TEMPO.CO, Jakarta - Dari hasil otopsi terhadap dua korban tewas dalam pembubaran massa di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, terungkap bahwa korban ditembak dari jarak dekat. Juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, mengatakan kedua korban tertembak di bagian pinggang kanan tembus hingga ke dada kiri.
”Tidak ada peluru yang bersarang di dalam tubuh. Artinya, peluru lewat, tembus,” ujar dia di kantornya, Selasa, 27 Desember 2011. Kedua mayat korban ditemukan sekitar 600 meter di luar area pelabuhan Sape.
Aksi warga menolak izin operasional pertambangan milik PT Sumber Mineral Nusantara dengan memblokade Pelabuhan Sape pada Sabtu lalu berakhir rusuh. Polisi membubarkan paksa para warga yang menduduki dermaga penyeberangan Sape. Setidaknya—versi polisi—dua warga warga tewas tertembak dan puluhan lainnya luka-luka.
Saud belum bisa memastikan ada-tidaknya prosedur yang dilanggar dalam pembubaran massa tersebut. Alasannya, polisi masih menyelidiki penyebab kematian korban dengan melakukan pemeriksaan silang terhadap aparat yang bertugas di daerah ditemukannya mayat tersebut.
Dia menjelaskan, tim pengawas internal Mabes Polri telah memeriksa personel polisi yang bertugas di sana. Menurut dia, anggota Brimob yang bertugas di sana 20 orang, yakni dari Sabhara 18 orang dan dua orang perwira lapangan. “Tim pengawas internal menggunakan rekaman video sebagai petunjuk pemeriksaan,” ujarnya. Dalam video itu, kata dia, akan terlihat siapa saja yang memukul dan menendang massa.
Selain itu, dia melanjutkan, sembilan pucuk senjata yang digunakan untuk membubarkan massa telah dikirim ke laboratorium forensik untuk diperiksa. Namun, Saud mengatakan belum mendapatkan hasil pemeriksaan tersebut. Kendati begitu, dia memastikan pemeriksaan dilakukan secara profesional dan transparan. ”Kami siap diaudit. Terhadap anggota yang bersalah, kami akan menindak tegas.”
Sejumlah kalangan menilai, tindakan polisi di Bima tidak sesuai dengan tugasnya sebagai polisi sipil. Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menilai polisi seharusnya mengutamakan dialog atau imbauan. ”Tidak malah menggunakan tindakan militer,” ujarnya kemarin.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane. Menurut dia, dalam prosedur operasi standar pengendalian aksi massa, harus ada tahapan. Misalnya penggunaan pasukan tameng, gas air mata, water cannon, peluru hampa, dan peluru karet. "Tapi mengendalikan massa di Sape tidak digunakan gas air mata dan water cannon,” kata Neta.
Karena itu, mereka mendesak Markas Besar Polri mencopot Kepala Polda Nusa Tenggara Barat dan Kepala Polres Bima. Pencopotan keduanya dianggap dapat meredam situasi seusai bentrokan tersebut. Bambang mengatakan, situasi akan membaik jika kedua pejabat itu dicopot. ”Masyarakat kini membutuhkan figur polisi yang lebih mementingkan dialog,” katanya.
Adapun Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar mengatakan Kepala Polda Nusa Tenggara Barat tak akan dicopot. Begitu pula Kepala Polres Bima. Menurut Boy, yang ada justru penguatan kedua kepolisian tersebut. ''Ada langkah-langkah penguatan terhadap Polres Bima dan Polda NTB,'' katanya.
INDRA W | ARYANI K | TRI S | NUR A | SUKMA
Berita terkait:
Empat Tersangka Ricuh Bima di Bawah Umur
Polisi Diduga Tembak Warga yang Sudah Menyerah
Walhi: Korban Bentrok di Bima 5 Orang Tewas
Di Bima, Polisi Hamburkan Peluru Tajam
Insiden Mesuji-Bima, Komnas HAM Bentuk Tim Agraria