Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta memiliki garis pantai sepanjang 32 kilometer yang membentang dari kawasan perkampungan nelayan Marunda hingga Kamal Muara. Kini, bila dilihat dari perairan tepi laut, tampak beragam wajah Jakarta dari utara. Dari sisi paling timur, berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, tampak perkampungan nelayan Marunda yang tinggal dua rukun tetangga saja. Lalu kanal banjir timur yang baru menembus laut akhir tahun, disusul dengan proyek reklamasi yang sedang berjalan di Marunda.
Bergeser lebih ke barat, terdapat Pe labuhan Marunda, yang berdampingan dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Ada lagi proyek reklamasi yang sedang berlangsung di kawasan Ancol timur, lalu pantai Ancol, Pantai Mutiara, yang ditandai dengan gedung pencakar langit mewah berdesain layar terkembang: apartemen Regatta. Dan di sisi barat ada Pantai Indah Kapuk dan Kamal Muara, yang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.
Wajah utara Jakarta itu pasti akan berubah drastis bila rencana reklamasi terus dijalankan. Menurut dokumen yang didapat Tempo tentang Paparan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta, kawasan sepanjang 32 kilometer itu sudah dikapling-kapling oleh tujuh perusahaan. Menurut data yang tercantum di dokumen tersebut, perusahaan itu adalah PT Dwi Marunda Makmur, PT Pelindo II, PT Manggala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Jaladri Kartika Ekapaksi, PT Kapuk Naga Indah, dan PT Jakarta Propertindo. Semua perusahaan itu sudah mendapat izin sampai tahap nota kesepahaman (MOU) pada 1995-1997.
Nota kesepahaman memang baru izin tahap pertama. Perusahaan harus mendapatkan izin berikutnya, yaitu perjanjian pengembangan (development agreement). Ada beberapa perusahaan yang sudah sampai pada tahap ini, yaitu PT Kapuk Naga Indah, PT Jakarta Propertindo, PT Manggala Krida Yudha, dan PT Pembangunan Jaya Ancol. Itu berarti mereka sudah mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang sudah disetujui pemerintah daerah. Tahap berikutnya yang harus ditempuh adalah izin pelaksanaan reklamasi yang dilengkapi dengan persetujuan persyaratan teknis oleh lembaga berwenang.
Beberapa pengembang bahkan sudah siap dengan gambar pembangunan lahan yang direklamasi itu. Menurut rencana—seperti yang disebutkan dalam dokumen yang diperoleh Tempo Kapuk Naga, misalnya, membangun Golf Island di satu dari tiga pulau yang akan dibangun di bagian utara Angke. Sedangkan Ancol sudah membuat master plan Ancol Jakarta Bay City yang antara lain terdiri atas stadion pertunjukan berkaliber internasional dan Pulau Hiburan Hijau yang eksklusif.
Semua rancangan itu jelas bukan rencana ”gelap” karena, menurut Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010-2030, reklamasi memang menjadi salah satu rencana strategis pembangunan. Disebutkan dalam rancangan yang kini dalam pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta itu—sebelum disahkan menjadi peraturan daerah—pengembangan ke utara sekaligus optimalisasi pengelolaan Teluk Jakarta dilakukan melalui proyek reklamasi dan revitalisasi.
Nah, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara, disebutkan bahwa di wilayah reklamasi akan dibangun permukim an masyarakat menengah ke atas. Sedangkan untuk masyarakat menengah ke bawah termasuk nelayan pemerintah membangun permukiman vertikal alias rumah susun. Di kawasan Marunda, misalnya, sudah ada rumah susun tapi tak ada nelayan di sana yang mampu membelinya.
Reklamasi memang sudah terjadi dan akan terus dijalankan (lihat ”Kota Mewah di Atas Urukan”). Meskipun Mahkamah Agung memutuskan menolak gugatan enam perusahaan pengembang kepada Kementerian Lingkungan Hidup yang mengeluarkan Keputus an Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidak layakan Rencana Kegiatan Reklama si dan Revitalisasi Pantai Utara—pada akhir Mei lalu, kegiatan reklamasi tetap berjalan, seperti yang terjadi di kawasan Marunda dan Ancol.
Lalu bagaimana kondisi pantai utara Jakarta kini? Tempo menyusuri perair an utara Jakarta akhir Juni lalu dengan perahu nelayan bermesin satu, yang dinakhodai Tiarom, nelayan 34 tahun, dari kampung nelayan Marunda Kepu.
Perjalanan dimulai dari tepi kanal banjir timur. Di area tersebut terdapat kampung nelayan yang terdiri atas 145 kepala keluarga. Menurut Tiarom, yang sudah tinggal di kampung tersebut secara turun-temurun, warga di sana tidak pernah mendapat penjelasan tentang reklamasi di tempat itu. ”Reklama si akan sampai sana,” dia menunjuk ke arah jembatan beton yang sudah ditanam sepanjang sekitar 300 meter dari garis pantai.
Sembari menjalankan perahu bermesin satu, Tiarom bercerita tentang semakin sulitnya posisi nelayan berhadapan dengan pembangunan (baca ” Nelayan di Tubir Punah”). ”Reklamasi membuat kami harus berlayar hingga jauh ke laut untuk menangkap ikan,” katanya. ”Biaya melaut pun makin mahal.”
Apalagi ditambah dengan pencemar an di Teluk Jakarta yang mengusir ikan hingga jauh ke tengah. Selain tampak dari air laut yang hitam, pence maran bisa ditengarai dengan bau busuk yang menyengat, terutama ketika perahu melintasi perairan di dekat muara-muara sungai. Begitu tajamnya bau tersebut sampai terasa ”menye trum” kepala. ”Ini berasal dari limbah industri. Bagi nelayan yang sudah biasa dengan laut, limbah rumah tangga saja tidak akan mencemari laut sampai seburuk ini,” kata Tiarom. Dia menya yangkan ketiga anaknya yang tidak bisa lagi merasakan kenikmatan bermain sebagai anak laut, seperti menangkap burung bangau sembari menyelam, mirip masa kecil Tiarom.
Reklamasi memang telah mengebiri hak hidup nelayan di Jakarta. Namun, menurut Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, reklamasi sebenarnya tidak harus berdampak buruk seperti itu. Kementeriannya pun tidak antireklamasi. ”Hanya harus ada kajian amdal yang benar,” katanya kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Hal itulah yang sebenarnya termaktub dalam keputusan menteri yang dipengadilankan oleh para pengembang itu. Sebab, bila kajian amdal benar, kerusakan lingkungan yang terjadi seperti sekarang dan nasib nelayan—salah satu stakeholder pantai—yang terpinggirkan tak akan terjadi. Begitu juga dengan nasib penduduk Kampung Kapuk yang kawasannya banjir permanen sepanjang tahun (lihat ”Tenggelamnya Tanah Kelahiran”).
”Kajian lingkungan hidup strategis jangan hanya dilakukan di hilir, tapi dari hulu,” kata Hermien Rosita, Deputi I Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan. Apa saja itu? Ada kajian dampak reklamasi terhadap banjir, akibat pada pasang-surut air, permukaan air laut, arus barat dan arus timur, dampaknya ke kawasan terdekat yang tak direklamasi, serta akibat di tempat bahan urukan rekla masi diambil. Yang juga penting adalah ke tersediaan air bersih dengan berjalannya pembangunan pulau-pulau.
Jadi bagaimana menghentikan dan memperbaiki dampak kerusakan yang sudah telanjur terjadi? Selain dengan keputusan Mahkamah Agung, sebenarnya ada cara untuk mengevaluasi serius soal reklamasi dan pembangunan di kawasan utara Jakarta secara keseluruhan. Adalah Koalisi Warga, sebuah perkumpulan warga Jakarta yang prihatin terhadap penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010-2030 yang dianggap tak melibatkan partisipasi warga. ”Padahal masyarakatlah pemangku kepentingan utama,” kata Elisa Sutanudjaja, anggota Koalisi.
Koalisi membuktikan bahwa pemerintah tidak melibatkan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah melalui survei online yang digelar mulai Januari hingga Maret 2010. Hasilnya, 95 persen responden mengaku tidak pernah ditanya soal rencana penyusunan tata ruang wilayah, satu persen menyatakan pernah, dan empat persen mengaku tidak mengerti. Atas dasar ini, Koalisi berencana melakukan class action, menggugat pemerintah DKI Jakarta. Tujuannya: agar Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030 disusun kembali dengan melibatkan aspirasi warga, termasuk nelayan seperti Tiarom dan warga Kampung Kapuk.
Dengan memasukkan aspirasi warga, dampak negatif bisa ditekan. Contohnya, kanal banjir timur yang menguntungkan sebagian besar warga Jakarta ternyata merugikan warga Marunda Kepu. Kampung nelayan itu, yang semula terlindungi dari rob oleh tambak-tambak pinggir laut, setelah kanal tersebut berfungsi justru lebih parah didera rob. Sebab, tambak-tambak itu memiliki parit kecil yang menjadi saluran air laut saat pasang. Hal itu tidak perlu terjadi bila warga didengar sejak semula.
Juga, bila mendengar aktivis lingkungan Jakarta Green Monster yang hirau pada populasi bakau, pemerintah dapat meminimalkan dampak negatif reklamasi dengan pembangunan pulau-pulau di pantai Angke dan Kamal. Menurut Ady Kristanto dari Green Monster, pulau-pulau hasil reklamasi itu akan menghalangi perjalanan burung-burung dari Pulau Rambut ke hutan bakau di Angke untuk mencari makan. ”Jika pulau-pulau itu dibangun, apalagi dengan gedung pencakar langit, burung-burung dari Pulau Rambut akan kesulitan terbang ke bakau Angke,” katanya.
Banyak sekali tuntutan. Namun Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan siap disomasi warga terkait dengan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030 yang dinilai tidak banyak melibatkan masyarakat itu. ”Saya berharap warga langsung menyampaikan keberatan. Saya tidak keberatan dengan masukan, kritik, dan pendapat apa pun,” katanya.
Bina Bektiati, Harun Mahbub, Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo