Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Primitivisme, Masih Panjang

Lukisan primitif, karya pelukis Teguh Ostenrik asal Solo dan belajar melukis di berlin, pekan lalu dipamerkan. teguh pun merencanakan tinggal di tengah suku primitif. entah apa yang dicari.

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEGUH Ostenrik bergaya Nias - justru setelah sekitar 4 tahun tinggal dan belajar senirupa di Berlin. Para senirupawan kita yang merasa, bahwa seni "modern" adalah Barat, memang kemudian suka menengok ke belakang. Seperti Teguh -- yang mengaku, mula-mula, di Hochschule der Kunste (Sekolah Tinggi Seni), Berlin, melukis seperti Kokoscha -- itu pelukis kelahiran Austria yang termasuk dalam kubu ekspresionisme." "Tapi kemudian saya merasa ada dinding," tutur Teguh, 30 tahun, orang Solo kelahiran Jakarta. Ia merasa kesenian yang tengah ia pelajari bukan punyanya. "Kalau saya bercermin, rambut saya tetap hitam, mata saya hitam hidung saya pesek," katanya. Mungkin ia berlebihan. Tapi museum etnologi di Berlin kemudian menjadi tempatnya berguru dan mencari. Ia mendapat -- bahwa karya senirupa nenek moyang ternyata punya kelebihan: ada misterinya, sesuatu yang tak ditemukannya pada karya-karya Barat. Di situ Teguh Ostenrik bisa diharap punya kelebihan. Tak sedikit senirupawan yang menengok ke belakang hanya menengok bentuk -- dan bukan hal-hal yang melahirkannya. Bentuk figur yang mirip patung Nias dapam lukisan, grafis, sketsa atau goresan pada terakota Teguh, terasa bukan klise. Teguh tidak menggambar dengan model patung Nias. Bentuk Nias itu bahasa Teguh. Ia mencoba tak mengikutsertakan pertimbangan apa pun bagai tak sadar, trance kata populernya, dalam melahirkan karya. Dan cara mencipta begini biasanya bisa menghasilkan banyak dalam waktu pendek. Untuk pameran ini, yang dipersiapkannya di Solo sejak Juni lalu, bisa dihasilkan sekitar 25 lukisan akrylik dan beberapa karya terakota plus sejumlah sketsa. Memang ada yang terasa kurang mantap. Ada kesan mengambang -- yang biasanya ada pada karya mereka yang belum menemukan gaya sendiri. Sesuatu yang milik Teguh memang belum terasa jelas. Tapi ia memang belum lama menggumuli gaya yang kini dirasakan sebagai hal yang akrab dengan dirinya. Baru sekitar 3« tahun lalu, Teguh menggambar figur yang nyaris datar, dengan bentuk tubuh yang begitu tambun tak sesuai dengan keseluruhan secara anatomis, tapi serasi. Dan entah karena ia baru saja menggandrungi primitivisme, warna-warna yang dipilihnya pun warna-warna coklat, oker atau yang senada, yang mengesankan kekunoan. Apalagi didukung dengan tekstur yang memenuhi seluruh kanvas. Adakah gaya Nias, atau primitif, merupakan jawaban atas pencarian identitasnya? Belum jelas benar. Tapi membandingkan dengan pelukis Otto Djaya, yang dulu pun mencoba merangkul primitivisme lewat relief candi, terkesan Teguh lebih menangkap hakikat primitivisme itu -- sementara Otto, lebih menangkap bentuknya. Yang juga menarik, si Teguh merencanakan tinggal dan hidup bersama suku primitif -- ke Irian Jaya, antara lain. "Bukan untuk berkarya terutama. Untuk hidup bersama meRka saja," katanya. Samar-samar memang ada konsep kesenian yang memang lain pada dirinya, yang ia sendiri pun agaknya belum paham. Tapi membandingkan karyanya dengan karya senirupawan kita seangkatannya yang belajar di tanah air, keistimewaan Teguh memang belum kukuh. Bahkan boleh dibilang, dilihat dari karyanya itu sendiri, ia tak menonjol. Bandingkan misalnya dengan Dede Eri Supria yang neo-realisme itu, atau dengan karya beberapa orang yang tergabung dalam Senirupa Baru Indonesia. Agaknya bakat seni Teguh diperoleh dari kakeknya, R.M. Mangoensoenarjo pelukis Solo yang cukup dikenal di kalangan keraton. Kakek itu pun "seniman nyentrik". Ketika Raja Austria berkunjung ke Solo dan tepat waktu itu ayah Teguh lahir, diberi namanyalah bayi itu Ostenrik (Austria, dalam bahasa Belanda). Dan cucu Mangoensoenarjo memang tak menggebrak -- meski poster pamerannya atraktif, bertuliskan "Lho". Dan judul karyanya, kalau tak ditulisnya dalam bahasa Jerman, ya bahasa Jawa (misalnya Lho, Wuda -- lho, telanjang Bathuk Gosong -- kening hangus). Tapi agaknya ia tahu apa yang dicarinya dan bagalmana cara mencarinya -- satu perJalanan yang maslh panjang. Bambang Bujono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus