Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Monumen bangsa tertindas

Rigoberta menchu, memenangkan nobel perdamaian lewat buku "i, rigoberta menchu" mengisahkan nasibnya yang kehilangan ayah, ibu dan adiknya tewas ditangan rezim penguasa keturunan imigran eropa.

12 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMAKU Rigoberta Menchu. Aku berusia dua puluh tiga tahun. Inilah kesaksianku. Aku tak mempelajarinya dari buku, juga tidak dari belajar sendiri. Aku ingin menegaskan bahwa ini bukan cuma kehidupanku, ini juga kesaksian masyarakatku. Sulit bagiku mengingat semua yang aku alami dalam hidup, karena terlalu banyak saat-saat buruk. Juga, ya, saat-saat bahagia. Yang penting, yang aku alami juga dialami orang lain: kisahku adalah cerita tentang semua kaum papa Guatemala. Pengalaman pribadiku adalah kenyataan dari keseluruhan pengalaman masyarakat. Sebelum mulai, aku harus mengatakan bahwa aku tak pernah bersekolah. Karena itu aku merasa kesulitan berbahasa Spanyol. Aku tak diberi kesempatan untuk bergerak ke luar duniaku sendiri, dan baru belajar bahasa Spanyol tiga tahun lalu. Sulit jika kamu belajar cuma dengan cara mendengarkan, tanpa ada satu buku pun. Dan, ya, tentunya, aku merasa sedikit kesulitan. Aku ingin memulainya dari masa kanak-kanakku. Atau lebih jauh ke belakang, masa aku dalam rahim ibuku. Karena ibu menceritakan proses kelahiranku, dan menurut adat-istiadat kami, kehidupan seorang anak dimulai dari hari pertama kehamilan sang ibu. Di Guatemala ada dua puluh kelompok etnis, belum termasuk kaum berdarah campuran mestizo atau ladino. Dua puluh tiga kelompok dan dua puluh tiga bahasa. Aku berasal dari salah satunya: masyarakat suku Quiche. Dan aku mempraktekkan adat Quiche. Tapi aku mengenal baik kelompok-kelompok lain melalui pekerjaan-pekerjaanku mengurus orang-orang. Aku datang dari San Miguel Uspantan, di barat daya Provinsi El Quiche. Aku tinggal di dekat Chayul di utara El Quiche. Kota-kota di sana punya sejarah perjuangan yang panjang. Aku harus berjalan enam league (24 km) dari rumah jika hendak ke Kota Uspantan. Tempatku bermukim berpemandangan surgawi, daerah kami sangat elok. Tak ada jalan besar, dan tak ada mobil. Cuma bisa dicapai dengan berjalan kaki. Dan semuanya dibawa turun gunung di pelana kuda. Atau kami mengangkutnya sendiri. Jadi, kamu bisa lihat sendiri, aku memang tinggal di gunung. Orang tuaku pindah ke sana di tahun 1960 dan memulai bercocok tanam. Tak seorang pun tinggal di sana, namanya juga di gunung. Tapi orang tuaku bermukim di sana dan bertekad tak akan meninggalkannya, tak peduli seberat apa pun kehidupan yang dihadapi. Sebelumnya mereka terusir dari rumah kecil milik mereka di kota, dan tak punya alternatif lain selain pergi ke gunung. Kini tempat itu menjadi sebuah dusun dengan lima atau enam caballeria (sama dengan 45 hektare) tanah yang subur. Mereka dipaksa meninggalkan kota, sebab sejumlah keluarga ladino mau tinggal di sana. Memang sih mereka tak langsung diusir, tapi para ladino secara bertahap mengambil alih perumahan itu. Orang tuaku berpenghasilan pas-pasan dan terlibat utang (pada para ladino) sehingga harus meninggalkan rumah untuk membayarnya. Si kaya memang biasanya begitu. Ketika orang berutang duit, mereka mengambil sebagian tanah atau barang-barang yang dimiliki. Dan lambat-laun semuanya diambil alih. Itulah yang terjadi pada orang tuaku. Ayahku anak yatim. Masa kanak-kanaknya adalah masa yang sangat menderita. Nenekku (ibu ayahku) bekerja sebagai pelayan keluarga kaya di kota, setelah kematian Kakek. Ketiga anaknya membantu pekerjaan Nenek, seperti mencari kayu, mengangkut air, dan merawat ternak. Setelah anak-anaknya agak besar, majikan Nenek keberatan memberi makan. Karena itu Nenek harus merelakan anak tertuanya (ayahku) bekerja pada keluarga lain agar tidak kelaparan. Saat itu Ayah sudah bisa bekerja yang berat-berat, memotong kayu dan bekerja di ladang, misalnya. Tapi ia tak dibayar, karena cuma numpang hidup. Ia tinggal dengan keluarga ladino itu selama sembilan tahun, tapi tak pernah belajar bahasa Spanyol karena ia tak diperkenankan masuk ke dalam rumah. Ia cuma diperlukan untuk bekerja, dan hidup terpisah dari keluarga tersebut. Ketika berusia 14 tahun, Ayah mencari jalan keluar. Ia mencari pekerjaan di finca (perkebunan) dekat pantai. Setelah punya cukup uang, Ayah mengambil Nenek secepatnya, karena tahu bahwa Nenek juga merangkap sebagai gundik majikannya (meski sang majikan punya istri). Nenek terpaksa melakukannya, karena tak ada tempat lain yang menampungnya. Akhirnya Nenek tinggal dengan anak sulungnya di perkebunan dekat pantai, dan anak-anaknya yang lain pun bergabung bekerja di sana pula. Kami tumbuh besar di finca, perkebunan itu. Yakni perkebunan di pantai selatan, bagian dari Escuintla, tempat kopi, kapas, gula, dan kapulaga ditanam. Ayah bekerja sangat keras siang malam untuk menghidupi dirinya bersama Nenek dan adik-adiknya. Celakanya, itulah masa ketika militer mencari pemuda untuk direkrut. Dan Ayah pun masuk wajib militer. Ayah belajar banyak hal buruk selagi di ketentaraan, termasuk belajar menjadi laki-laki. Ayah bergabung di angkatan bersenjata selama setahun. Saat Ayah pulang ke rumahnya, Nenek sedang sekarat. Nenek terserang demam, tak ada duit untuk berobat, dan akhirnya Nenek meninggal. Setelah kematian Nenek, Ayah dan adik-adiknya terpaksa berpencar, masing-masing mencari kerja. Ayah lalu bekerja di sebuah biara dengan gaji sangat minim. Waktu itu upah buruh 30 atau 40 sen per hari. Saat itulah Ayah bertemu dengan Ibu. Mereka kemudian kawin. Mereka mengalami berbagai penderitaan bersama. Maklumlah, ibu saya juga berasal dari keluarga papa. Kedua orang tua Ibu sangat miskin dan biasa merantau ke mana-mana untuk mencari pekerjaan. Itulah ceritanya sampai kedua orang tuaku kemudian menetap di gunung. Dusun kami nun jauh di gunung, dusun yang menyimpan sejarah panjang dan pahit. Tanah di gunung itu milik pemerintah. Untuk bermukim di situ kamu harus punya izin menetap. Setelah kamu mendapat izin, kamu harus membayar uang sewa untuk memperoleh izin menggarap tanah dan membangun rumah. Orang tuaku dengan susah payah berhasil mengumpulkan cukup uang untuk membayar sewa. Kemudian, tentunya bukan pekerjaan mudah, membabat hutan dan merintis ladang. Baru delapan tahun kemudian ladang mereka berproduksi. Kami tumbuh besar di masa-masa itu. Aku punya lima kakak, lelaki dan perempuan. Aku menyaksikan dua abangku meninggal karena rawan pangan saat kami masih di bawah, di finca. Kebanyakan keluarga Indian merana kurang makan. Banyak di antaranya tak sampai mencapai usia 15 tahun. Ketika anak-anak tumbuh dan tak cukup makan, mereka kerap jatuh sakit. Dan ini... membuat keadaan tambah rumit. Ibuku berpendapat bahwa pohon-pohon dan gunung kami luar biasa indahnya. Kata Ibu, ia sesekali agak merasa terpencil karena gunungnya sangat tinggi dan tak ada sinar mentari. Tanaman di sana begitu rimbun dan padat. Nah...di situlah kami tumbuh besar. Kami amat sangat mencintai tanah kami. Meski harus berjalan cukup lama untuk sampai ke rumah tetangga terdekat. Di sanalah aku lahir. Sebelumnya Ibu sudah punya lima anak. Kata Ibu, ia terus bekerja di finca sampai sebulan sebelum saya lahir. Dua puluh hari sebelum melahirkan, Ibu naik ke gunung dan melahirkan sendirian. Ayah tak menungguinya karena harus tetap bekerja di finca. Masa kecilku yang bisa kuingat kebanyakan adalah masa setelah usiaku lima tahun. Kami tinggal di rumah kecil di Altiplano empat bulan dalam setahun, dan sisanya kami harus ke pantai. Kalau tidak ke Boca Costa, tempat kopi dipetik, kami pergi lebih jauh ke selatan, ke kebun kapas. Itulah pekerjaan kami, yang sudah kulakoni sejak masih kecil. Perkebunan itu milik segelintir tuan-tuan tanah. Hasil perkebunan dijual ke luar negeri. Para tuan tanah ini memiliki tanah yang sangat luas. Kami bekerja di finca selama 8 bulan, dan pada bulan Januari kami pulang ke gunung yang tanahnya belum subur, sehingga jagung pun hampir tak bisa tumbuh. Sebaliknya di pantai, tanahnya begitu subur: apa pun tumbuh di sana. Setelah menanam jagung, kami kembali lagi ke pantai sampai waktu panen. Tapi persediaan jagung kami cepat habis, maka kami kembali lagi mencari duit ke pantai. Menurut kedua orang tuaku, mereka sudah menjalani kehidupan maha sulit seperti ini selama bertahun-tahun, tapi mereka tetap miskin. Kehidupan di Finca Sejak aku masih imut-imut, ibuku biasa menggendongku dengan selendang di punggung untuk turun ke finca. Kata Ibu, saat usiaku dua tahun, aku berteriak menangis tiap kali di bawa masuk ke lori, sebab saya tak mau ikut. Aku begitu ketakutan, dan aku menangis terus sepanjang separo perjalanan. Saya masih bisa mengingat perjalanan dalam lori itu. Aku bahkan belum tahu apa itu lori, tapi aku tahu aku sangat membencinya karena aku tak suka bau yang tak sedap. Lori itu mengangkut sekitar 40 orang, sekaligus ternak-ternak mereka. Kadangkala makan waktu semalam dan dua hari untuk sampai ke pantai. Selama perjalanan anak-anak kecil dan ternak-ternak biasa buang air dan kotoran di dalam lori. Belum lagi orang muntah. Sesampai di tujuan, bau di dalam lori sudah tak ketulungan. Lori itu dilapisi kain terpal sehingga kami tak bisa melihat pemandangan di luar. Kesumpekan di dalam lori, ditambah bau kencing dan muntahan, membuat orang mual ingin muntah. Sesampai di finca, kami sudah sempoyongan seperti ayam yang baru keluar dari periuk. Kami sampai sulit berjalan. Aku banyak kali melakukan perjalanan dari Altiplano di gunung ke pantai, tapi aku tak pernah sekali pun melihat pemandangan dalam perjalanan. Kami mendengar suara lori dan mobil lain, tanpa sekali pun melihatnya. Aku ingat saat berusia delapan tahun sampai sepuluh tahun. Kami bekerja di perkebunan kopi. Sesudah itu aku bekerja di perkebunan kapas, jauh ke selatan, yang suhunya sangat panas. Setelah hari pertama menuai kapas, saya terjaga di tengah malam dan menyalakan lilin. Aku melihat wajah abang dan kakak perempuanku dipenuhi nyamuk. Aku raba wajahku sendiri, mukaku pun dirubung nyamuk. Naymuk-nyamuk itu ada di mana-mana, di mulut orang sekalipun. Melihat hama penyedot darah ini saja sudah bisa membuatku gatal-gatal. Itulah dunia kami. Aku merasa keadaannya akan selalu sama, selalu sama. Keadaan belum pernah berubah. Sebelum masuk lori di kampung kami, calo buruh memerintahkan kami membawa segala keperluan kami untuk hidup beberapa bulan di finca. Yakni piring, cangkir. Tiap pekerja membawa perangkat makan sendiri. Anak-anak yang tak bekerja tak diberi makan. Mereka tak butuh piring. Mereka makan dari piring orang tuanya. Saat aku belum bisa mendapatkan jatah apa pun, ibuku biasa memberi separo dari jatahnya. Ibu-ibu yang lain juga melakukan hal yang sama kepada anak-anaknya. Kami mendapat jatah tortila (kripik jagung) dan kacang gratis, tapi kerap kali tortila dan kacang itu sudah busuk. Kami mendapat telur tiap dua bulan sekali, tapi itu dipotong dari upah kami. Di perkebunan ada juga cantina, semacam toko kelontong kecil. Selain alkohol, cantina juga menjual makanan kesukaan anak-anak, seperti permen, kue, dan limun. Anak-anak yang letih, haus, dan lapar selalu minta jajan kepada para orang tuanya. Para orang tua tentu sedih tak bisa memberi apa yang diminta anaknya. Dan biasanya para orang tua tak tahan, lalu membelikan apa yang diminta dengan mengebon. Saat gajian tiba, para pekerja itu baru menyadari sudah berutang sedemikian besar di cantina, untuk jajan anak-anak, untuk makanan, untuk obat-obatan. Jika seorang anak secara tak sengaja mematahkan tangkai kopi, orang tuanya pun dianggap berutang. Anda harus bekerja untuk membayarnya. Semuanya berdasarkan perhitungan, dan kamu harus melunasinya sebelum meninggalkan perkebunan. Saat aku bekerja di perkebunan kapas (aku sekitar 12 tahun saat itu), aku sudah melakukan pekerjaan perempuan dewasa. Aku ingat ketika pertama kali melihat pemilik finca. Aku begitu ketakutan karena sang tuan tanah begitu gembrot. Aku tak pernah melihat ladino seperti itu. Ia sangat gemuk, berpakaian necis, dan punya jam tangan. Waktu itu kami tak tahu buat apa jam tangan itu. Aku tak bersepatu karena tak punya. Dan meski banyak orang kami memakai caitos, sandal kulit dengan sol karet, tak ada yang bisa menyaingi sepatu yang dipakai sang tuan tanah itu. Tuan tanah itu dikawal oleh 15 serdadu. Aku kira tentara itu menodong sang tuan tanah, lalu aku bertanya kepada ibu, "Mengapa mereka memaksa tuan tanah datang kemari?" Para mandor menyuruh seorang di antara kami menari di hadapan tuan tanah. Ibuku menjawab "tidak", dan menyembunyikan kami. Mereka ingin anak-anak menyiapkan penyambutan. Tapi tak seorang pun diantara kami berani dekat-dekat sang tuan tanah, sebab ia punya begitu banyak pengawal bersenjata. Waktu sang tuan tanah mulai berbicara, ia omong dalam bahasa Spanyol. Ibuku mengerti sedikit bahasa Spanyol. Kata Ibu, tuan tanah bicara tentang pemilu. Tapi kami tak tahu apa-apa tentang pemilu, juga tentang pemerintahan ladino yang dikatakan Ayah. Kata Ayah, ladino punya seorang presiden yang memiliki kekuasaan. Itu presiden para ladino. Itu bukan presiden kami. Itulah yang selalu ada dalam pikiran kami. Tuan tanah itu, lewat mandor yang menerjemahkan kata-katanya, minta agar kami semua memberi tanda pada gambar tertentu dari tiga atau empat gambar di sepotong kertas persegi yang ia berikan kepada kami. Ia mengancam, siapa pun yang tak memberi tanda seperti yang ia tunjukkan akan dipecat di akhir bulan. Dan siapa pun yang dipecat tak akan dibayar. Sesudah itu aku selalu bermimpi tentang tuan tanah yang wajahnya menakutkan itu. Kata ibuku, "Jangan tolol, itu cuma seorang laki-laki, jangan takut." Tapi semua anak-anak selalu lari bila datang tuan tanah, juga bila datang tentara membawa senjata. Anak-anak selalu berpikir bahwa tentara itu akan menembak orang tua mereka. Aku pun berpikir begitu, tentara itu akan menembak siapa saja, karena mereka membawa senapan. Saat aku lebih dewasa, aku bertemu lagi dengan tuan tanah, dan ia memintaku kepada orang tuaku. Itulah saat aku dikirim ke ibu kota. Itu tahap lain dalam hidupku. Menjadi Pembantu di Ibu Kota Kami tiba di ibu kota, pakaianku lusuh karena bekerja di finca. Ada pembantu lain yang bertugas memasak dan aku akan bertugas membersihkan rumah. Ia seorang ladino yang bisa berbahasa Spanyol. Nyonya majikan memanggil pembantu yang satu, "Bawa perempuan ini ke ruang belakang." Aku ingat, malam pertama aku tidak tahu mau melakukan apa. Itu saat aku merasakan yang dirasakan saudaraku yang berada di keluarga lain. Tak lama nyonya memanggil. Makanan yang diberikan padaku adalah buncis dan tortilla (keripik jagung). Ada seekor anjing di rumah, cantik, putih, dan gemuk. Ketika aku lihat pembantu membawa makanan anjing -- daging, nasi, sama dengan yang dimakan keluarga -- dan mereka memberi aku buncis dan tortilla, aku sangat terluka. Aku tidak keberatan tidak mendapat makanan yang sama dengan anjing. Tapi aku merasa dihina. Aku lebih rendah ketimbang binatang. Aku terjaga di tempat tidur sampai pukul 3 pagi. Aku lihat tempat tidur pembantu itu lebih baik karena ia tidak memakai pakaian Indian dan berbahasa Spanyol. Belakangan kami saling mengenal. Ia biasa makan sisa-sisa majikan, apa pun yang tersisa di piring. Ketika kami sudah saling mengenal, ia memberi sebagian padaku. Sekitar pukul 11.30 aku dipanggil nyonya. "Aku akan memberi lebih dulu gaji selama dua bulan dan kau harus membeli pakaian baru dan sepatu, karena kau membuat aku malu. Teman-temanku akan datang dan kau di sini seperti itu. Mereka semua orang penting, jadi kau harus mengganti pakaian," katanya. Ya, aku tidak bisa protes atau menyampaikan pikiranku karena aku tidak bisa berbahasa Spanyol. Tapi dalam pikiranku aku cemohkan dia. Aku pikir, kalau saja aku bisa mengirim perempuan ini ke gunung dan membiarkan ia mengerjakan yang dikerjakan Ibu. Aku yakin ia tidak bisa. Saat itu aku yakin kebenaran dari yang selalu dikatakan nenek: bahkan piring orang kaya berkilau. Ya, itu benar, bahkan toilet mereka berkilau. Aku sangat tertekan, mengingat semua nasihat dari Bapak Ibu dan Kakek-Nenek. Aku belajar membersihkan debu, mencuci, dan menyeterika dengan cepat. Majikan punya tiga anak dan mereka ganti baju beberapa kali dalam sehari. Semua pakaian mereka harus dicuci, diseterika lagi, dan digantung di tempatnya. Nyonya selalu mengawasi dan sangat menjengkelkan. Ia memperlakukan aku seperti...aku tidak tahu apa... tidak seperti anjing -- karena ia memperlakukan anjing dengan baik. Ia memeluk anjing. Jadi aku pikir ia bahkan tidak membandingkan aku dengan anjing. Jika nyonya pulang -- hanya Tuhan yang tahu apa yang dikerjakannya sepanjang hari -- ia tidak melakukan apa pun selain mengeluh. Belakangan aku tahu mengapa nyonya suka kesal pada babu masak. Itu karena babu itu tidak mau menjadi "kekasih" anaknya. Temanku bilang, anak nyonya perlu belajar berhubungan seks saat muda agar tak mengalami kesulitan ketika dewasa. Jadi ia buat di kontrak babu masak itu bahwa ia akan membayar lebih jika ia mengajari berhubungan seks pada anaknya. Setelah dua bulan, Ayah datang. Bukan karena ia mau mengunjungiku, tapi karena ia ditinggalkan di kota tanpa satu sen pun di kantong. Nyonya melihat Ayah, melihat betapa miskinnya Ayah -- tentu saja. Nyonya mengatakan, "Pergi lihat ayahmu tapi jangan bawa masuk." Ayah menungggu di halaman dan aku jelaskan keadaan rumah padanya. Aku katakan rumah sangat menjijikkan dan menakutkan. Ayah mengerti. Ia sudah biasa dengan soal seperti itu karena ditolak di banyak tempat. Ayah berkata, "Anakku, aku perlu uang. Aku tidak punya apa-apa untuk pulang." Tetapi aku belum menyelesaikan waktu dua bulan dan belum mendapat sepeser pun. Aku katakan, "Nyonya membeli pakaianku dan mengikatku dengan gaji dua bulan." Aku pergi ke temanku. Ia sampaikan kepada nyonya. Nyonya buka tas dan mengambil sepuluh quetzals dan melempar ke wajahku. Aku ambil uang itu dan aku kira ia akan mengambil gajiku satu bulan lagi. Tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Setelah delapan bulan, hari Natal tiba dan kami punya banyak pekerjaan karena nyonya rumah berkata bahwa ia harus menyediakan 200 kue tamales atau kue jagung. Kemudian tuan datang dan memberi anting-anting lima sen. Itu hadiah Natal. Tuan tidak terlalu kasar dan sering tak tahu apa yang dilakukan istrinya pada kami. Mereka menyuruh kami memotong kalkun. Kami memotongnya, tapi kami tidak akan mengulitinya. Kami minta libur dua hari dan jika tidak diberi, kami akan pergi dan menghabiskan Natal di tempat lain. Tapi aku bimbang. Aku tidak bisa melakukannya karena cara orang tuaku membesarkanku. Aku tidak mampu untuk tidak patuh. Dan para majikan mengeksploitasi kepatuhanku. Temanku dikeluarkan beberapa saat menjelang Natal. Itu dilakukan supaya aku tidak bisa pergi. Aku tetap tidak mengenal siapa pun. Desember lewat. Aku terus bekerja. Rumah kotor sekali. Aku harus mengerjakan semuanya. Nnyonya pura-pura tidak tahu. Ia bangun dan pergi. Ia bahkan tidak mengeluh karena tahu ia sangat membutuhkanku. Itu saatnya aku berpikir: "Aku harus keluar dari rumah ini." Dengan tabunganku, aku pikir, aku bisa pulang ke orang tuaku. Aku putuskan untuk pergi. Aku sedang memikirkan tanggal keberangkatan. Sialnya, hal yang mengerikan muncul: saudaraku datang dan mengatakan, "Papa dipenjarakan." Perlawanan Para Petani Itu pertama kali Ayah masuk penjara. Tuan tanah memberi segepok uang kepada hakim. Ayah berjuang selama 22 tahun melawan tuan tanah yang ingin mengambil tanah kami. Keluarga Garcias datang dan mulai mengukur tanah kami. Mereka membawa pengawas, insinyur, dan Tuhan tahu siapa saja yang lainnya, yang mengaku orang pemerintah. Di Guatemala, jika berhubungan dengan pemerintah, tak ada yang bisa dilakukan. Ayah berkeliling mengumpulkan tanda tangan. Mereka pergi ke Lembaga Transformasi Agraria Nasional. Ketika Ayah mengadukan tuan tanah yang memaksa kami keluar dari tanah kami, orang Agraria minta uang kepada tuan tanah supaya bisa meneruskan pengukuran. Kepada petani, mereka memberi surat yang menyatakan kami tidak perlu meninggalkan tanah kami. Mereka minta Ayah menandatangani surat, tapi Ayah tak tahu apa isinya karena ia buta huruf. Ternyata surat itu menyatakan bahwa petani akan meninggalkan tanah. Ayah kembali protes, kali ini lewat pengacara. Pemerintah mengatakan bahwa tanah itu milik negara dan memberikannya kepada kami untuk ditanami. Tapi setelah kami bersihkan dan menanaminya, tuan tanah datang. Bagaimanapun, tuan tanah tidak datang sendiri, mereka punya hubungan dengan orang yang berkuasa. Ayah berkeliling mencari nasihat. Kami tidak sadar bahwa pergi ke pemerintah sama saja dengan pergi ke tuan tanah. Mereka sama saja. Pertama kali mereka mengusir kami, kalau ingatanku benar, pada tahun 1967. Mereka mengusir kami dari rumah dan kampung kami. Antek-antek Garcia bekerja secara buas. Mereka juga Indian, tentara perkebunan. Pertama mereka masuk ke rumah kami tanpa permisi dan menyuruh semua orang keluar. Kemudian mereka membuang semuanya. Aku ingat ibu punya kalung perak, pemberian nenek, tapi kami tidak pernah melihatnya lagi. Mereka mencuri semua. Oh Tuhan, mereka membuang dan menghancurkan semuanya. Semua tanaman jagung mereka buang dan kami harus mengumpulkan kembali. Aku ingat waktu itu hujan turun dan kami tak punya apa pun untuk melindungi diri. Ayah berkata, "Jika mereka membunuh kita, biarkan saja, tetapi kita akan kembali ke rumah kita." Orang-orang melihat Ayah seperti ayah mereka sendiri, jadi kami kembali ke rumah. Tuan tanah datang lagi. Mereka katakan kami harus bekerja pada mereka karena tanah itu milik mereka. Ayah berkata, "Kami orang pertama yang datang dan tidak ada yang bisa berpikir bahwa tanah itu mereka punya. Kalau mereka ingin punya tanah, silahkan pergi ke gunung-gunung." Pihak Agraria datang dan mengatakan persoalan sudah dipecahkan. "Kami akan memberi hak atas tanah pada kalin. Tidak akan ada yang menggangu kalian lagi." Kami menandatanganinya, termasuk anak-anak juga. Ayah berkeras surat itu harus dibaca dulu walaupun kami hanya bisa mengerti sebagian saja. Tetapi mereka tidak mau membacanya. Inspektur Agraria mengatakan surat itu adalah hak tanah. Jadi kami tanda tangani. Mereka biarkan kami selama dua setengah tahun. Kami bekerja kembali. Kami berusaha membersihkan lebih luas tanah lagi, sampai ke gunung-gunung. Kami punya mimpi, mimpi yang nyata. Lima atau delapan tahun lagi tanah akan berbuah. Dua setengah tahun berjalan dan kami melihat para insinyur kembali di tanah kami. Masalah menjadi makin kacau karena mereka membawa dokumen yang sudah kami tanda tangani, yang menyatakan kami bersedia meninggalkan tanah itu. Kami tidak tahu apa yang telah kami tanda tangani. Di sini Ayah makin terlibat dengan organisasi. Ayah minta beberapa persatuan di Federasi Persatuan Independen Guatemala untuk menolong -- karena mereka persatuan para pekerja, buruh, dan kami adalah petani -- buruh pertanian. Persatuan banyak menolong. Mereka katakan akan melaporkan fakta-fakta bahwa kami diusir dari tanah kami. Ayah juga makin sering bertemu dengan pihak Agraria. Kadang Ayah tak punya uang, sehingga Ibu harus menjual hewan piaraan untuk perjalanan Ayah. Ibu lebih banyak berpikir tentang kami, karena kami makin besar. Ia khawatir, bagaimana di kemudian hari anak-anak akan lebih menderita. Ketika Ayah mulai mendapat dukungan, tuan tanah mulai menawarkan uang kepada hakim yang mengurus tanah, dan Ayah ditangkap. Mereka menuduh Ayah merongrong kedaulatan negara. Aku datang dengan uang simpanan, tapi tidak cukup. Saudaraku berkata, "Mereka minta uang." Banyak sekali yang harus kami bayar: saksi, pengacara, dokumen, sekretaris. Karena kami tidak bisa bahasa Spanyol kami juga harus membayar perantara. Banyak masalah yang dihadapi untuk mengeluarkan Ayah dari penjara. Ibu harus kembali bekerja sebagai pembantu dan kami semua bekerja di perkebunan. Sepanjang tahun kami berulang kali ke pengadilan. Tuan tanah menyangka Ayah adalah raja kampung dan jika raja dikalahkan mereka akan mengalahkan semuanya. Tapi sebenarnya tidak begitu. Ayah memang melakukan apa yang dimaui orang-orang kami, tapi ia tidak membuat hukum. Akhirnya kami berhasil mengeluarkan Ayah dari penjara. Ayah dipenjarakan selama satu tahun dua bulan. Musuh-musuhnya sangat marah ketika ia keluar. Ayah gembira dan menegaskan untuk berjuang. Kata Ayah, "Nenek moyang kita tak pernah menjadi pengecut. Penjara adalah hukuman untuk orang miskin, tapi penjara tidak makan orang. Aku harus pulang dan berjuang." Ia tidak istirahat semenit pun. Itu yang membuat Ayah tidak kehilangan kontak dengan organisasi dan ia mendapat lebih banyak dukungan. Tahun 1977 Ayah kembali masuk penjara. Mereka tidak pernah membiarkan kami hidup damai. Ayah dipenjarakan selama lima belas hari. Ia pulang dengan bangga dan gembira karena di penjara ia bertemu dengan tahanan politik. Ia orang yang membela para petani dan mengatakan kepada Ayah bahwa petani harus bersatu dan membentuk Persatuan Petani untuk menuntut kembali tanah mereka. Ayah berkata, "Kita harus berjuang dengan si kaya karena mereka makin kaya dari tanah kita." Itu saatnya Ayah mulai bergabung dengan petani lain dan membicarakan pembentukan CUC, komite persatuan petani. Ayah menjadi orang bawah tanah sejak tahun 1977. Ia tinggalkan rumah supaya ia tidak melibatkan kami. Ia tinggalkan keluarga dan bekerja dengan petani di tempat lain. Kematian si Adik Aku ingat, waktu itu tahun 1979, ketika adik lelaki terkecilku meninggal. Dialah anggota keluarga kami yang pertama-tama mengalami siksaan. Umurnya 16 tahun. Begitulah, pemerintah memberikan citra seolah-olah keluarga kami adalah monster, seakan-akan kami makhluk asing. Padahal, ayahku seorang Quiche, bukan orang Kuba. Pemerintah menyebut kami komunis dan menuduh kami membawa pengaruh buruk. Maka, dengan maksud agar tak membahayakan masyarakat dan membuang "pengaruh buruk" ini, kami harus pergi ke tempat yang berlain-lainan. Hanya adik lelakiku terkecil itu yang tetap tinggal di kampung, karena ia menjabat sekretaris kelompok. Ia anak lelaki termuda dalam keluarga kami. Ia masih punya dua adik perempuan lagi -- satu ikut ibu, dan yang seorang lagi tinggal dalam kelompok, belajar dan berlatih bela diri. Pada 9 September 1979 adikku itu diculik. Waktu itu hari Minggu, dan ia pergi ke kampung lain di bawah. Ia memang bekerja di kampung lain. Nama adikku itu Petrocinio Menchu Tum (Tum, nama ibu kami). Adikku sedang bertugas. Ia memang sangat gemar mengatur-atur kelompoknya. Jadi ia berkeliling mengorganisasi anggota kelompok. Tentara memergokinya dan menculiknya. Karena adikku itu belum juga pulang, ibu dan kami semua mulai resah. Waktu itu -- syukur pada Tuhan -- mereka tidak membunuh kami semua. Ibu pergi ke pihak berwenang untuk menanyakan nasib adikku. Kalau dia bisa menggantikan anaknya, kata ibuku, biarlah mereka membunuhnya saja. Aku tidak ada di sana ketika Adik ditangkap. Aku berada di Huehuetenango. Ya, adikku telah dikhianati oleh seseorang dalam kelompok kami. Seperti yang saya katakan sebelumnya, ada saja orang yang bersedia membalik tangan untuk mendapatkan sesuatu. Bahkan dalam keadaan yang tak menjepit pun, mereka kadang-kadang rela "menjual" saudara kandungnya sendiri. Ini kisah yang tak masuk akal. Kami mencari tahu bagaimana ia mati, penyiksaan apa yang dialaminya dari awal sampai akhir. Di mana-mana di tubuh adikku darah keluar. Badannya sudah tidak berbentuk. Mukanya bonyok. Bajunya tak keruan. Sesampainya di kamp, sepanjang kaki adikku penuh luka, ia tak sanggup lagi berjalan. Dan wajahnya, jangan dikata. Ia pun tak sanggup melihat sekelilingnya. Mereka memasukkan kerikil ke dalam matanya, mata saudaraku. Dan neraka ini masih berlanjut untuk memaksa adikku mengatakan di mana para gerilyawan dan keluarganya bersembunyi. Apa yang dilakukannya dengan Injil. Mengapa para pendeta bergerilya. Mereka bertanya pada adikku bagaimana hubungan para gerilyawan dengan para pendeta. Apakah mungkin kau bisa bertahan, adik kecilku? Ia berteriak, minta ampun. Tapi mereka membiarkannya, di sebuah tempat, yang entah disebut apa: sebuah lubang berisi air dan lumpur. Adikku dibiarkan semalaman di sana, tanpa penutup badan. Ia ditemani oleh korban-korban penyiksaan lainnya beserta mayat-mayat yang telah membusuk. Lebih dari 16 hari adikku dianiaya. Mereka mencopoti kukunya, lalu menebas jari-jarinya, menyayat kulitnya, dan membakar beberapa bagian kulitnya. Kepala dan wajahnya tak terlewatkan. Mula-mula kepalanya dipelontos, lalu dikuliti. Menyusul bagian-bagian mukanya dikerati. Namun, mereka berhati-hati agar pisaunya tak mengenai nadi, supaya ia tetap bertahan dalam siksaannya, dan tidak mati. Begitu ibuku mendengarnya, ia menghubungiku dan aku pun pulang. Waktu itu hari ketiga adikku hilang. Yang paling utama adalah menenangkan Ibu, karena kami tahu bahwa musuh kami adalah para kriminal, dan kami tak dapat berbuat apa-apa. Kalau kami ke sana untuk meminta adikku kembali, mereka akan menculik kami saat itu juga. Tapi ibu tetap pergi, pada hari-hari pertama. Mereka mengancamnya dan mengatakan kalau ia berani datang lagi, ia akan diperlaukan sama dengan putranya. "Jangan khawatir, anakmu masih disiksa, belum mati," kata bajingan itu. Di desa lain, yang ada anggota gerilyawannya, mereka membagi-bagikan buletin dan propaganda tentang hukuman bagi para gerilyawan. Mereka sesumbar bahwa gerilyawan yang ini dan yang itu telah di tangan mereka, dan mereka akan menghukum mereka di tempat ini dan itu. "Mereka yang tidak mau menyaksikan pelaksanaan hukuman dianggap kaki tangan gerilyawan". Begitulah mereka mengancam rakyat. Jadi, kata ibuku, "Ayo kita pergi. Kalau mereka memanggil semua orang, kita juga harus ke sana." Ayahku, yang tiba-tiba kembali ke rumah karena pengumuman itu, mengatakan "tontonan" itu merupakan kesempatan yang tidak dapat dilewatkan, kami harus pergi dan melihatnya. Rumah kami hiruk-pikuk. Abang-abangku tiba. Kami bersama-sama lagi, abang-abangku, adik-adikku, Ibu, Ayah, dan saya. Kami harus menyeberangi punggung bukit yang panjang untuk mencapai kampung itu, Chajul, tempat pelaksanaan hukuman. Kami berangkat pukul 11 pagi 23 September itu dan tiba pukul 8 esok paginya. Di Chajul, ada sekitar 500 tentara. Mereka membuat seluruh penduduk keluar dari rumahnya. Mereka menyetop kami di jalanan, tapi mereka tidak tahu bahwa kami adalah keluarga salah satu orang yang disiksa. Mereka bertanya kami hendak ke mana. "Mengunjungi santo di Chajul," jawab ayah. Kata tentara itu, "Tidak ada waktu untuk itu, ayo pergi, pergi ke sana. Dan jika kamu tiba di sana, kamu akan melihat tak seorang pun meninggalkan desa ini." Ketika kami tiba di sana, telah banyak orang yang menunggu sejak subuh: anak-anak, para wanita, pria. Beberapa menit kemudian, tentara mengepung. Ada senapan mesin, mobil lapis baja, sejumlah jip, segala macam senjata. Helikopter mulai menderum di atas kampung. Itulah yang ditakutkan mereka. Para pejabat membuka pertemuan. Saya ingat dia mulai dengan mengatakan sekelompok gerilyawan yang mereka tangkap sebentar lagi tiba dan mereka akan menerima siksaan ringan. Satu siksaan ringan, karena ada aniaya yang lebih berat, katanya, tapi kamu akan melihat hukuman yang diterima. Dan itu karena mereka komunis. Akibat menjadi orang-orang Kuba, akibat melakukan tindak subversif! Dan kalau kamu campuran komunis dan melakukan subversi, kamu akan mendapat perlakuan sama dengan mereka yang akan kamu lihat sebentar lagi. Ibuku hampir 100 persen yakin anaknya ada di antara mereka yang akan dibawa. Saya tetap belum yakin, karena saya tahu adikku bukan seorang kriminal dan tidak berhak menerima hukuman seperti itu. Ya, beberapa menit kemudian tiga lori tentara tiba. Yang tengah membawa orang-orang yang telah disiksa, dan yang ketiga mengangkut penjaga. Mereka mengawal tahanan dengan ketat. Orang-orang di lori kedua satu per satu diturunkan. Mereka semua mengenakan baju tentara. Tapi wajah mereka luar biasa tak berbentuknya, tak bisa dikenali. Ibu saya maju ke dekat lori untuk mengenali anaknya. Masing-masing orang hukuman punya luka yang berbeda di wajahnya. Maksud saya, muka mereka semua kelihatan lain. Tapi ibuku mengenali wajah anaknya, adik kecilku, di antara mereka. Mereka disuruh berbaris. Beberapa di antaranya benar-benar setengah mati atau sangat kesakitan. Semua tawanan tak punya kuku dan mereka mengiris sejumput telapak kakinya. Mereka bertelanjang kaki. Mereka memaksa pejuang-pejuang ini untuk berjalan dan tetap dalam barisan. Bergantian yang jatuh. Tapi mereka diangkat lagi. Ada satu skuadron tentara yang siap untuk melakukan secara tepat apa yang diperintahkan komandannya. Tak seorang pun dapat meninggalkan "upacara". Semua orang menangis. Setiap kali aku menuturkan peristiwa ini, aku tak dapat menahan air mata. Untukku itu adalah sebuah kenyataan yang tak terlupakan, meskipun tak gampang mengutarakannya. Ibu terisak, ia menatap putranya. Tak disangka adik mengenali kami. Atau barangkali begitu.... Ibu bilang ia memang mengenali kami, ia tetap dapat tersenyum padanya, tapi aku tidak melihat itu. Mereka semua mengerikan. Mereka semua gemuk, gemuk, gemuk. Mereka semua binasa, seluruhnya penuh luka. Setelah selesai bicara, sang perwira memerintahkan pasukan membawa tawanan ini, dan menelanjanginya. Tentara menyeretnya karena mereka tak sanggup lagi berjalan. Mereka dibariskan di depan begitu banyak orang. Lalu mereka disiram bensin dan tentara-tentara menyalakan api ke tubuh mereka satu per satu .... Matinya Sang Ayah Pada bulan November di tahun yang sama, 1979, aku berjumpa ayah secara tak sengaja. Aku pergi ke El Quiche untuk rapat. Itu pertemuan para pemimpin Komite dari berbagai daerah. Aku diundang. Ketika aku melihat ayah, aku gembira. Dan di muka semua companero, ia mengatakan, "Gadisku yang sudah besar ini, anak yang selalu membanggakan". Ia meminta mereka untuk menjadi ayah bagiku, untuk kami semua, jika suatu hari ia tiada. Pertemuan memakan waktu yang panjang, banyak hal terjadi sehubungan dengan kerja kami. Seusai pertemuan, aku berbincang-bincang dengan Ayah selama dua hari. Kami bertukar pengalaman. Ia gembira dan bercerita bagaimana rakyat kami dapat mengorganisasikan dirinya, bagaimana pemimpin baru muncul untuk memimpin perjuangan, dan ia telah siap mengangkat senjata. Karena katanya, "Saya seorang Kristen dan tugas seorang Kristen adalah melawan segala ketidakadilan terhadap rakyat. Tidak ada hak yang menentukan rakyat kami harus menyerahkan darahnya, kehidupannya, untuk sedikit orang yang memegang kekuasaan." Pandangannya sama jelasnya dengan pakar teori mana pun, seolah-olah ia pernah belajar itu semua. Seluruh konsepnya jelas. Kemudian ia memberikan semangat pada kami untuk perjuangan kami. "Kita barangkali tidak akan saling bertemu untuk jangka waktu yang panjang. Tapi ingatlah, hidup atau mati, saya akan selalu menolong kamu dengan cara apa pun." Ia kemudian mengatakan pada kami untuk menjaga ibuku. Ia mengatakan kami harus menengoknya dan menemukannya, supaya ia tidak melakukan hal yang berbahaya .... Kemudian kuucapkan selamat tinggal pada ayah. Ia menyarankan aku berada di ibu kota pada bulan Januari karena akan ada aksi untuk mendesak pemerintah agar berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan. Situasi hanya dapat berubah bila kebanyakan dari kami bersedia mempertaruhkan hidupnya. Akan ada demonstrasi lain yang melibatkan mahasiswa, pekerja, serikat buruh, petani, orang-orang Kristen, semua memprotes penindasan di El Quiche. Pasukan militer menculik rakyat setiap saat di El Quiche. Kami telah mendengar kabar sepuluh, lima belas rakyat hilang. Unjuk rasa ke ibu kota, Kota Guatemala, diorganisasikan untuk meminta tentara meninggalkan El Quiche. Mereka membawa sejumlah anak yatim piatu sebagai bukti penindasan. Mereka mengambil alih beberapa stasiun radio untuk mengumumkan pada rakyat tentang keadaan kami yang menyedihkan. Mereka pikir mereka harus membuat gerakan ini diketahui dunia internasional dengan cara menduduki sebuah kedutaan yang duta besarnya dapat menjadi juru bicara. Pertama kali mereka menduduki kedutaan Swiss di Guatemala. Yang lain mengambil alih stasiun radio. Para petani datang dari berbagai penjuru. Dari pantai selatan, dari timur, tapi kebanyakan mereka berasal dari El Quiche karena di situlah pusatnya penindasan. Hampir semua pemimpin perjuangan adalah petani. Juga ayahku, begitu juga kebanyakan companero lainnya yang meninggal hari itu. Aksi terakhir adalah menduduki kedutaan Spanyol. Ajaibnya, kudengar ibu saya ingin pergi, begitu juga abang saya. Tapi organisasi mengatakan tidak, karena mereka takut sesuatu akan terjadi. Siapa saja siap mempertaruhkan nyawa dalam keadaan yang paling berbahaya. Namun, apa yang terjadi setelah itu adalah sesuatu yang tak pernah kami bayangkan. Pertama, karena di kedutaan itu ada orang-orang penting, dan kedua karena pegawai pemerintah juga di sana. Yang kami tahu akan ada ketegangan, tapi kami pikir mereka akan memberikan izin pada pejuang yang menduduki kedutaan untuk meninggalkan negeri sebagai pengungsi politik, dan mereka akan bisa menyebarkan kabar perjuangan kami ke luar negeri. Tujuannya adalah untuk mengatakan ke seluruh dunia tentang apa yang terjadi di Guatemala dan sekaligus memberitahukan rakyat di dalam negeri. Tapi akhirnya mereka semua terkubur dalam api. Yang tinggal hanya abunya. Ini pukulan berat bagi kami. Untukku, itu bukan dukacita untuk Ayah. Sangat mudah bagiku menyadarai bahwa Ayah telah tiada, karena ia telah dipaksa untuk memimpin kebrutalan, kejahatan yang sama yang kami alami. Ayahku telah siap. Sangat jelas bahwa ia harus menyerahkan hidupnya. Jadi, bagiku tidaklah menyakitkan menerima kematian Ayah, aku bahagia karena ia tidak menderita sebagaimana bila aku bayangkan ia berada di tangan musuh hidup-hidup. Tidak, apa yang sangat menyakitkanku adalah nyawa begitu banyak companero, para pejuang yang baik, yang tidak berambisi sedikit pun untuk berkuasa. Yang mereka kehendaki hanya sebatas tetap hidup, sebatas memenuhi kebutuhan rakyatnya. Mereka memperkuat keputusanku untuk berjuang. Penculikan Dan Kematian Ibu Dan begitu ibuku kembali ke kampung kami, dan diam-diam akan membeli keperluan masyarakat desanya, mereka menculiknya pada 19 April 1980. Itu membuatku sangat sedih karena ia mengatakan ia punya banyak urusan dengan grup etnik lainnya, di daerah lain, yaitu mengorganisasi rakyat di sana. Jika ibuku kembali ke Altiplano itu pasti karena delapan companero dari kampung kami dibunuh di kedutaan Spanyol. Kedelapan pemimpin ini adalah orang-orang terbaik di kampung kami dan yang paling aktif. Ya, ibuku berkata, "Saya akan kembali ke rumahku karena masyarakatku memerlukanku sekarang." Dan ia pulang. Para pendeta dan suster yang berada di kampung kami saat itu menawarkan bantuan padanya bila ingin meninggalkan negeri. Namun ibuku tak berpikir sedetik pun menjadi seorang pengungsi. Katanya, "Tidak, saya tidak bisa, rakyatku memerlukan aku dan di sinilah tempatku." Ia pulang dan, kenyataannya, benar kelompoknya sekarat karena kelaparan, karena mereka tidak dapat pergi ke salah satu kota atau ke mana pun. Tak seorang pun berani mempertaruhkan hidupnya hanya untuk pergi dan membeli makanan. Ibuku diculik. Ia diperkosa oleh tentara berpangkat tinggi di kota. Lalu ia diperkosa oleh penculik-penculiknya dan berlanjut setelah mereka membawanya ke kamp -- yang disebut "Chajup", yang berarti "di bawah jurang". Di sana ia diperkosa oleh perwira-perwira yang memimpin pasukan. Setelah itu ia menjadi subjek penyiksaan yang mengerikan. Hari pertama mereka menggunduli kepalanya, memakaikan seragam ke tubuhnya dan mengatakan, "Kalau kamu seorang gerilyawan, mengapa kamu tidak melawan kami di sini?" Ibuku membisu. Sambil menghajarnya mereka menanyakan di mana kami dan mengatakan kalau ia mau mengaku, mereka akan membebaskannya. Tapi ibuku tahu benar bahwa mereka meminta itu supaya dapat menyiksa anaknya yang lain, dan ia tak akan pernah melepaskannya. Ia berpura-pura tak tahu apa-apa. Ia mempertahankan kami sampai titik darah penghabisan. Di hari ketiga penganiayaannya, mereka memotong telinganya. Tangan-tangan si baju loreng itu menyobeki tubuhnya sedikit demi sedikit. Mulai dari luka kecil, dan meningkat ke penyiksaan yang paling keji. Tak ada saat di mana ia diperlakukan sebagai manusia. Berhari-hari lewat tanpa makanan. Dari kepedihannya, dari luka-luka di sekujur tubuhnya, cacatnya, dan kelaparannya, ibuku mulai kehilangan ingatan dan menghadapi sakratulmaut. Lalu, perwira yang bertugas memanggil tim medis tentara. Mereka menyuntiknya dan cukup banyak serum untuk memulihkannya, untuk membuatnya hidup lagi. Mereka memberinya obat-obatan, mereka menjaganya setelah sembuh dan memberi ruang yang layak di mana ia dirawat dengan baik. Ketika ia mulai membaik, tentu saja, ia minta makan. Mereka memberinya makan. Setelah itu mereka memperkosanya lagi. Ketika ibuku di titik sekarat lagi. Mereka mengirim pesan pada kami dengan berbagai cara. Mereka membawa pakaian ibuku ke balai kota di Uspantan. Mereka memamerkan itu sebagai bukti untuk kami bahwa ibuku berada di tangan mereka. Kami mengirim orang-orang tertentu untuk menyelidiki apa yang terjadi dengannya, dan mereka mengatakan kami harus pergi, bahwa ibu kami masih tetap hidup. Ia ingin berjumpa dengan salah seorang anaknya. Selalu begitu, setiap kali .... Ketika mereka melihat tak seorang pun anaknya datang mengambil baju ibunya, tentara membawa ibu ke tempat yang dekat dengan kota, daerah yang sangat berbukit-bukit. Itu harapanku. Bahwa ibuku akan mati dikelilingi alam yang sangat dicintainya. Mereka menggeletakannya di bawah pohon dan membiarkannya di sana, dalam keadaan antara hidup dan mati. Mereka membiarkan ibuku sekarat untuk empat atau lima hari, ditimpa terik matahari, hujan, dan malam. Ibuku berselimut kawanan ulat, karena di pegunungan, serangga akan langsung menyerbu luka apa pun. Akhirnya ibuku mati dalam penderitaan yang tak terkatakan. Ketika napasnya berhenti, tentara-tentara itu berdiri di depannya dan mengencingi mulutnya. Kemudian mereka menempatkan penjaga untuk mengawasi mayatnya agar tak seorang pun bisa membawa jenazahnya, meski pun cuma sisa-sisanya. Tentara-tentara biadab itu tinggal di sana sampai empat bulan, sampai mereka melihat tak sekeping pun tubuh ibuku yang tersisa, tak juga tulang-tulangnya, baru mereka kemudian pergi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus