Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Kisah di Antara Reruntuhan

Film Oliver Stone yang diambil dari kisah nyata korban teror WTC. Getir, suram, dan menggetarkan.

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

World Trade Center Pemain: Nicolas Cage, Michael Pena, Jay Hernandez, Maria Bello, Maggie Gyllenhaal Skenario: Andrea Berloff Sutradara: Oliver Stone Produksi: Paramount Pictures (2006)

Today is green,” ucap Sersan John McLoughlin kepada anak buahnya, anggota Port Authority Police. Ini sebuah sinyal aman. Intelijen negara tak menangkap gelagat ancaman apa pun untuk kota raksasa itu. John pun meneruskan ”sinyal hijau” pada 11 September 2001 itu kepada polisi pelabuhan Manhattan, New York.

Fajar belum lagi pudar. Satu-satu-nya persoalan yang harus diselesaikan John (Nicolas Cage) dan kawan-kawan di hari itu adalah mencari seorang bocah yang hilang. Maka, para polisi itu berpencar. John berjalan ke terminal bus. Antonio Rodrigues, Chris Amoroso, Dominick Pezzulo (Jay Fernandez), dan Will Jimeno (Michael Pena) menyusuri jalan yang masih dingin ke arah World Trade Center.

Pada mulanya segalanya berjalan biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Para polisi itu masih menenteng foto si anak hilang. John lupa ia belum mencium istrinya saat berangkat. Rodrigues, Amoroso, dan Pezzulo meledek Jimeno, polisi baru yang masih tampak canggung. Jimeno sendiri hatinya sedang bungah mengingat sebentar lagi ia bakal punya anak pertama.

Tragedi pecah! Sebuah pesawat menabrak menara utara World Trade Center pada pukul 08.45. Amerika, juga dunia, seketika berubah. Begitu pula nasib John dan keempat anak buahnya.

Sutradara Oliver Stone tak berpretensi membuat sebuah rekonstruksi aksi terorisme terhadap menara kembar yang kemudian luluh-lantak itu. Tak ada adegan sekumpulan teroris dari Timur Tengah seperti dalam film United 93, yang membajak pesawat lalu menabrakkannya ke dua menara itu. Teori konspirasi sebagaimana muncul di film-film Stone terdahulu—JFK (1991) dan Nixon (1995)—kali ini absen.

Kali ini Stone tak tertarik menghadirkan horor sebuah benturan pesawat dengan gedung yang menjadi simbol bisnis kota New York itu, atau membuat ”esai” politik agar bergema ke seluruh dunia. Stone bahkan cuma meminjam gambar-gambar dokumenter tabrakan dan menyuguhkannya dalam porsi yang sedikit. Ia lebih memilih adegan tabrakan dengan menyuguhkan simbol: bayangan pesawat pada sebuah billboard yang kemudian diiringi suara berdentam atau sebuah dispenser yang bergetar hebat.

Di film ini, sutradara Platoon (1986) itu menghadirkan drama manusia lewat kisah nyata sersan John dan polisi bau kencur Jimeno. Keduanya adalah korban ke-18 dan ke-19 dari 20 orang terakhir yang dapat diselamatkan dari reruntuhan WTC. John selama 22 jam berada di kedalaman 30 kaki (hampir 10 meter) di bawah timbunan puing. Sedangkan Jimeno berada di kedalaman delapan meter selama 14 jam.

John yang sudah 24 tahun bertugas di Port Authority dan separuh masa tugasnya dihabiskan di WTC segera menuju gedung itu begitu mendengar musibah tersebut lewat radio panggil. ”Aku mengenal WTC seperti aku mengenal telapak tanganku sendiri,” ujar John kepada CNN.

Berjarak sekitar satu mil dari WTC, rombongan polisi pelabuhan itu menyewa bus untuk pergi ke gedung itu. Tapi sebagian besar polisi kemudian kecut memasuki menara. John dan empat kawannya nekat masuk untuk menyelamatkan orang-orang yang ada di dalam gedung. Mereka menuju menara selatan yang saat itu belum diserang. Saat sedang mengumpulkan tabung oksigen, menara ini pada pukul 09.03 pun berguncang hebat. Sejam kemudian, menara selatan luruh ke tanah.

Antonio Rodrigues dan Chris Amoroso tewas. John dan Jimeno tertimbun puing. Pezzulo, yang berhasil membebaskan diri dari reruntuhan, selamat. Ia berusaha menyelamatkan Jimeno dan John, tapi nahas: menara utara runtuh dan menewaskannya.

Di sinilah film Stone kemudian memasuki momen yang menggetirkan. Dua polisi yang tak berdaya, dengan kaki dan tangan remuk, udara yang amat terbatas, dan api yang sewaktu-waktu bisa membakar tubuh mereka, mencoba bertahan. Mereka hanya bisa menunggu.

Film pun segera membangun ruang sunyi lewat napas satu-satu dan suara debu yang jatuh. Ada penantian panjang yang entah kapan berujung lewat percakapan John dan Jimeno yang patah-patah dan melangut. Ada pula harapan yang teraduk lewat memori masa lalu yang saling mereka bagi. Tentang Jimeno, misalnya. Ia bercerita tengah berdebat dengan istrinya mengenai nama bakal bayi mereka. John sebaliknya bertutur tentang janji-janji yang ia umbar pada anaknya, juga tentang ciuman yang tak kesampaian di pagi buta itu. Menyentuh. Dan perlahan-lahan menggerus rasa.

Di reruntuhan puing tersebut semua memori mengapung, juga semangat hidup dan sekaligus rasa putus asa. Di timbunan bongkahan-bongkahan beton itu waktu jadi mengkerut dan bahkan berhenti. Pertolongan seperti sebuah kafilah yang baru saja berangkat dari belahan dunia nun jauh di sana. Tak sampai-sampai.

Lewat visualisasi nasib dua polisi yang menggigil, merintih, bahkan menjerit, namun tak kunjung berbalas itu Stone telah menghamparkan sebuah hiperdrama. ”Pada mulanya saya mengira telah mati. Saya kehilangan seluruh rasa. Saya tak bisa melihat, mencium bau, mendengar. Seluruhnya sunyi,” kata John kepada CBS News.

Sutradara berusia 60 tahun itu menyulam kisah nyata itu apa adanya dan cuma menambahkan ”bumbu” aspek dramatik dan artistik film. Dengan semangat dokumenter itu pula ia kemudian menawarkan kepada Dave Karnes, seorang marinir yang menyelamatkan John dan Jimeno, untuk memerankan dirinya sendiri. Karnes menolak dan akhirnya digantikan aktor Michael Shannon. Karnes menolak karena tak suka pada Stone yang anti-Bush. Di film itu, Karnes akhirnya digambarkan berangkat berperang ke Irak. Karnes asli yang baru pulang dari Irak memuji Stone sebagai telah ”memberi penggambaran yang akurat” dalam film ini.

Untuk membangun latar cerita yang juga akurat, Stone menciptakan kembali Ground Zero seperti aslinya. Lokasinya bukan di New York, melainkan di Los Angeles. Tim kreatif Paramount Pictures menghabiskan 240 ton material untuk merekonstruksi reruntuhan dua gedung WTC itu.

Sebenarnya Stone ingin mengambil semua gambar di New York, bahkan tak jauh dari Ground Zero. Tapi ia menyadari, kesedihan warga New York terhadap tragedi itu belum pulih benar. Inilah sebabnya ia juga tak menampik saran produser untuk tak memutar film itu di Amerika pada September.

Bila anggota keluarga dari korban yang tewas masih trauma, tidak demikian dengan John yang kini berusia 53 tahun. Setelah menjalani 30 kali operasi dan serangkaian terapi, ia mengaku telah mulai pulih. John menyebutkan, dua kali sehari ia melewati Ground Zero untuk menuju tempat kerjanya yang baru setelah pensiun dari kepolisian. Satu-satunya hal yang tak bisa pergi dari benaknya adalah pesan Pezzulo sebelum mati: ”Jangan pernah lupakan ini, aku telah berusaha untuk menyelamatkanmu. Jangan pernah lupakan.”

Di reruntuhan itu, ribuan nyawa saling bertumpuk. Pezullo, tak mungkin ada yang bisa melupakan peristiwa itu.

Yos Rizal Suriaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus