AHU SI SINGAMANGARAJA
Oleh: W.B. Sidjabat
Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1982, 487 halaman.
BUKU Prof. Dr. W.B. Sidjabat tentang Si Singamanaraja
membenarkan kehadirannya di tengah-tengah sekumpulan buku
tentang toko yang sama. Sebab buku ini berisi penilaian kembali
sejarah perjuangan pahlawan Indonesia kelahiran Tapanuli itu. Ia
tak hanya bercerita mengenai siapa, juga tentang apa Si
Singamangaraja Dalam buku ini Sidjabat menegaskan kembali
daya-pantul (reperkusi) aksi perlawanan Si Singamangaraja
sebagai kembaran perlawanan rakyat Aceh menentang pembentukan
tertib damai Belanda (Pax Neerlandica). Ia mencatat "Perang Aceh
dan Perang Batak itu erat bertalian karena berlangsung dalam
masa sejarah yang bersamaan dan di daerah yang berbatasan."
(Halaman 146).
Sidjabat juga membingkaikan perlawanan rakyat Tapanuli di dalam
kerangka ikhtiar Belanda membuka sumber kekayaan alam seperti
tembakau, karet, kelapa, $awit dan minyak di Sumatera Utara dan
Aceh. Karena itulah penyerbuan modal swasta ke Indonesia
bertepatan dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria,
Undang-undang Gula, dan Undang-undang Pertambangan De Wall pada
tahun 1870.
Tahun itu tak hanya merupakan awal kurun modal monopoli, juga
mulai dilakukannya ekspedisi perang Belanda ke daerah Tapanuli
(halaman 72). Dalam Bab V (Ekspansi Ekonomi Belanda dan
Akibatnya bagi Sumatera Utara) dilukiskan latar (setting)
ekonomi yang menjadi penyebab tindakan-tindakan militer dan
politik Belanda di Sumatera Utara.
Bab VI (Pertarungan Rakyat Sumatera Utara Bersama Si
Singamangaraja XII melawan Belanda) melukiskan peta politik
sejak penabalan Si Singamangaraja XII pada tahun 1875 sebagai
prolog peperangan. Dengan terperinci Sidjabat memaparkan
tipudaya Be anda mencari-cari 'alasan' perang (casus belli) yang
dibuat-buat dan sikap Si Singamangaraja yang suka damai. Bak
kata peribahasa Inggris: kaum kolonialis Belanda "meminta
terlalu banyak dan memberi terlalu sedikit (asking too much and
giving too little)." Demikianlah pengumuman perang (Batak:
pulas) dikeluarkan di Balige pada tanggal 16 malam 17 Februari
1878.
Hal penting yang ditegaskan pada bab ini adalah kehadiran
pasukan Aceh di dalam lasykar Si Singamangaraja XII sejak awal
peperangan (penyerbuan terhadap kubu Belanda di Bahal Batu, 19
Februari 1878). Digambarkan pula bahwa serbuan bersifat serangan
badai (storrmaanval, assault) dengan menggunakan senjata yang
sangat aneka-warna. Namun senapan lantak dan lembing cukup repot
dan kepepet menghadapi senapan berpatron, meriam, dan pelempar
granat yang merupakan kekuatan unggul. Bab ini berakhir dengan
tertembaknya Si Singamangaraja di dekat Pearaja Dairi, 17 Juni
1907 sekitar pukul 18.00, tanpa bersedja mengangkat tangan
menyerah (hal. 29).
Bab VII (Reaksi terhadap Gugurnya Si Singamangaraja XII)
membicarakan epilog Perang Batak berupa perlawanan rakyat yang
ingin melanjutkan perjuangan pahlawan mereka. Kelompok para
pengikut tergigih Si Singamangaraja XII adalah kaum sinkretis
Parmalin yang memadukan kepercayaan asli Batak, agama Islam dan
agama Katolik Roma, melalui pengaruh botanis Dr. Elio Modigliani
dari Italia.
Bab VIII (Benarkah Si Singamangaraja XII Menganut Agama Islam?)
mencoba menjawab pertanyaan tentang agama yang dianut Si
Singamangaraja selama lima tahun terakhir usianya. Sidjabat
mengenyampingkan hal itu sebagai desas-desus. Ia bahkan
menunjukkan fakta adanya surat-menyurat antara Si Singamangaraja
XII dengan Dr. I.L. Nommensen, pendeta Perhimpunan Pekabaran
Injil Rein (Rheinische Missions Geselkchaft).
Dan Sidjabat menduga Si Singamangaraja XII konon menyatakan
kepada Sintua Laban Siahaan, salah seorang tokoh terkemuka
Kongsi Batak (badan pekabaran Injil yang diselenggarakan
orang-orang Batak), tentang kemungkinannya ia masuk agama
Kristen. Itu dicatat pendeta Johannes Warneck dalam laporan lima
puluh tahun Pekabaran Injil Batak.
Bab XI (Sikap Si Singamangaraja terhadap Zending) menggambarkan
pada dasarnya Si Singamangaraja XII tidak anti-Kristen, bahkan
menyanggupi tak akan merintangi pengembangan agama Kristen di
daerah yang dikuasainya. Dilukiskan pula baiknya hubungan Dr.
I.L. Nommensen dengan Si Singamangaraja XII. Namun karena
pekabaran Injil Kessel -- orang Belanda mengundang
serdadu-serdadu Belanda ke daerahnya, maka Si Singamangaraja
menyuruh para anak buahnya membakari gereja dan rumah pekabar
Injil di Lilntongnihuta, Paranginan, dan Nagasaribu (halaman
406). Logika perjalanan hidupnya yang diburu-buru Belanda
setelah tertembak pada pertempuran Balige kedua (1883) membuat
ia tegar bertahan kepada kepercayaan leluhurnya.
Buku ini memberikan gambaran panoramik-analitik tentang
perjuangan Si Singamangaraja XII. Karena itu karya Sidjabat
berisi penilaian kembali yang cukup berimbang, sekalipun tentang
hal itu bukan final. Orang masih akan memberikan penilaian lain
lagi. Pustaka yang luas dan banyak diantaranya baru seperti
Naskah Raja Buntal dan merupakan sumber-sumber primer serta
wawancara dengan berpuluh-puluh orang membuat buku ini menjadi
sebuah karya standar yang penting.
Kurangan-kurangannya ada. Berbagai kutipan kurang saksama
diterjemahkan. Misalnya, kutipan dari disertasi J.C. van Leur
massaal goederenverkeer seyogianya bukanlah perdagangan
bahan-bahan secara massal (halaman 99), melainkan lal-lintas
barang secara massal. Salah cetak lumayan pula banyaknya:
poenale Sanctie menjadi Punale (oe dijadikan u), sekali menjadi
selaki (halaman 170), Furnivall menjadi Furnifall (halaman 148).
Selanjutnya untuk sebuah buku setebal 487 halaman sepantasnya
disertakannya suatu indeks nama dan hal-ihwal -- untuk
memudahkan orang mencari apa yang diperlukannya sebagai
referensi.
S.I. Poeradisastra