DUKUH Gelaran Gunung Kidul, tak jauh beda dengan sekitarnya
miskin. Di pinggir jalan desa yang baru dikeraskan oleh Proyek
ABRI Masuk Desa, terdapat rumah gubuk kecil, berdinding kayu
berlantai tanah. Di rumah yang kotor dan pengap inilah tersimpan
wayang beber.
Yang "memiliki"-nya sekarang adalah keluarga Ki Sapar. Lelaki 80
tahun yang sudah tak jelas bicara dan pendengarannya ini, tak
bisa menceritakan asal usul barang itu. Ia hanya bisa
menghitung, sudah 7 turunan wayang itu ada di pihaknya.
Wayang terdiri dari 8 gulungan. Empat merupakan serial cerita
Kiai Remeng Mangunjoyo. Entah kisah apa ini, tak ada yang bisa
menceritakan. Hanya keseluruhan wayang beber itu lantas
dipanggil Kiai Remeng. Dua gulungan lagi adalah kisah Joko Tarub
dan Galuh Candra Kirana. Cerita panji ini jelas asal usulnya,
dan inilah yang dipergelarkan tahun lalu di Gedung Kepatihan
Yogya. Menurut Ki Sapar, seingatnya pergelaran itu adalah yang
kedua. Yang pertama di tahun 1932.
Yang dua gulungan lagi, sudah tidak diketahui apa ceritanya. Ki
Sapar menyebut, tak ada petunjuk mengisahkan apa. Dicari-cari
pada cerita rakyat juga tak ada.
Fungsi wayang beber itu sekarang lebih banyak sebagai tempat
"meminta sesuatu". "Minta berkah apa saja bisa tinggal membakar
kemenyan," kata Ki Sapar. Anehnya, sebelum digelarkan di
Kepatihan itu, orang-orang yang "meminta sesuatu" di rumah Ki
Sapar tak menduga kalau yang mereka puja itu wayang beber.
Mereka hanya kenal "Kiai Remeng yang dalam peti".
Untuk mengeluarkan sang kiai yang dalam peti, perlu sesaji
khusus dengan ingkung ayam segala. Biayanya puluhan ribu, bahkan
lebih. Karena itu menurut Ki Sapar, hanya pemerintah yang bisa
nanggap Kiai Remeng -- seperti tahun lalu itu.
Paling-paling, gulungan yang bisa dikeluarkan -- sebentar --
hanya 2 buah: cerita Joko Tarub. Itu pun setelah membakar
kemenyan dan "menyerahkan uang kunci". "Tidak bisa dipotret,"
kata Ki Sapar, karena "untuk memotret juga harus pakai sesaji."
Pada pementasan tahun lalu itu yang menjadi dalang bukan Ki
Sapar atau keluarganya. Tetapi Ki Martosukardjo, 60 tahun, dari
desa tetangga. Guru SD Inpres Bejihardjo ini, yang ikut melihat
gulungan wayang beber itu sebelum "dipamerkan" di Kepatihan,
mengusulkan agar warisan itu tidak hanya dipamerkan. Tapi juga
dimainkan -- dan la merasa sanggup memainkan. Ki Sapar, konon,
minta izin ke peti Kiai Remeng. Untunglah itu kiai mengizinkan.
Retno Pembayun
Pementasan di Gedung Kepatihan itu diiringi gamelan wayang kulit
biasa -- dengan lakon Joko Tarub yang cuma 2 gulung. Kebetulan
cerita itu dikenal baik oleh Martosukardjo. "Yang saya lakukan
hanya menceritakan kisah Joko Tarub dengan menunjuk tokoh
-tokohnya yang dilukis dalam wayang beber itu. Sampai sekarang
saya tak tahu, apakah begitu cara memainkan wayang beber,"
katanya kepada TEMPO. Sedang seperangkat gamelan hanya berbunyi
sebagai latar belakang, dan pesinden mengiringi ketika gulungan
akan dibuka atau ditutup.
Ada kisah samar-samar yang dicerirakan Kromosentono, adik
kandung Ki Sapar. Wayang mereka itu, katanya, berasal dari
Pengging. Pertama kali dipergelarkan pada saat Ki Ageng Pengging
tingkepan bayi Mas Karebet alias Joko Tingkir yang kemudian
bergelar Sultan Hadiwijoyo itu.
Nah. Dari pengging, wayang itu dibawa ke Pajang, lantas Mataram.
Pada zaman Mataram, terjadi pemberontakan Ki Ageng Mangir yang
dapat dipadamkan oleh siasat putri Panembahan Senopati bernama
Retno Pembayun yang juga istri Ki Ageng Mangir. Ki Ageng Mangir
terbunuh oleh Senopati, sementara Retno yang diperistri musuh
ayahnya itu telah hamil. Jika bayi yang lahir nanti laki-laki,
harus dibunuh, begitu pesan Senopati. Tapi begitu sang bayi
lahir -- diberi nama Joko Untung -- tanpa diperiksa laki atau
perempuan langsung dibungkus tikar oleh ibunya dan diungsikan ke
daerah Karangmojo, Gunung Kidul. Di suatu tempat tikar itu
digelarkan, sang bayi dikeluarkan. Nah. Tempat itu diberi nama
Gelaran.
Lalu wayang beber itu? Wayang itu pemberian pengikut Retno,
dicuri dari keraton. Maksudnya, dengan wayang beber itu, orang
yang memelihara anak Retno bisa 'ngamen' untuk menghidupi si
bayi. Lha, wayangnya sekarang malah tidak dipakai ngamen.