Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Film

Berita Tempo Plus

Menyembuhkan dengan Humor

Dokter Patch Adams, tokoh nyentrik yang hingga kini masih hidup itu, berkisah tentang hidupnya. Ia dicintai para pasien karena menyembuhkan dengan tawa dan cinta.

30 Mei 1999 | 00.00 WIB

Menyembuhkan dengan Humor
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

PATCH ADAMS
Sutradara:Tom Shadyac
Skenario:Steve Oedekerk
Pemain:Robin Williams, Monica Potter
Produksi:Universal Pictures
Dia seorang dokter. Tetapi, dia tak pernah mengenakan jas putih berkalung stetoskop. Dia berbaju badut, mengenakan hidung palsu bundar merah, meloncat-loncat di antara pasien seperti seorang aktor komedian di atas panggung. Para pasien tertawa terbahak-bahak, merasa dunia menjadi lebih menyenangkan, dan mereka merasa lebih sehat karena dia. Nama aslinya Hunter Adams, tetapi dia lebih suka dipanggil Dokter Patch Adams. Inilah kisah tentang sebuah sosok unik yang hidup dalam alam nyata nun di Virginia, AS, sana. Patch Adams adalah seorang dokter yang percaya bahwa tugas dokter bukan hanya menyembuhkan penyakit, tetapi juga menyembuhkan manusia. Pendekatan kepada pasien bukan sebagai bagian dari warga rumah sakit yang diingat dengan nomor kamar saja, tetapi dengan menyebut nama, dengan sapaan lembut, dengan belaian, bahkan dengan humor. Puluhan tahun Dokter Adams mendirikan klinik gratis bagi mereka yang tak mampu dengan metode penyembuhan kemanusiaan sebuah pendekatan yang sangat ditentang lembaga medis konvensional. Untuk perkembangan institut yang didirikannya itulah, akhirnya Patch merelakan kisah hidupnya yang unik, dan menarik itu ditulis dalam sebuah buku berjudul Health is a Laughing Matter, yang kemudian dijadikan film ini. Tentu saja, aktor Robin Williams, seorang aktor komedian terkemuka, sangat cocok memerankan tokoh nyata ini. Film ini dibuka dengan kisah Adams muda, yang ingin bunuh diri. Ia membatalkan niatnya dan secara sukarela masuk ke rumah sakit jiwa untuk dirawat. Alih-alih menjalani perawatan, Patch Adams malah mendapatkan berbagai pengalaman yang menimbulkan inspirasi pada dirinya. Empati! Dia kemudian memutuskan bergabung di Fakultas Kedokteran University of Virginia, dan menjadi salah satu mahasiswa terkemuka. Tetapi, yang membuatnya populer tentu saja bukan karena ia mudah mendapatkan angka tinggi tanpa pernah belajar, melainkan karena gairahnya yang luar biasa untuk menyembuhkan pasien dengan humor hingga ia harus mendobrak sistem fakultas dan rumah sakit yang rigid. Adams nyaris dipecat dari fakultas. Peran semacam ini tentu saja bukan suatu hal yang baru bagi Robin Williams. Dalam film Dead Poet Poets Society (1989) karya Peter Weir, Williams berperan sebagai seorang guru sastra Inggris yang sangat bergairah dan memberi inspirasi kepada murid-muridnya untuk "seize the day", meraih hidup ini melalui keindahan puisi. Adegan dramatis pada akhir film saat Williams dipecat karena dianggap mengobrak-abrik metode pendidikan ortodoks itu tampaknya kemudian menjadi inspirasi dari akhir film Patch Adams, di mana para pasien kecilnya yang gundul—karena digerogot kanker—mendadak muncul di ruang sidang pengadilan (Adams diadili karena dianggap mempermalukan sistem dan membahayakan ilmu kedokteran dengan mendirikan klinik gratis). Williams tampil prima. Ia muncul sebagai seseorang yang penuh gairah, berpakaian terang benderang, dan dengan nafsu yang menggelegak untuk menyelamatkan dunia. Penampilan ini sangat berbeda dengan ketika, misalnya, ia juga menjadi dokter dalam film Awakening karya Penny Marshall, ketika, lagi-lagi, Williams berperan sebagai dokter (berdasarkan kisah nyata dokter Oliver Sacks) yang pemalu, tetapi percaya bahwa masih ada "hidup" di dalam hidup para pasiennya yang di-"vonis" hilang ingatan. Meski Patch Adams adalah sebuah kisah nyata berdasarkan kehidupan nyata seorang dokter tentu saja sutradara tak bisa melepaskan citra rasa Hollywood yang melodramatis. Adegan pengadilan Adams, yang teatrikal—dia berceramah hingga para hadirin terpesona—dan para pasien serta suster yang ikut mendukungnya (hingga penonton melelehkan air mata) tentu sebuah resep yang tak boleh ditinggalkan. Dan karena itu, film yang sesungguhnya menarik ini jatuh pada arena kecengengan. Untung saja, adegan akhir, saat Adams diwisuda, tidak diromantisasi. Ia menjadi sebuah adegan segar yang mengejutkan, yang menggelikan (bagi mereka yang menangkap humor itu dengan santai). Well done, Williams! Leila S. Chudori

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus