Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah karya puncak sutradara Garin Nugroho. Dan sebuah karya puncak perfilman Indonesia tahun ini. Sebuah film yang merayakan keunggulan artistik empat matra seni: film, musik, tari dan seni rupa. Liris, indah, kuat, dan mengutip Peter Sellars, "Salah satu film paling orisinal yang pernah saya tonton."
Sellars adalah sutradara opera ternama yang memilih para sineas dunia untuk membuat sebuah film bertema musikal untuk memperingati 250 tahun Mozart di Wina, Austria, akhir November lalu. Para sutradara itu dipersilakan membuat film berdasar tema karya-karya terakhir Mozart: The Magic Flute, La Clamenza di Tito, dan Requiem. Garin memilih tema requiem lewat film Opera Jawa yang menafsir ulang kisah Rama-Sita, sebuah kisah pembuktian kesucian yang berakhir tragis.
Melalui film yang diputar di 12 negara Eropa ini, Garin mengaduk lebih dalam motif-motif hasrat manusia. Ia tak cuma berbicara tentang cinta, tapi juga kebimbangan, hasrat sensualitas Sita di antara Rama yang posesif dan Rahwana yang agresif.
Meski penuh tarian, tembang, dan dikelilingi seni instalasi, film Opera Jawa tak terjebak menjadi karya yang "gelap", sesuatu yang selama ini sering dikeluhkan pada beberapa karya Garin sebelumnya. Opera Jawa dengan logika visualnya itu mampu bercerita dengan lancar dan dinamis.
Kolaborasinya dengan musikus Rahayu Supanggah memberi warna terpenting di film ini. Bila film-film opera di Barat biasanya mengambil dari partitur yang sudah ada, Supanggah menulis libretto dan mencipta 70 komposisi musik khusus untuk film ini.
Film cerita kesembilan karya sutradara kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1961, itu juga menghadirkan orkestrasi yang padu antara seni tari yang ditampilkan antara lain oleh penari Eko Supriyanto, Miroto, dan Slamet Gundono, dan karya-karya serombongan perupa terkemuka seperti Sunaryo, Nindityo, Agus Suwage, Tita Rubi, S. Tedy, Hendro Suseno, dan Entang Wiharso. "Percakapan" antarkarya itu tak mungkin menyatu tanpa konsep penyutradaraan dan pengadeganan yang kuat.
"Bagi saya film ini seperti perjalanan pulang ke dunia masa kecil," kata Garin. Saat itu di kampung halamannya, Yogyakarta, ia tumbuh dalam keluarga yang mencintai pelbagai macam seni. Kakaknya melukis setiap hari, ayahnya menerbitkan buku-buku Jawa dan menyukai wayang, dan Garin yang sering mencuri-curi menonton film bioskop tanpa karcis, rutin berlatih menari serimpi. Jadi, "saya sudah terbiasa bersekutu dengan bermacam-macam seni."
Majalah ini memilih Opera Jawa sebagai film terbaik setelah membuat penilaian berdasar seluruh aspek film, seperti ide cerita, logika cerita, penokohan, akting, pengadeganan, penyutradaraan, sinematografi, hingga skenario. Dari 34 film yang beredar di bioskop dan dua film yang beredar secara indie pada 2006, kami memilih (secara berurutan) lima film, yakni Opera Jawa, Berbagi Suami karya Nia Dinata, 9 Naga karya Rudi Soedjarwo, Denias, Senandung di Atas Awan garapan John De Rantau, dan Ruang besutan Teddy Soeriatamadja.
Berbagi Suami kuat dari sisi ide cerita, skenario, akting dan penokohan. Film 9 Naga berhasil dalam penyutradaraan, akting, dan penokohan. Denias baik dalam logika cerita, sinematografi, dan penulisan skenario. Ruang menonjol dalam sinematografi. Dari sisi tema, Opera Jawa, Berbagi Suami, 9 Naga, dan Denias sama-sama memiliki keunikan: tafsir ulang Ramayana (Opera Jawa), poligami (Berbagi Suami), pembunuh bayaran (9 Naga), dan potret pendidikan di Papua (Denias).
Pilihan kami berbeda dari pilihan Festival Film Indonesia yang sama sekali tak memasukkan Opera Jawa, Berbagi Suami, dan 9 Naga dalam nominasi film terbaik. FFI sebaliknya memenangkan film Ekskul yang, menurut kami, justru tak sepadan dengan empat film teratas pilihan kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo