Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepotong karet bisa menjadi senjata penangkal mandraguna bagi tubuh. Sepotong karet itu bernama kondom. Begitu sederhana, tapi urusannya jadi rumit karena tak semua lelaki mau menggunakannya karena berbagai alasan. Apa pun alasannya, Nafsiah Mboi adalah satu dari sederetan aktivis yang memerangi HIV/AIDS yang spartan dan gigih.
Bagi Nafsiah, entah alasan itu bersandar pada larangan agama atau karena tak nyaman menggunakannya: kondom adalah sebuah keharusan. Karet tipis ini adalah salah satu perisai ampuh untuk menangkal penularan HIV/AIDS.
Nama Nafsiah Mboi identik dengan perjuangan menangkal HIV/AIDS. Sebagai Sekretaris Komisi Nasional Penanggulangan AIDS (KPA), Nafsiah Mboi memang mengemban tugas mengkampanyekan bahaya AIDS dan cara pencegahannya. ”Kampanye penggunaan kondom kita lakukan agar orang betul-betul mengerti. Kita sekarang tak ada opsi lain,” ujarnya serius.
Dalam berkampanye, perempuan 67 tahun itu tak sungkan membawa contoh kondom pria dalam kemasan menarik. Kondom berwarna-warni dengan rasa berbeda-beda itu tersimpan dalam sebuah penggaris plastik besar berukuran 8 x 35 sentimeter yang memiliki rongga di bagian tengah. Kondom-kondom itu bisa menjadi pajangan. Bila ingin menggunakan, tinggal dipecahkan kemasannya.
Lahir di Sengkang, Sulawesi Selatan, 14 Juli 1940, Nafsiah adalah putri sulung H.A. Walinono. Ia bersaudara kandung dengan Prof. Dr. Andi Hasan Walinono, mantan Direktur Jenderal dan Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional, serta Erna Witoelar, Menteri Negara Permukiman dan Prasarana Wilayah dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Selepas SMA, ia menempuh pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Jakarta, pada 1958-1964. Di kampus inilah, Nafsiah bertemu Ben Mboi, kakak kelas yang sempat memplonconya pada masa awal menjadi mahasiswi. Setelah berpacaran selama enam tahun, pernikahan digelar pada 1964.
”Dia orangnya sangat pintar, aktif berorganisasi, tapi sederhana. Itu yang membuat aku tertarik,” Nafsiah bercerita tentang Ben, yang sudah menemani hidupnya selama 43 tahun. Pasangan itu kini tinggal di kawasan Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Mereka telah dianugerahi tiga anak dan empat cucu.
Tamat dari Universitas Indonesia, Nafsiah menjadi dokter sukarelawan Dwikora. Setelah latihan militer, ia ditempatkan di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di tengah komunitas warga muslim di sana, Nafisah menyaksikan banyak perempuan yang tak mendapat layanan kesehatan karena mereka tak boleh ditangani oleh dokter atau petugas kesehatan laki-laki.
Padahal, sebelum Nafsiah bertugas, belum pernah ada dokter perempuan yang ditempatkan di kawasan itu. Bisa dibayangkan betapa bahagianya kaum perempuan lantaran kedatangannya. Ia menjadi dokter perempuan pertama dan satu-satunya di kawasan tersebut.
Jalinan keakraban dengan perempuan Ende membersitkan niat Nafsiah menjadi dokter spesialis kebidanan. Ia ingin menolong kaum perempuan sebanyak mungkin. Selepas bertugas di Ende, Nafsiah segera melamar spesialisasi kebidanan di FKUI. Sayang, ”Kampus Kuning” saat itu tak menerima calon dokter spesialis kebidanan dari kalangan perempuan. Semuanya harus laki-laki.
”Waktu itu kami memang mengalami diskriminasi,” kata Nafsiah. Gagal jadi ahli kebidanan, ia melirik ke spesialisasi anak. Pertimbangannya, spesialisasi inilah yang kiprahnya paling dekat dengan bidang kebidanan. Kebetulan, ia suka anak-anak. Kali ini lamarannya diterima. ”Jadilah saya dokter spesialis anak,” ujarnya.
Keahliannya di bidang kesehatan bertambah setelah memperdalam pediatrik sosial di Amsterdam, Belanda, serta pediatrik klinik di Belgia, pada 1971-1972. Kesempatan itu terbuka lantaran suaminya, Ben Mboi, memperoleh beasiswa master kesehatan masyarakat di Belgia. Ia mengaku sengaja menambah ilmu di kampus negeri Belanda dan Belgia karena tak bisa diam kalau sekadar ikut suami.
Setelah kembali dari Eropa, setahun kemudian pasangan Ben Mboi-Nafsiah kembali bertugas di Nusa Tenggara Timur. Ben diangkat sebagai Kepala Kantor Wilayah Kesehatan, sedangkan Nafsiah menjadi Wakil Direktur Rumah Sakit Kupang. Kali ini ia menjadi satu-satunya dokter spesialis anak di sana.
Hidup mereka makin terpaku di wilayah ini setelah Ben Mboi diangkat menjadi gubernur, periode 1978-1988. Ketika itulah, tepatnya pada 1986, Nafsiah dan suami menerima penghargaan Ramon Magsaysay bidang pelayanan pemerintah atas kontribusinya meningkatkan kualitas pembangunan di Nusa Tenggara Timur.
Kendati menjadi istri gubernur, Nafsiah tak terus-menerus berada di samping sang suami. Sejak 1982 hingga 1997, ia harus bolak-balik ke Jakarta lantaran tercatat sebagai anggota MPR dan DPR RI.
Belum rampung tugasnya sebagai anggota DPR, pada 1996 Nafsiah diminta pemerintah agar melamar ke Komite Hak Anak PBB. Lamarannya diterima. Jadilah ia rapporteur alias pencatat di lembaga tersebut. Ia kemudian naik menjadi ketua selama periode 1997-1999.
Nafsiah merupakan orang Asia pertama yang terpilih untuk jabatan tersebut. Bahkan sampai sekarang prestasi itu belum tertandingi. ”Saya masih satu-satunya orang Asia yang pernah menjadi ketua di situ,” ujarnya bangga.
Lengser dari komite, wanita energetik itu dipercaya menjadi Direktur Departemen Gender dan Kesehatan Perempuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa. Posisi ini dipegang sejak 1997-2002. Kembali ke Tanah Air, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan, bersama koleganya Deliana Sayuti Ismudjoko.
Namun, setelah aktif di KPA Nasional, tugas-tugasnya di Komnas Perempuan tak bisa tergarap penuh. ”Saya malu sekali menjadi pengurus roh di situ. Nama tercantum, tapi orangnya jarang kelihatan,” katanya. Tak mau bekerja setengah-setengah, sejak tahun ini jabatan di Komnas Perempuan dilepasnya. Ia mencurahkan konsentrasi seratus persen untuk mengurus masalah HIV/AIDS. ”Bu Nafsiah orangnya tegas: kalau tak bisa, ya bilang tak bisa,” kata Deliana.
Syahdan, Jonathan Mann, Direktur Program Global untuk AIDS-WHO, menyentuh hati Nafsiah. ”Naf, kalau kamu tak melakukan apa-apa, Asia akan menjadi bom waktu HIV/AIDS berikutnya.”
Mann menayangkan film tentang sebuah desa di Afrika. Di situ orang-orang berusia produktif mulai sakit dan mati. Orang-orang muda meninggalkan desa. Yang tinggal hanyalah orang tua dan anak-anak. Walhasil, kebun dan ladang telantar dan kemiskinan makin membelit. Semua gara-gara HIV/AIDS.
”Sejak itulah, saya baru betul-betul mempelajari HIV/AIDS,” kata Nafsiah. Di Universitas Harvard, kuliah tentang penyakit mematikan itu terus dipelototi. Kembali ke Indonesia, ia langsung terlibat dengan segerobak kegiatan memerangi penyakit mematikan itu.
Salah satunya adalah membidani lahirnya Komitmen Sentani pada 2004, yang menjadi tonggak komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menanggulangi HIV/AIDS. Pada 2005-2006, ia menjadi konsultan Family Health International/Aksi Stop AIDS.
Sempat menjadi penasihat senior di KPA Nasional pada 2003, tiga tahun kemudian, tepatnya Agustus 2006, Nafsiah dipilih sebagai sekretaris. ”Ini benar-benar kerja full time, dari pagi hingga malam,” katanya.
Ruddy Gobel, bekas anak buahnya di Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, mengakui kinerja Nafsiah yang unggul. ”Dia orang yang sangat tahu persoalan dan memiliki jaringan luas. Ia pemimpin yang kuat,” katanya.
Nafsiah juga rajin menghadiri berbagai ceramah, dialog, dan diskusi tentang HIV/AIDS. Semua tak lepas dari ancaman penyakit maut itu di negeri ini. Data KPA sampai Desember 2006 menunjukkan ada 13.424 orang pengidap penyakit maut tersebut. Jumlah itu diyakini masih jauh dari keadaan sebenarnya dan masih akan terus meningkat.
Selain akibat penggunaan jarum suntik narkotik secara bersama-sama, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seks juga meningkat tajam. Itu sebabnya kampanye penggunaan kondom dipergencar.
Komitmen dan keberanian Nafsiah disambut positif Nurul Arifin, artis yang juga aktivis HIV/AIDS. Maklum, aktivis seperti dirinya acap kali menghadapi masalah saat mengkampanyekan kondom. ”Nafsiah adalah kekuatan bagi kami. Dia berani tampil di depan,” kata Nurul.
Konsep kampanye itu tentu saja yang pertama jika seseorang mampu setia melakukan hubungan seksual hanya dengan pasangannya menurut tuntunan agama, tentu itu hal yang baik. Namun, buat mereka yang tak tahan menghadapi godaan di luar rumah, kondom bisa menjadi pelindung nyawa. Adapun ihwal dosa, silakan ditanggung sendiri-sendiri.
Tak ketinggalan ia membawa pula contoh kondom perempuan yang baru diperkenalkan secara resmi pada awal Februari lalu, di Surabaya. Bungkus kondom berwarna keperakan itu berukuran jumbo, lima kali lebih besar ketimbang bungkus kondom laki-laki. Jangan heran, soalnya diameternya hampir tujuh sentimeter dan panjangnya 17 sentimeter.
Nafsiah optimistis, penggunaan kondom perempuan bisa lebih mencegah meruyaknya kasus baru HIV. Soalnya, dengan memakai kondom jenis ini, pe-rempuan bisa menentukan dan mengontrol nasibnya sendiri. Ia dapat mencegah penularan virus penghancur kekebalan tubuh dari mitra seksualnya.
Hasilnya, hubungan seksual akan menjadi lebih nyaman dan aman. Bandingkan bila hanya kondom pria yang tersedia, sementara perempuan kerap tak berdaya bila pasangan seksualnya enggan mengenakan sarung pengaman. Bisa-bisa sepanjang berhubungan intim, ancaman kematian terus mendera. Karena itu, bagi Nafsiah, kondom adalah senjata yang ampuh untuk perang melawan HIV/AIDS.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo