Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak zaman penjajah, kekuasaan kehakiman tak pernah bebas dan merdeka. Pemerintah terlalu banyak campur tangan. Kekuasaan kehakiman menjadi cermin demokrasi. BUKU ini adalah kumpulan tulisan lepas yang pernah diterbitkan di berbagai majalah dan buku, selama 30 tahun terakhir. Namun, kiranya keliru jika memandangnya sebagai kumpulan tulisan semata. Ada benang merah yang terjalin dari satu tulisan ke tulisan lain yang begitu kental -- entah dikehendaki atau tidak oleh penulisnya -- yang membuat buku ini hadir sebagai kumpulan tulisan yang utuh dan lengkap tentang perjalanan hukum, khususnya perjalanan "kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka" dalam sejarah modern Indonesia. Secara singkat buku ini merupakan serentetan potret kekuasaan kehakiman yang kompleks dan dinamis, sebuah pasang surut dunia peradilan yang amat menarik untuk disimak. Kiranya penulis tak bermaksud menulis sejarah hukum, meski kesan itu tak sepenuhnya bisa disalahkan. Hanya sejarah hukum macam apa yang dituliskan perlu diperjelas dulu. Di situ ada penekanan yang mendalam tentang pergulatan politik dalam kehidupan hukum kita. Mungkin lebih tepat jika disebutkan bahwa penulis berkeinginan menggunakan kaca mata politik untuk mengkaji kekuasaan kehakiman di Indonesia, tidak membatasi diri pada kajian hukum yang legistik dan konservatif. Di sini penulis menyajikan suatu analisa politik yang tajam dan menantang, serta membuat kita marah di sana-sini. Secara cermat ia membuktikan bahwa legacy dari politik hukum kolonial masih cukup terasa di negeri ini. Beberapa tulisan, terutama Bab X: "Hukum Kolonial dan Asal-usul Pembentukan Negara Indonesia", secara meyakinkan menguraikan bertahannya beberapa struktur hukum kolonial dan sisa-sisa politik hukum adat (adatrechpolitiek). Ini bukan semata disebabkan masih berlakunya banyak sisa perundang-undangan kolonial seperti Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Koophandel (Kitah Undang-Undang Hukum Dagang), tapi terutama kurang kuatnya tradisi kekuasaan kehakiman. Pada zaman kolonial kekuasaan kehakiman dipecah-pecah berdasar penggolongan etnis dan hukum acara. Kini kekuasaan kehakiman diatur dalam bentuk lain, di bawah kekuasaan pemerintahan yang cenderung semakin kuat. Secara amat mudah bisa kita lihat sebuah obsesi yang menjiwai keseluruhan tulisan ini, yaitu independency of judiciary, suatu obsesi yang sangat Barat, yang berakar pada teori-teori negara yang mapan. Karena itu, pernyataan-pernyataan yang secara bertubi-tubi hadir dalam buku ini adalah mengapa negara cenderung menjadi lebih kuat dan mencampuri kekuasaan kehakiman. Dalam konteks inilah kita bisa terperangah membaca kecermatan dan ketajaman penulis yang menggambarkan perjuangan para hakim untuk independency of judicary. Salah satu alasannya adalah untuk memperkuat posisi para hakim. Kita bisa melihat pula adanya usaha jajaran kejaksaan dan kepolisian untuk memperkuat posisinya. Hal ini tentu saja akan melemahkan posisi para hakim. Baik jaksa maupun polisi merasa tak harus lebih rendah dari kekuasaan hakim. Mungkin keduanya benar. Sebab, hakim, jaksa, dan polisi, ketiganya merupakan pilar keadilan. Cuma, persaingan ketiganya mendorong pemerintah untuk mengempiskan independency of judiciary. Apa yang terjadi pada zaman Demokrasi Terpimpin telah membuat posisi hakim sangat lemah. Celakanya, setelah Orde Lama, posisi hakim pun tak kunjung bangkit. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14/1970), yang seharusnya memperkuat independency of judiciary dan posisi hakim, ternyata justru membuka lahan baru bagi pelestarian kehadiran tangan eksekutif di lingkungan kekuasaan kehakiman. Karena itu, kajian mengenai kekuasaan kehakiman, terutama posisi para hakim yang menjadi pilar utamanya, secara perlahan surut dari perhatian penulis. Obsesinya mengenai kekuasaan kehakiman yang bebas semakin pudar. Pada bagian akhir bukunya, independency of judiciary bergeser, bukan menjadi tema sentral lagi. Ia menampilkan advokat, pekerja bantuan hukum, dan masalah hak asasi manusia. Di tangan para advokat dan pekerja bantuan hukum yang "bebas dan merdeka" inilah obsesi penulis akan independency of judiciary itu dihidupkan kembali. Kelahiran "golongan menengah baru" -- bukan kelas menengah -- diharapkan bisa melahirkan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka di kemudian hari. Namun, ia melihat bahwa munculnya elite hukum swasta yang bebas dan mandiri -- di dalam tubuh Ikadin (dulu Peradin) dan LBH-LBH -- setidaknya bisa menghidupkan cita-cita dan semangat negara hukum, atau konstitusionalisme dan hak asasi manusia. Setidaknya Ikadin dan LBH-LBH bisa menjadi lilin yang tetap menyala di tengah badai yang mengguncang kapal kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Terlepas dari benar tidaknya obsesi itu, yang jelas buku ini adalah kumpulan tulisan yang menarik. Ia bisa memperkaya wawasan politik kita tentang betapa sukarnya perjuangan mewujudkan cita-cita negara hukum, tentang pasang surutnya peradilan dan posisi para hakim kita. Buku ini menyajikan banyak pergumulan politik menarik yang terjadi di tubuh pengadilan kejaksaan, kepolisian, dan profesi advokat. Juga ada bagian merangsang tentang pokrol bambu dan gerakan bantuan hukum. Singkat kata, buku ini bisa menjadi analisa politik yang menarik tentang perjalanan negara hukum kita. T. Mulya Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo