Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kwik Kian Gie: "Saya Bukan Malaikat yang Bisa Tahan Dimaki-maki"

Sepuluh bulan adalah masa terlampau singkat jika periode kabinet yang jadi ukuran. Kwik Kian Gie melangkah ke "Kabinet Pelangi" Gus Dur, Oktober 1999, sebagai Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin). Ia seharusnya meninggalkan kantor Menko Ekuin pada bulan yang sama, lima tahun kemudian. Tapi sepuluh bulan rupanya masa terlampau panjang sebagai menteri—jika ukuran Kwik Kian Gie yang jadi patokan. "Saya sudah ingin mundur sejak Februari lalu," ujarnya kepada TEMPO.

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jabatan menteri dan lingkaran elite birokrasi adalah kawasan baru dalam hidup Kwik Kian Gie, 65 tahun. Tapi politik adalah "dunia lama yang nikmat"—begitu ia pernah menyebutnya beberapa tahun lalu. Dan politik berarti tahun-tahun panjang yang ia lalui bersama Megawati Sukarnoputri dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)—kemudian beralih menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada 1999.

Analis, ekonom, dan bekas pengusaha ini pernah menjabat Ketua Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PDI, dan aktif dalam organisasi politik itu. Lalu, ketika PDI Perjuangan menang pemilu pada 1999, ayah tiga anak ini melangkah ke Senayan. Ia duduk di Fraksi PDI-P mewakili partainya, sebelum masuk Kabinet Pelangi sebagai Menko Ekuin. Dan birokrasi ternyata memberikan pengalaman di sebuah medan berat bagi alumni Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda ini. "Saya sudah bekerja sebaik-baiknya. Tapi jika terus dihujat dan dimaki-kami, saya sebaiknya mundur," katanya.

Profesi menteri juga mendatangkan rupa-rupa kritikan pada anak kelima dari delapan bersaudara kelahiran Juwana, Jawa Tengah ini, antara lain terlalu konservatif, tidak sudi berkompromi dengan para konglomerat pengemplang utang, serta rancu menempatkan diri antara analis dan birokrat. Sementara itu, menurut Kwik, berpikir sebagai birokrat ataupun analis tak ada bedanya selama yang jadi tujuan adalah menyelesaikan persoalan secara terbuka.

Di luar politik dan ekonomi, pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Institut Bisnis Indonesia (STIE IBI) ini juga menaruh minat mendalam pada pendidikan. Ia keluar total dari bisnis pada 1987. Alasannya, "Saya sudah punya uang untuk membiayai semua yang saya butuhkan." Dunia bisnis pula yang membuat dia punya sejumlah musuh pengusaha—karena sikapnya dinilai terlalu "konservatif" dalam urusan suap dan sogok. Setelah ia naik panggung birokrat, permusuhan lama itu rupanya tak pupus juga. Para konglomerat "hitam" terus memburunya melalui lobi-lobi khusus untuk menendangnya dari kursi jabatan.

Selepas mundur dari kabinet dua pekan lalu, ia bisa dihubungi wartawan TEMPO Iwan Setiawan dan fotografer Robin Ong dalam beberapa kesempatan untuk sebuah wawancara khusus. Berikut ini petikannya.


Dengan meninggalkan kabinet, bukankah Anda tidak dapat membantu Megawati secara langsung?

Enggak begitu. Mbak Mega bisa memahami setelah saya jelaskan duduk soalnya. Dalam pidatonya, Gus Dur bilang akan me-reshuffle kabinet. Dengan sendirinya terjadi kabinet demisioner. Pengunduran diri saya justru menegaskan dukungan pribadi kepada beliau. Ia bisa menggunakan hak prerogatifnya menyusun kabinet dengan leluasa. Toh, jika nanti diminta kembali untuk membantu Gus Dur, saya bersedia.

Betulkah Anda sudah lama ingin mundur?

Bermula sejak Februari lalu. Waktu itu, pernah Gus Dur bilang ada empat menteri yang perlu diganti karena dianggap berengsek, yaitu saya, Laksamana Sukardi, Jusuf Kalla, dan Bambang Sudibyo. Menurut Gus Dur, ide itu berasal dari Lee Kuan Yew yang disampaikan lewat Alwi Shihab. Belakangan ada yang memberi tahu saya, Lee ternyata tak pernah menyampaikan pendapat seperti itu. Jadi, dari mana Alwi mendapatkan info empat menteri itu harus dipecat dari kabinet? Lantas, pada 29 Februari lalu, saya, Laksamana, dan Menteri Bambang dipanggil ke Istana bersama Mbak Mega, dan para sekretaris presiden seperti Marsillam Simanjuntak dan Bondan Gunawan (kini tidak lagi di kabinet).

Apa isi pembicaraan saat itu?

Di depan Gus Dur saat itu saya jelaskan bahwa jika ada masukan seperti itu, ada dua persoalan yang berbeda. Pertama adalah hubungan antara Presiden dan para menteri yang menjadi pembantunya. Jika Presiden memang sudah tidak percaya lagi pada pembantunya, sebaiknya bubarkan saja kabinetnya. Gus Dur bisa mengangkat orang yang dipercaya untuk membantunya. Kedua, substansi persoalan itu sendiri. Apakah benar keempat menteri itu berengsek? Saya katakan tidak benar. Sebab, keempat menteri di tim ekonomi ini telah bekerja keras dan mampu bekerja sama dengan baik, kompak sekali. Jadi, apa buktinya bahwa keempat menteri itu berengsek?

Dan apa jawab Gus Dur?

Gus Dur cuma bilang, "Ah, rapatnya sudah terlalu lama, sudah hampir jam setengah dua belas, sehingga omongan sudah ke mana-mana. Ya sudah, rapatnya disudahin saja." Setelah itu rapat ditutup, tanpa ada keputusan apa pun. Sekitar bulan Maret, setelah saya timbang-timbang, saya ingin mundur. Sebab, jika memang sudah tidak dipercaya, lebih baik saya mundur. Toh, saya bisa membantu pemerintah di DPR. Tetapi Mbak Mega tidak setuju dan marah besar. Dia bilang menjadi menteri itu penugasan dari partai. Ya sudah. Maka, baru sekarang ini saya mundur. Karena Gus Dur menyatakan bahwa ia akan me-reshuffle kabinet, jadi ini saat yang tepat (untuk mundur).

Lalu, siapa yang akan menggantikan Anda? Apakah Dorodjatun Kuntjoro-Jakti atau….

Dorodjatun-nya yang tidak mau. Syarat dia banyak.

Siapa yang menurut Anda layak diajukan untuk membentuk tim ekonomi yang kompak?

Tergantung apa yang diartikan dengan kompak. Kalau menteri-menteri ekonomi bisa berkumpul makan siang, weekend bareng dan berenang bersama di hari Minggu, apakah itu yang disebut kompak?

Bisa saja. Tapi kompak dalam konteks ini adalah bahu-membahu mengatasi krisis.

Saya sependapat. Tapi salah satu "mafia Berkeley" pernah mengajarkan saya bahwa arti kompak itu kalau suami-istri-anak (keluarga menteri-menteri ekonomi) bisa kumpul dua-tiga kali seminggu. Mereka boleh saja orang pandai dan profesor. Tapi sampai njengking-njengking, saya tidak mengerti logika mereka (tentang arti kekompakan itu). Tapi pendapat mereka yang tak bisa dimengerti inilah yang dominan di koran dan memantul hingga ke luar negeri sampai kita rusak semua.

Seperti apa Anda mengartikan kekompakan tim dalam mengatasi krisis?

Dengan bekerja sama! Dan kalau bekerja, ada agendanya, ada notulennya, ada keputusannya.

Apakah Anda cukup independen sebagai Menko Ekuin? Atau sering ada intervensi dari pihak lain?

Soal intervensi? Jawabannya, tidak! Sama sekali tidak ada. Sebagai

policy maker, saya tidak mau bertemu pengusaha.

Mengapa?

Karena tidak ada gunanya pengusaha bertemu dengan saya. Saya selalu mengibaratkan, pengusaha ibarat orang yang mau mengurus SIM (surat izin mengemudi). Ia harus ke Polda, mengambil formulir, dan menjalani prosedurnya—bukan bertemu Kapolri.

Benarkah James Riady paling sering berusaha menemui Anda?

Semua berusaha. Dengan James, saya pernah makan siang satu kali. Itu suatu tanda hubungan persahabatan karena kami saling kenal dari dulu sebelum saya jadi menteri

Apakah Presiden Abdurrahman Wahid kerap mengintervensi pekerjaan Anda?

Tidak sama sekali.

Anda yakin? Bukankah Presiden membentuk tim asistensi untuk memonitor pekerjaan Menko Ekuin?

Bukan tim asistensi. Nama sebenarnya Tim Pemulihan Ekonomi. Tapi di masyarakat populer dengan nama Tim Monitoring terhadap Tim (menteri-menteri) Ekonomi. Sebetulnya tidak ada wujudnya, kecuali setiap Senin jam empat mereka mengadakah rapat dengan menteri-menteri yang ada kaitannya dengan ekonomi. Untuk saya, itu tidak ada apa-apanya.

Apa yang Anda maksud dengan tidak ada apa-apanya?

Keberadaan tim asistensi yang ditempelkan pada saya itu mengada-ada. Tetapi saya tidak keberatan. Namanya juga tim asistensi. Tugasnya, ya, menjadi asisten saya. Jika saya tidak ingin memakai mereka, tidak apa-apa, kan? Nyatanya, saya memang tidak pernah memakai mereka sekali pun. Sebab, enggak ada gunanya, ha-ha-ha….

Presiden juga membentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dan Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN) untuk memberi masukan ekonomi kepadanya. Apakah dewan-dewan ini membantu pekerjaan Anda sebagai Menko Ekuin?

Sebelum Gus Dur membentuk dewan-dewan itu—DEN, DPUN, atau entah apa—sudah saya katakan kepadanya dewan-dewan itu tidak perlu dibuat. Sebab, tugas dewan-dewan ini memberikan second opinion (tentang ekonomi) kepada presiden. Para pendiri republik ini juga telah memikirkan hal itu jauh-jauh hari. Maka, dibuatlah Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Jika kemudian DPA dianggap tidak mampu, mengapa Gus Dur tidak membenahi saja bagian ekonomi DPA?

Maksud Anda ketimbang membentuk DEN, begitu?

Ya. Mengapa mesti dibentuk DEN, atau DPUN? Fungsi DPUN itu kan sama dengan Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Jika Kadin-nya dianggap tidak berperan, jangan lantas Gus Dur bikin organisasi baru. Kadin-nya, dong, yang dibenahi. Logikanya begitu.

Seringkah Anda berhubungan dengan DEN?

Selama sepuluh bulan ini, saya cuma dua kali ketemu DEN. Tugas mereka kan memberi masukan kepada presiden. Jadi, saya merasa perlu membatasi diri dan tidak banyak berkomunikasi.

Mengapa begitu?

Karena secara kelembagaan saya sudah berpikir lain dengan Gus Dur sejak awal. Saya tidak merasa kehadiran DEN merecoki saya. Tapi, saya hanya ingin masing-masing pihak melakukan tugasnya dengan baik. Tugas DEN adalah memberi masukan kepada presiden, bukan kepada saya.

Sebagai pihak yang sama-sama membantu Presiden, mengapa Anda tidak lebih sering saling berdiskusi?

Saya tidak merasa perlu sering kali berdiskusi dengan DEN karena toh tidak ada sedikit pun yang bisa saya pelajari dari mereka.

Siapa yang memberi ide membentuk lembaga-lembaga ini?

Setahu saya, ide pembentukan DEN sudah lama dibicarakan Gus Dur. Alasannya, hanya Gus Dur yang tahu persis. Tetapi tidak tertutup kemungkinan ada lobi dari Emil Salim dan kelompoknya. Ketika itu saya katakan kepada Gus Dur, fungsi DEN sebenarnya cukup dengan DPA, tapi Gus Dur tetap membentuk DEN.

Lalu, DPUN?

Di awal pemerintahannya, Gus Dur tidak pernah menyinggung pembentukan DPUN. Besar kemungkinan, ide DPUN berasal dari Sofjan Wanandi pribadi. Dari kalangan dekat Istana, saya mendapat info, ketika itu Sofjan memang rajin sekali mendatangi Gus Dur. Padahal fungsi DPUN itu sudah cukup diisi Kadin.

Jadi, apa saran Anda?

Dewan-dewan ini sebaiknya dibubarkan saja. DPA-nya yang harus diberdayakan.

Kembali ke soal Menko Ekuin. Ada pendapat yang menyebut tim ekonomi yang Anda pimpin tidak kompak. Apa komentar Anda?

Dari dulu banyak pengamat yang selalu ramai mengatakan tim ekonomi saya tidak kompak. Padahal, sejak awal kabinet, kami berempat (menko, Menperindag, Menteri Pendayagunaan BUMN, dan Menteri Keuangan) selalu kompak dan bisa bekerja sama dengan baik. Tetapi yang dikampanyekan di media massa justru sebaliknya. Misalnya, saya dan Laks (Laksamana Sukardi) dibilang tidak kompak. Ini sama sekali tidak masuk akal, tidak fair.

Pendapat itu bisa jadi bukan tanpa alasan. Waktu Laksamana dipecat Presiden, Anda juga tidak banyak berkomentar.

Selama bertahun-tahun saya mengenal dan bekerja sama dengan Pak Laks. Kami berasal dari partai yang sama. Masa, dikesankan kita enggak cocok satu sama lain. Itu omong kosong.

Menurut Anda, dari mana kesan ini bersumber?

Maaf, tapi ini berasal dari kebodohan dan ketololan para pengamat. Dan pendapat mereka itu bergema ke seluruh dunia. Dubes-dubes negara asing itu juga percaya pada informasi ini sehingga terjadi distorsi edan-edanan antara apa yang sebenarnya terjadi dan berita media massa. Hal itu benar-benar membuat saya bingung. Kami berempat bisa bekerja sama dan terbuka satu sama lain.

Di mana kunci kerja sama itu?

Platform. Sejauh dasar pijakannya sama, tim ekuin mana pun akan kompak dan mampu bekerja sama.

Pekerjaan rumah apa yang harus disegerakan pengganti Anda?

Intinya, para pengusaha swasta harus diberi kebebasan berusaha sebebas-bebasnya, walaupun kebebasan mereka itu juga dibatasi agar tidak merugikan orang lain.

Persisnya bagaimana?

Hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Antimonopoli. Ini yang paling penting untuk segera dijalankan oleh pemerintah.

Bagaimana dengan penanganan utang swasta yang puluhan triliun itu?

Mengikutsertakan DPR dalam Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) itu sudah benar. Pemerintah bukannya ingin cuci tangan. Jika anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bakal dibebani dua atau tiga triliun rupiah (gara-gara utang swasta), hal itu tidak benar dong. Itu kan hak bujet anggota dewan.

Mengapa merasa perlu menyertakan DPR dalam urusan MSAA?

Bagaimana jika gara-gara MSAA, APBN dibebani sekitar Rp 250 triliun? Memang, Holdiko Perkasa kepunyaan Anthony Salim merugikan negara hinga Rp 31 triliun. Jika utang empat kelompok pengusaha (Salim, Bob Hasan, Sjamsul Nursalim, Sudwikatmono) yang menandatangani MSAA dihitung semua, negara bakal dirugikan sekitar Rp 80 triliun. Dan jika semua kredit macet pengusaha dihitung, potensi kerugiannya sekitar Rp 250 triliun. Urusan begini penting dan bakal merugikan negara, kok saya tidak boleh membicarakannya dengan rakyat (DPR)?

Prioritas apa lagi yang harus segera dibenahi tim ekonomi baru nanti?

Membereskan perbankan kita yang sudah rusak berat itu sampai tuntas. Perbaikan perbankan ada kaitannya dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Ada aset begitu besar di BPPN yang harus diuangkan. Pasti ada ruginya, tapi kerugian yang minimal, dong. Sebelum itu, ada satu pekerjaan besar yang harus segera dibereskan: membenahi organisasi BPPN yang sudah kacau-balau tidak keruan. Ini semua PR yang akan dihadapi tim ekonomi baru nanti.

Kembali ke soal pengunduran diri Anda, kami mendapat informasi Anda mundur karena sakit hati. Apa betul?

Buat apa sakit hati? Apa dipikir jadi menko itu enak? Tanggung jawabnya besar, kerjaannya luar biasa banyak. Saya hampir enggak punya waktu mengurusi diri sendiri. Enggak tahu jika motivasinya lain. Enggak tahu kalau alasan menjabat ini karena ingin jadi kaya, ha-ha-ha.

Atau Anda menyesal, barangkali?

Saya tidak memburu uang dari jabatan menteri. Tidak juga nama atau apa pun lah. Tetapi, jika saya sudah bekerja mati-matian yang didapat cuma capek, terus saya dihantam terus-menerus dan dihujat, ya lebih baik saya enggak usah jadi menteri saja. Saya bukan malaikat yang bisa tahan dimaki-maki dan dihujat setelah bekerja sebaik-baiknya.

Benarkah para pengusaha "hitam" datang ke Presiden untuk memecat Anda?

Konglomerat "hitam" melobi Gus Dur itu benar. Mereka berusaha mendekati Presiden dengan segala cara. Tetapi apakah akibat lobi itu lantas Gus Dur ingin memecat saya, itu saya tidak tahu persis.

Anda banyak dikritik tak dapat berkompromi dengan para konglomerat "hitam"?

Memang tidak! Tidak bisa dan tidak akan bisa! La, wong mereka itu melakukan kejahatan, perbuatan kriminal. Mereka itu penjahat. Jadi, urusannya harus dengan polisi, bukan dengan saya. Mereka yang selama ini berada di balik kampanye yang selalu menyerang saya. Gus Dur sendiri pada suatu kesempatan pernah mengakui hal ini kepada saya bahwa banyak tekanan dari konglomerat itu kepada saya (Kwik Kian Gie) selaku menko.

Siapa saja konglomerat yang menyerang Anda itu?

Sofjan Wanandi, Sjamsul Nursalim, Prayogo Pangestu, dan kawan-kawanya itulah.

Buktinya apa?

Suatu ketika mereka menyebarkan dokumen soal kepemilikan saham saya atas panti pijat kepada pers. Setelah itu saya digebuki dengan cara didemo setiap hari oleh sekitar delapan kelompok Islam (soal panti pijat itu). Akhirnya, saya menemui delapan kelompok yang mendemo tadi, dan saya jelaskan duduk permasalahannya. Salah seorang pemimpinnya terharu dan minta maaf. Ia mengaku mereka mendemo saya atas pesanan Sofjan Wanandi. Per orangnya dibayar Rp 25.000 per hari untuk berdemo. Masih ada rekaman pengakuan orang tersebut, disimpan oleh humas saya. (Selepas pengunduran diri Kwik, ketika dihubungi TEMPO, Sofyan mengaku bahwa Ia tidak punya andil apapun dalam pengunduran diri Kwik. Katanya,"Saya tak tahu apa-apa soal pengunduran dirinya itu. Saya baru tahu dari media massa kok." Sofyan juga membantah pendapat bahwa dirinya adalah "musuh" Kwik, Ia mengaku secara pribadi tak punya masalah dengan Kwik. red)

Apa yang akan Anda lakukan jika tidak lagi masuk kabinet?

Saya akan kembali ke partai saya di DPR. Tapi, sebagai kawan Gus Dur, saya selalu siap dipanggil dan diajak bicara dan membantunya setiap saat.

Membantu dengan cara apa?

Dengan pengetahuan yang saya punya. Saya akan menulis lagi, dengan duduk di DPR, dan menjadi analis. Dengan menulis analisis, saya bisa membantu mendudukkan persoalan secara jelas problemnya di sini, cara penyelesaiannya menurut saya begini.

Omong-omong, mengapa Anda memberi pernyataan yang dianggap menjelekkan Indonesia saat berada di luar negeri, seperti dalam salah satu wawancara Anda dengan The Washington Post?

Saya tidak menjelek-jelekkan Indonesia. Saat itu saya memang diwawancarai oleh pers asing mengenai kondisi di Indonesia jika ada investor asing yang ingin berinvestasi. Sebenarnya para jurnalis itu berharap saya mengatakan sesuatu yang sifatnya mengharapkan bantuan Amerika atau mengemis-ngemis bantuan. Tetapi saya tidak mau. Saya katakan kepada mereka bahwa tidak hanya orang bule yang bisa jujur, masih ada pejabat Indonesia yang bisa jujur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus