Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir setiap hari, Addie Muljadi Sumaatmadja menghadiahkan sepotong senja untuk dirinya sendiri. Tepat pukul 16.30, dia akan berhenti bekerja dan membuat secangkir kecil espresso. Addie lalu pergi ke pinggir kolam renang di kompleks perumahannya di Pondok Labu, Jakarta Selatan, dan duduk di sana. Sendiri. Dia lalu menyulut sebatang cerutu, sesekali menyesap kopi, mendengarkan musik klasik, dan memandang langit yang memerah. Dengan telepon seluler, dia memotret lukisan senja. "Tak pernah ada langit senja yang sama," katanya bulan lalu.
Istrinya, penyanyi Memes, menganggap aktivitas ini seperti kegiatan pensiunan. Tapi Addie, yang hari Minggu kemarin berumur 53 tahun, belumlah pensiun. Setiap hari, sejak pukul sembilan, dia sibuk mengaransemen dan membuat komposisi musik di studio, samping kamar tidurnya. Sambil sesekali mengoceh di Twitter—tentang apa saja kecuali musik—Addie bekerja sampai sore. Setelah sembahyang magrib dan makan malam, dia kembali bekerja sampai subuh. Menikmati senja adalah jeda untuk melepaskan kepenatan sepanjang hari. "Itu surga bagi saya," ujar Addie.
Entah mengapa, Addie selalu terjebak oleh senja. Orkestra yang didirikannya, Twilite Orchestra, juga berarti senja, karena memang dibuat pada suatu senja pada 1991. "Saya juga baru menyadari kebetulan itu beberapa tahun ini," katanya. Tapi tentu bukan kebetulan jika Addie mampu mengantarkan orkestra berisi musikus Indonesia bermain di Bratislava dan Berlin, Juni lalu. Di dua kota Eropa yang punya posisi bergengsi dalam sejarah musik klasik itu, dia menorehkan sejarah.
Addie mengenal musik klasik sejak kecil. Ibunya kerap menyetel musik itu dari piringan hitam, lalu mendengarkannya sambil termenung. Tantenya juga kerap datang untuk memainkan lagu klasik dari piano besar di rumahnya di Tebet, Jakarta. Pada umur 12 tahun, saat kelas I sekolah menengah pertama, Addie ikut les piano pada seorang Belanda yang tinggal dekat rumahnya. Guru yang kaku, tapi dialah yang meletakkan not-not dasar di kepala Addie.
"Tapi jiwa saya adalah jiwa pemberontak," kata Addie, yang kalem. Maka lagu-lagu The Rolling Stones yang diteriakkan Mick Jagger lebih menggedor dada remajanya. Itu di awal 1970-an dan siapa yang tak tergila-gila pada album Sticky Fingers-nya Stones? Mungkin lagu Wild Horses dalam album itu cocok dengan impian Addie remaja, yang harus beberapa kali ganti sekolah demi mencari kebebasan. "I have my freedom but I don’t have much time/Faith has been broken tears must be cried."
Saat sekolah di SMA 3, Setiabudi, Jakarta, Addie bertemu dengan Ikang Fawzi, Fariz R.M., dan Deddy Dhukun. Mereka membuat band rock. Bakatnya diendus oleh Keenan Nasution, yang bersama Chrisye sempat menjadi juri dalam festival musik di sekolahnya. Keenan meminta Addie—yang masih kelas III SMA—mengaransemen dua lagu yang kemudian meledak dan abadi: Nuansa Bening dan Cakrawala Senja (album Di Batas Angan-angan, 1978). Addie membolos sekolah untuk bisa datang ke Gelora Seni di Jalan Gajah Mada—studio musik paling mewah saat itu. Setamat SMA, dia memutuskan tidak kuliah dan total bermusik.
Addie semakin larut dalam musik pop. Dia mengaransemen banyak lagu yang dibawakan penyanyi ternama saat itu, seperti Harvey Malaiholo dan Utha Likumahuwa. Tapi kecintaannya pada musik klasik belum luntur. "Passion aku ke musik klasik tetap, tidak bisa berhenti. Siang bikin lagu pop, malam mendengarkan lagu klasik di kaset sambil main piano. Di saat itulah aku bersenang-senang."
Sesekali Addie memasukkan unsur musik klasik ke lagu-lagu pop. Saat diminta mengaransemen album Citra Pesona (1982), yang dinyanyikan Vina Panduwinata, dia berkeras agar rekaman dilakukan di Filipina dengan pemain musik dari negeri itu. Alasannya: belum ada pemain orkestra yang baik di Indonesia saat itu. Awalnya ditolak, tapi setelah Addie merelakan honornya dihapus, permintaan itu dipenuhi.
Hampir pukul sembilan malam ketika Addie menyulut Mini Montecristo, cerutu sekecil rokok mild, hadiah Purwa Caraka, yang baru dari Paris. "Sejak sepuluh tahun lalu saya hanya mengisap sebatang cerutu sehari. Ini cerutu pertama saya hari ini," katanya. Hari itu Addie tidak mengisapnya di saat senja di samping kolam, karena sepanjang hari mixing untuk sebuah acara televisi. Ia tetap mengisapnya, meski tenggorokannya mulai meradang. Perlahan, asap cerutu menggantikan wangi sedap malam yang memenuhi ruang tamunya. Sejak Addie menikah dengan Memes pada 1987, bunga itu harus ada di ruang tersebut. Setiap hari.
Pernikahan mereka langgeng, hampir tanpa riak. Mereka terbiasa saling memahami. Itulah kenapa Memes tak keberatan saat Addie memutuskan berhenti membuat jingle iklan dan mengaransemen musik pop—dua ayam petelur emasnya. Pada 1991, setelah belasan tahun berkiprah di musik pop, Addie sepenuhnya terjun ke musik klasik. "Saya jenuh," katanya. Meski ada dukungan dana dari pengusaha, penghasilan Addie jauh berkurang. "Bahkan sekarang penghasilan Kevin lebih besar," ujarnya.
Kevin Aprilio adalah anak sulungnya. Ketika keputusan itu dibuat, Kevin baru berumur setahun. Kini dia berusia 22 tahun dan sudah memiliki "kerajaan" musik bernama Aprilio Kingdom. Ia juga memproduseri band Vierra dan Princess—sebuah girls band ala Korea. Mungkin karena kesibukan dalam menjalankan bisnis musiknya tersebut, malam itu Kevin pulang agak larut. Memakai headphone saat naik tangga, Kevin tak mendengar panggilan ayahnya. "Dia punya rencana bisnis yang bagus, berpikir cepat. Saya tak mau memaksa dia bermusik seperti saya."
Meski tak pernah mengecilkan musik pop, Addie yakin musik orkestra memiliki sihirnya sendiri. "Begitu dalam impact yang dihasilkan musik ini," katanya. "Bisa membuat ketakutan atau bahagia. Banyak film memakai musik ini karena dapat menghasilkan kemegahan." Tujuh tahun lalu di Balai Sarbini, Jakarta, Twilite menggelar konser "Adventures to Galaxies", yang memainkan musik megah dari film seperti Star Wars, ET, Star Trek, dan 2001: Space Odyssey.
Twilite memang tidak melulu memainkan musik klasik, tapi mereka taat pada format orkestra yang simfonik. "Saya lebih senang menyebutnya orkes simfoni yang mempunyai format instrumen empat unsur." Keempatnya adalah alat musik gesek, alat musik tiup kayu, alat musik tiup logam, dan perkusi. Twilite juga memainkan lagu daerah dan lagu nasional (patriotik). Lagu Indonesia Raya yang kita dengarkan saat ini adalah hasil aransemen ulang Addie.
Ceritanya, pada 1998, pengusaha Youk Tanzil bertanya bagaimana cara mendapatkan lagu Indonesia Raya untuk presentasi video. Addie menyarankan dia untuk mencarinya di Radio Republik Indonesia. "Tapi masih di piringan hitam dan sudah kresek-kresek karena telah 48 tahun tidak diaransemen ulang," kata Addie. Saat itulah muncul gagasan untuk merekam ulang lagu-lagu nasional dengan aransemen baru dan berbentuk simfonik. Muncullah album Simfoni Negeriku, yang berisi antara lain Indonesia Raya, Bagimu Negeri, Bangun Pemudi-Pemuda, Syukur, Tanah Airku, dan Rayuan Pulau Kelapa.
Malam itu Addie M.S. memakai kemeja hitam yang lengan panjangnya digulung necis, celana kain biru dongker, dan sandal kulit bertali-tali. Rambutnya tersisir rapi. Meski di rumah, Addie selalu antun. "Saya hanya pakai kaus ketika tidur," ujarnya.
Tapi keantunan itu tak membuatnya enggan berkeringat. Enam sampai delapan jam sebelum konser dimulai—khususnya di gedung yang memakai sound system—Addie harus berlari ke sana-kemari. Dari panggung ke ruang mixer, lalu ke bangku penonton, balik lagi ke panggung. "Selama 21 tahun Twilite berdiri, saya sebenarnya memegang dua peran sekaligus: sebagai konduktor dan sound engineer," katanya. Di Indonesia memang belum ada sound engineer untuk musik klasik.
Di panggung, Addie harus menata bangku agar pemain tidak berimpitan dan enak dilihat penonton. Ia juga mengukur letak mikrofon agar pas menangkap suara, tapi tak mengganggu gerakan pemain. Di ruang mixer, Addie memastikan setiap alat musik terdengar proporsional. Di bangku penonton, dia mendengarkan hasilnya. Hal itu bisa dilakukan berkali-kali hingga Addie puas. "Aku harus berkeringat sebelum musikus datang," ujarnya.
Sekitar pukul enam sore, Addie mandi, lalu mengganti bajunya yang basah dengan kemeja putih dan tuksedo. Dia naik panggung dengan tangan kanannya mematik batton. Tongkat kecil dengan pentol gabus di pangkalnya itu seperti tongkat sihir Harry Potter yang sakti. Begitu tongkat diayun, Addie menjelma menjadi orang lain. "Aku sebenarnya pemalu, introvert, ingin menyendiri. Tapi, kalau sudah di panggung, itu semua hilang," katanya.
Addie menjadi tiga sosok sekaligus: sebagai konduktor yang mengomandani 60 musikus dan 60 penyanyi kor, sebagai perwakilan penonton yang dengan antusias ingin mendengarkan musik terbaik, serta sebagai duta besar komponis yang ingin musik ciptaannya dimainkan dengan sempurna. "Beethoven atau siapa pun komponisnya hanya meninggalkan tulisan, instruksi jelas yang harus diikuti. Posisi konduktor sama dengan duta besar, yang harus mengikuti surat arahan dari presiden," begitu dia mengandaikan.
Karena itu, Addie kurang setuju dengan maestro musik klasik abad ke-20, seperti Arturo Toscanini dan Herbert von Karajan, yang karena begitu didewakan hingga disahkan mengubah komposisi. Ia lebih setuju dengan Gunther Schiller, yang dalam buku Complete Conductor mengkritik cara-cara seperti itu. "Setelah baca buku itu, saya semakin yakin bahwa esensi saya di atas podium adalah sebagai pelayan."
Sore, 19 Juni 2012. Addie berjalan santai sendirian di Gendarmenmarkt, Berlin, sambil menikmati langit senja. Ini adalah alun-alun yang dibangun pada abad ke-17 dan memiliki sejumlah bangunan tua. Salah satunya Konzerthaus (gedung konser), yang hancur saat Perang Dunia II dan dibuka lagi pada 1984 setelah direnovasi. Di gedung itu, Symphony No. 9 untuk pertama kalinya dimainkan di Berlin. Di situlah, malam itu, Addie berdiri memimpin orkes simfoni Indonesia bermain di daratan Eropa untuk pertama kalinya.
"Sepuluh menit sebelum konser dimulai, saya meninggalkan pemandangan senja yang menggetarkan itu untuk langsung menuju ruang konser," tulisnya dalam catatan perjalanan yang diterbitkan Rolling Stone. Di dalam gedung, sudah ada 1.500 penonton—hampir semuanya orang Eropa. Sore itu Addie tak perlu berpeluh mengatur tata suara karena gedung tersebut memiliki tata akustik sempurna. Begitu batton diayunkan, suara tiga trompet memecah keheningan, mengawali Festive Overture karya D. Shotakovich. Dan bulu kuduk Addie pun berdiri.
Malam itu Twilite tidak hanya membawakan karya klasik, tapi juga lagu daerah dan nasional, seperti Manuk Dadali, Janger, Indonesia Pusaka, dan Tanah Airku. Di akhir pertunjukan, 1.500 penonton bertepuk tangan sambil berdiri (standing ovation), yang mengharuskan Twilite menambah tiga lagu (encore). Kesuksesan yang sama mereka dapatkan di Bratislava beberapa malam kemudian.
"Kedua konser itu adalah sejarah dalam musik Indonesia, tapi ini hanya permulaan dan harus ada yang melanjutkan," katanya dengan suara serak. Sudah hampir tengah malam dan radang di tenggorokannya semakin parah. Addie lalu membuka penutup grand piano di ruang keluarga dan menutup perbincangan malam itu dengan memainkan Tanah Airku. Tak ada yang menyanyi, tapi syair lagu ciptaan Ibu Sud itu seperti terbisikkan di telinga: "Tanah airku tidak kulupakan/Kan terkenang selama hidupku...."
Qaris Tajudin, Istiqomatul Hayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo