TOKOH "Yang Selalu Gagal" tak lagi akan muncul. Bersama
meninggalnya Kho Wan Gie, Rabu pekan lalu, tokoh kartun Put On
(bahasa Hokian, artinya yang selalu gagal) ciptaan Kho bisa
dipastikan tak lagi akan ada yang melanjutkan. Demikianlah
agaknya nasib tokoh kartun Indonesia: hilang bersama
meninggalnya si pencipta.
Padahal Put On telah menghibur pembacanya dengan segala nasib
malangnya. Pertama kali ia muncul (belum jelas-jelas bernama Put
On) di surat kabar Sin Po, 2 Agustus 1930, naik sepeda. Tapi
dasar Put On, matanya meleng lihat cewek cakep. Sepeda
nyelonong, nabrak tukang jual es keliling. Di koran itu Put On
muncul seminggu sekali, sampai koran itu ditutup tatkala Jepang
menduduki Hindia-Belanda.
Di zaman Indonesia merdeka Put On kembali muncul di Sin Po yang
terbit lagi, kemudian di majalah Pantjawarna. Tetap seperti
semula: sebagai orang awam, tak tahu-menahu soal poleksosbud,
dan tetap saja bernasib malang. Toh, bagi orang pers kali itu,
kartun Put On begitu populer. Bahkan tokoh kartun di Star
Weekly, A Piao, kalah pamor. Mungkin ini disebabkan Put On,
kalau benar, merupakan tokoh kartun Indonesia yang pertama.
Yang terang Kho Wan Gie bukan tukang gambar sembarangan. Meski
orang kelahiran Indramayu 1908 itu tak jelas pendidikan
melukisnya, konon cuma ikut kursus tertulis dari Amerika
Serikat, si Put On tampil pertama kali dengan garis yang
memikat. Secara anatomis gambar Kho tidak kaku. Dalam posisi
bagaimana saja -- Put On naik sepeda, terjungkal, marah, lari
ketakutan dikejar anjing, sedang merayu cewek, atau menari
kegirangan mengikuti musik dari radio -- ia tampak pas dan
meyakinkan. Dengan kalimat lain, tokohnya yang gendut, berwajah
bloon dengan rambut sering acak-acakan itu, menjadi khas. Dari
muka, samping, dan belakang, orang gampang mengenal Put On.
Tapi ditutupnya Pantjawarna menjelang lahirnya zaman Orde
Baru, membuka babak baru bagi Put On. Muncul kembalinya tokoh
itu di Ria Film, di Varia Nada, di Ria Remaja (majalah-majalah
hiburan) tak lagi penuh gairah. Bahkan kadang-kadang ia ganti
nama: si Lemot, misalnya. Garisnya memang makin rapi, dan
dandanannya pun lebih parlente ketimbang dulu. Ada kecenderungan
Kho mengikuti gaya para kartunis baru kita (G.M. Sudarta dan
Pramono, misalnya) yang menggaris dengan rapi. Tapi dengan
begitu justru ekspresi Put On jadi menurun.
Mungkin juga Put On sudah saatnya mundur. Kecenderungan kartun
kini agaknya asing bagi penciptanya. Ialah, membawakan tema-tema
yang berkaitan dengan berita yang lagi hangat. Ini misalnya
dilakukan oleh tokoh Keong di harian Sinar Harapan, ciptaan
Pramono. Atau juga Pasikom di Kompas ciptaan G.M. Sudarta.
Begitu juga tokoh Mat Karyo di harian Suara Karya yang digambar
oleh Bambang Sugeng, meski kadang-kadang Mat Karyo muncul dengan
lelucon biasa. Yang lebih dekat dengan Put On adalah tokoh Bung
Joni di Berita Buana yang dilukis oleh Johny Hidayat. Tapi
Johny, lebih dari Kho, humornya tak terletak pada gambar. Tapi
kata-kata.
Hanya, entah mengapa, tokoh-tokoh kartun kita di zaman Orde Baru
kurang semarak. Mat Karyo terlalu sering tidak lucu, sementara
Bung Johny cuma suaranya yang keras dan sering klise. Eksperimen
baru Arswendo dan G.M. Sudarta di Kompas Minggu, tokoh Oom Jack,
kekhasannya belum muncul benar. Dan kartunis Dwi Koen yang juga
selalu muncul di Kompas Minggu dengan Panji Komingnya, sering
humornya tenggelam oleh misi yang dititipkan. Pun tokoh Pasikom
dan Keong. Selain Bung Joni, tokoh-tokoh yang lain itu seperti
hendak bersaing dengan berita-berita halaman satu.
Padahal mungkin itu tidak perlu. Bila Put On di tahun 1950-an
dicintai pembaca mungkin justru karena ia mewakili berjuta orang
biasa, yang "tak punya nama" seperti Kho, bapak 8 anak dan kakek
14 cucu itu sendiri. Put On mengingatkan tokoh kartun Mas
Klombrot di majalah berbahasa Jawa Panyebar Semangat -- yang
dulu juga populer dan kini menghilang.
Barangkali karena tokoh-tokoh kartun kini cenderung menjadi
sophisticated. Padahal kita merindukan Put On-Put On baru.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini