TEMPO.CO, Jakarta - Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karya besarnya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005), mengisahkan Cirebon muncul dalam arus utama sejarah Nusantara baru sejak masuknya Islam yang dibawa pedagang pribumi.
Di masa kejayaan Hindu, Cirebon kurang penting. Cirebon masuk peta sejarah, tak lepas dari kisah dan peranan Sunan Gunung Jati. Jejak-jejak wali penyebar Islam itulah yang kini menjadi tujuan ziarah ribuan wisatawan.
Di antaranya empat bangunan keraton di Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Keprabon, yang semuanya keturunan Sunan Gunung Jati. Sepeninggal Sunan Gunung Jati, pada 1677, Kesultanan Cirebon pecah menjadi tiga pemangku adat, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan, yang masing-masing membawahi wilayah sendiri-sendiri, yakni Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Perguron Keprabon. Belakangan, Keraton Kanoman pecah dan memunculkan keraton baru, yakni Kacirebonan.
Keraton Kasepuhan dan Kanoman
Memiliki arsitektur perpaduan Sunda, Jawa, Islam, Cina, dan Belanda, Keraton Kasepuhan merupakan istana tertua di Cirebon. Ksepuhan ini didirikan pada 1529 oleh Pangeran Mas Mohammad Arifin II, cicit Sunan Gunung Jati.
Ada banyak bangsal yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri di kompleks istana. Di antaranya bangsal Prabayaksa, dindingnya dibangun dari keramik Dinasti Ming 1424, Cina, dan keramik Delf Blue, dari Delf, Belanda, 1745.
Relief Delf Blue menceritakan perkelahian Habil dan Qobil keturunan Adam, cerita dari perjanjian lama Bibel, dan kisah percintaan Nabi Harun dan Siti Zulaikah. “Hadirnya keramik-keramik Cina dan Belanda menunjukkan semangat multikulturalisme dari keraton Cirebon sejak awal dibangun. Ini kerajaan Islam yang menghormati dan mengakui agama dan kebudayaan lain,” ujar Muhammad Maskun, lurah Keraton Kasepuhan, kepada Tempo.
Museum Keraton Kasepuhan menyimpan aneka koleksi bernilai tinggi seperti wayang golek, topeng, keris, meriam, mebel, dan berbagai macam senjata api, pedang samurai, dan perlengkapan perang hasil pampasan armada perang Portugis abad ke-15. Di museum juga tersimpan Kereta Singa Barong, yang telah berusia 500 tahun, dan Tandu Garuda Mina yang dianggap suci dan keramat.
Sedangkan Keraton Kanoman didirikan pada 1588 oleh Sultan Kanoman I atau Sultan Badridin. Museum keraton ini menyimpan banyak peninggalan Sunan Gunung Jati, di antaranya kereta Paksi Naga Liman dan Paksi Jempana, yang dulu dipakai langsung Sunan Gunung Jati, dan masih terawat baik hingga kini.
Aktivitas wisata di kedua keraton ini tak lepas dari wisata peziarahan. Banyak pengunjung bersemedi dan membakar kemenyan di bawah kereta Singa Barong dan Tandu Garuda Mina di Keraton Kasepuhan, atau tirakatan di bawah kereta Paksi Naga Liman dan Jempana di Keraton Kanoman. “Kadang ada yang bertapa sampai beberapa hari,” ujar Maskun.
Mauludan, atau peringatan hari lahir Nabi Muhammad pada tanggal 12 bulan Maulud dalam kalender Jawa, merupakan puncak wisata peziarahan di kedua kompleks keraton ini. Pada perayaan Mauludan, dilakukan prosesi jamasan atau penyucian benda-benda pusaka kerajaan, dan aneka sesaji digelar di Bangsal Agung Panembahan. Ribuan peziarah datang membaca Al-Quran, berdoa, dan pada puncak perayaan berebut nasi tumpeng Gerebeg Maulud di alun-alun keraton.
Perayaan yang sama juga digelar pada kesempatan Gerebeg Syawal di Hari Raya Idul Fitri dan Gerebeg Idul Adha. Prosesi yang sama juga dilaksanakan di keraton Kanoman. (Baca selanjutnya: Doa, Dupa, Peziarahan Cirebon Bagian 4)
WAHYUANA| IVANSYAH
Berita lain:
Doa, Dupa, dan Peziarahan Cirebon (Bagian 1)
Doa, Dupa, dan Peziarahan Cirebon (Bagian 2)
Lomba Penulisan Ekspedisi Takabonerate Digelar
Yogya Gelar Blusukan Pasar
Batu Flower Festival 2012 Berlangsung Meriah
Deoksugung, Si Mungil Istana di Seoul