Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Sang kyai yang dalam peti

Keluarga ki sapar di gunung kidul yogyakarta memiliki wayang beber. wayang terdiri dari 8 gulungan. keseluruhan wayang beber itu dipanggil kiai ramang. (ter)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUKUH Gelaran Gunung Kidul, tak jauh beda dengan sekitarnya miskin. Di pinggir jalan desa yang baru dikeraskan oleh Proyek ABRI Masuk Desa, terdapat rumah gubuk kecil, berdinding kayu berlantai tanah. Di rumah yang kotor dan pengap inilah tersimpan wayang beber. Yang "memiliki"-nya sekarang adalah keluarga Ki Sapar. Lelaki 80 tahun yang sudah tak jelas bicara dan pendengarannya ini, tak bisa menceritakan asal usul barang itu. Ia hanya bisa menghitung, sudah 7 turunan wayang itu ada di pihaknya. Wayang terdiri dari 8 gulungan. Empat merupakan serial cerita Kiai Remeng Mangunjoyo. Entah kisah apa ini, tak ada yang bisa menceritakan. Hanya keseluruhan wayang beber itu lantas dipanggil Kiai Remeng. Dua gulungan lagi adalah kisah Joko Tarub dan Galuh Candra Kirana. Cerita panji ini jelas asal usulnya, dan inilah yang dipergelarkan tahun lalu di Gedung Kepatihan Yogya. Menurut Ki Sapar, seingatnya pergelaran itu adalah yang kedua. Yang pertama di tahun 1932. Yang dua gulungan lagi, sudah tidak diketahui apa ceritanya. Ki Sapar menyebut, tak ada petunjuk mengisahkan apa. Dicari-cari pada cerita rakyat juga tak ada. Fungsi wayang beber itu sekarang lebih banyak sebagai tempat "meminta sesuatu". "Minta berkah apa saja bisa tinggal membakar kemenyan," kata Ki Sapar. Anehnya, sebelum digelarkan di Kepatihan itu, orang-orang yang "meminta sesuatu" di rumah Ki Sapar tak menduga kalau yang mereka puja itu wayang beber. Mereka hanya kenal "Kiai Remeng yang dalam peti". Untuk mengeluarkan sang kiai yang dalam peti, perlu sesaji khusus dengan ingkung ayam segala. Biayanya puluhan ribu, bahkan lebih. Karena itu menurut Ki Sapar, hanya pemerintah yang bisa nanggap Kiai Remeng -- seperti tahun lalu itu. Paling-paling, gulungan yang bisa dikeluarkan -- sebentar -- hanya 2 buah: cerita Joko Tarub. Itu pun setelah membakar kemenyan dan "menyerahkan uang kunci". "Tidak bisa dipotret," kata Ki Sapar, karena "untuk memotret juga harus pakai sesaji." Pada pementasan tahun lalu itu yang menjadi dalang bukan Ki Sapar atau keluarganya. Tetapi Ki Martosukardjo, 60 tahun, dari desa tetangga. Guru SD Inpres Bejihardjo ini, yang ikut melihat gulungan wayang beber itu sebelum "dipamerkan" di Kepatihan, mengusulkan agar warisan itu tidak hanya dipamerkan. Tapi juga dimainkan -- dan la merasa sanggup memainkan. Ki Sapar, konon, minta izin ke peti Kiai Remeng. Untunglah itu kiai mengizinkan. Retno Pembayun Pementasan di Gedung Kepatihan itu diiringi gamelan wayang kulit biasa -- dengan lakon Joko Tarub yang cuma 2 gulung. Kebetulan cerita itu dikenal baik oleh Martosukardjo. "Yang saya lakukan hanya menceritakan kisah Joko Tarub dengan menunjuk tokoh -tokohnya yang dilukis dalam wayang beber itu. Sampai sekarang saya tak tahu, apakah begitu cara memainkan wayang beber," katanya kepada TEMPO. Sedang seperangkat gamelan hanya berbunyi sebagai latar belakang, dan pesinden mengiringi ketika gulungan akan dibuka atau ditutup. Ada kisah samar-samar yang dicerirakan Kromosentono, adik kandung Ki Sapar. Wayang mereka itu, katanya, berasal dari Pengging. Pertama kali dipergelarkan pada saat Ki Ageng Pengging tingkepan bayi Mas Karebet alias Joko Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijoyo itu. Nah. Dari pengging, wayang itu dibawa ke Pajang, lantas Mataram. Pada zaman Mataram, terjadi pemberontakan Ki Ageng Mangir yang dapat dipadamkan oleh siasat putri Panembahan Senopati bernama Retno Pembayun yang juga istri Ki Ageng Mangir. Ki Ageng Mangir terbunuh oleh Senopati, sementara Retno yang diperistri musuh ayahnya itu telah hamil. Jika bayi yang lahir nanti laki-laki, harus dibunuh, begitu pesan Senopati. Tapi begitu sang bayi lahir -- diberi nama Joko Untung -- tanpa diperiksa laki atau perempuan langsung dibungkus tikar oleh ibunya dan diungsikan ke daerah Karangmojo, Gunung Kidul. Di suatu tempat tikar itu digelarkan, sang bayi dikeluarkan. Nah. Tempat itu diberi nama Gelaran. Lalu wayang beber itu? Wayang itu pemberian pengikut Retno, dicuri dari keraton. Maksudnya, dengan wayang beber itu, orang yang memelihara anak Retno bisa 'ngamen' untuk menghidupi si bayi. Lha, wayangnya sekarang malah tidak dipakai ngamen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus