TEMPO.CO, Jakarta - Ingatan Manai berpaling 40 tahun ke belakang. Saat itu Manai, pemuda asal Sulawesi berusia 18 tahun ini, menginjakkan kaki di dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa di tanah Ibu Kota.
Bekerja serabutan di area pelabuhan, Manai lalu terdampar di sebuah bantaran yang kini bernama Waduk Pluit. Rumahnya kini seluas 30 meter persegi, dua lantai. Alamat yang tercantum: Jalan Muara Baru Ujung, RT 20 RW 17, Gedung Kompa, Penjaringan.
“Dulu lahan ini kosong dan dimanfaatkan untuk menumpuk barang bekas,” katanya ketika ditemui Tempo, Selasa 21 Mei 2013. “Kami dibiarkan saja membangun rumah. Tidak ada yang melarang.” Manai menjadi “penduduk” Waduk Pluit sejak 1980-an.
Titin Agustinah, 49 tahun, datang bermukim pada 1998, atau jauh setelah Waduk Pluit sudah berwujud sebagai kantong air terbesar di Jakarta. Waduk itu rampung dibangun sebagai bagian dari sistem pengendalian banjir di Jakarta Utara pada 1981.
Meski berasal dari generasi berbeda, keduanya sama-sama mengaku mengantongi sertifikat izin mendirikan bangunan rumah serta bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. “Waktu bangun rumah ini, tidak ada peringatan apa-apa,” kata Titin di muka rumahnya yang seluas 12 meter persegi.
Manai dan Titin adalah dua dari sekitar 17 ribu keluarga yang menduduki sebelah timur bantaran Waduk Pluit. Mereka pada gilirannya juga akan direlokasi setelah urusan pemerintah DKI kelar dengan penduduk di bantaran yang sama di sisi barat yang saat ini sedang berjalan.
Pemerintah DKI Jakarta berencana memindahkan mereka ke rumah susun karena waduk akan dinormalkan ke luas dan kedalaman awal, yakni 80 hektare dan 10 meter. Keberadaan para pemukim itu menyebabkan luas waduk menciut 25 persen dan menyumbang pada pendangkalan yang terjadi. Akibatnya, bencana banjir besar terjadi Januari lalu.
Di kelas yang berbeda, ada pula Teddy Budiman, 50 tahun, pengusaha alat berat yang bermukim di sisi barat bantaran Waduk Pluit, tepatnya di Kampung Kebon Tebu, Penjaringan. Dia menguasai lahan seluas 8.000 meter persegi hingga pemerintah DKI membongkarnya Senin lalu. Ada empat lahan usaha seluas total hampir 3 hektare yang dibongkar pada hari itu. (Baca: Hari Ini Bangunan Sisi Barat Waduk Pluit Dibongkar)
Teddy mengaku menjalankan bisnisnya di tanah negara itu sejak 2001. Tidak ada sertifikat tanah ataupun bangunan yang dimilikinya. “Hanya memegang kuitansi pembayaran dari pemilik awal lahan tersebut,” kata dia ketika ditemui Tempo di lokasi reruntuhan bangunannya, Selasa 21 Mei 2013.
Budiyanto mengaku sebagai pemilik lahan sebelum ditempati Teddy. Dia penggarap lahan, dan mengklaim mengantongi sertifikat PBB dan verponding (hak milik di masa kolonial). "Jadi, dulu enggak ada yang namanya perjanjian bangun bangunan semi-permanen atau permanen. Teddy bilang ke saya untuk nempati alat berat saja," ujarnya sambil menambahkan, ia menerima uang Rp 25 juta dari Teddy.
Budi menyatakan telah menemui Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, menyusul rencana normalisasi Waduk Pluit. Dia mengaku tengah dicarikan solusi.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama sebelumnya menyatakan kisruh sewa-menyewa tanah di Waduk Pluit sudah berlangsung selama puluhan tahun. Saat tanah sudah tak tersedia, kata dia, ada oknum yang mengakali dengan cara menimbun sampah di waduk sehingga padat dan bisa menjadi fondasi rumah semi permanen. “Jadi, sebenarnya kami cuci piring masalah yang terjadi sejak 30 tahun lalu.” (Baca: Ahok: Relokasi Warga Waduk Pluit Dua Tahun Lagi)
ATMI PERTIWI | ISTMAN MP | NURHASIM
Topik terhangat:
PKS Vs KPK | Vitalia Sesha | Ahmad Fathanah | Perbudakan Buruh
Baca juga:
EDSUS Cinta Fathanah
Ini Pengakuan Gadis Bercadar Pemotong 'Burung'
Kronologi Pemotongan 'Burung' oleh Gadis Bercadar
Gadis Bercadar Potong 'Burung' dengan Cutter
Tiga Pelajar SMP Gagalkan Pemerkosaan oleh Tukang Ojek