ini lebih ada greget. Apalagi ending film mengejutkan: bayi Z dimiliki Datin Marina lantaran Jelina tak tega bayi itu diasuh negara -- sebagaimana keputusan mahkamah. Itu tak berarti film ini "film kacangan". Nurhadie Irawan, yang saya kenal lewat serial Rhoma Irama-nya, sudah menunjukkan bahwa ia bisa membuat film yang tak hanya ditonton masyarakat kelas bawah. Lewat Bayi Tabung, Nurhadie sudah naik kelas. Widyawati, walau tak sebaik memerankan Arini, masih lumayan. Cuma Deddy yang -- terus terang -- bermain jelek. Mungkin capek karena ia menjabat produser pelaksana di film ini. Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo