TEMPO.CO, Jakarta - Masalah lingkungan saat ini menjadi sorotan global. Efek perubahan iklim makin terasa dengan banyaknya anomali cuaca dan bencana alam. Namun penanganan masalah lingkungan terhambat oleh perbedaan persepsi dari negara maju dan negara berkembang.
Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia, dinilai terlalu mendominasi isu penanganan perubahan iklim dan menekan negara berkembang.
Penurunan emisi gas rumah kaca adalah kunci penting dalam menangani perubahan iklim. Negara-negara maju terus meminta negara berkembang untuk tidak mengeksploitasi sumber daya alam yang berpotensi memperbesar emisi gas rumah kaca. Namun, di sisi lain, negara-negara maju itu tampak enggan memperbaiki laju industrinya yang justru menjadi penyumbang emisi terbesar.
Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim Rachmat Witoelar, dalam seminar nasional tentang strategi Indonesia dalam mengatasi dampak sosial perubahan iklim yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan penanganan isu perubahan iklim memang sangat dipengaruhi kebijakan politis. (Baca juga: Perubahan Iklim, Ini Cara Terbaik Memantaunya)
"Kita diminta tidak eksploitasi sumber daya alam. Kalau begitu caranya, harusnya mereka juga tutup industrinya karena dari sanalah emisi berasal," kata Rachmat, Kamis, 12 Desember 2013.
Namun Rachmat mengatakan ada juga negara-negara maju yang menaruh perhatian besar terhadap perbaikan lingkungan. "Jangan samakan semuanya. Negara-negara di Eropa itu rata-rata cinta lingkungan, jadi oke-oke saja bagi kita," ujarnya. "Denmark bahkan buat proyeksi emisi 2050 jadi nol, itu luar biasa."
Yang masih menjadi ganjalan adalah negara maju yang sulit bekerja sama dalam penanganan perubahan iklim. Mereka antara lain Amerika Serikat, Australia, dan Jepang. "Mereka mau maju, tapi berat buat bantu usaha perbaikan," kata Rachmat.
Jan Sopaheluwakan, anggota dewan penasihat International Center for Interdisciplinary and Advanced Research (ICIAR) LIPI, mengatakan negara-negara maju memang terlihat mendominasi. "Negara kaya yang mengkonsumsi, negara miskin dan berkembang yang menanggung ongkosnya," ujarnya.
Menurut Jan, dalam penanganan perubahan iklim digunakan cara mitigasi dan adaptasi. Mitigasi merupakan kebijakan pemerintah, dan adaptasi adalah upaya langsung masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim. "Banyak yang tidak peduli dengan adaptasi karena ini berhubungan dengan jual-beli dan transfer teknologi," kata Jan.
Mitigasi berupa penurunan emisi gas rumah kaca lebih sering dibicarakan dalam forum internasional. "Awalnya bicara soal emisi, lalu geser ke perdagangan karbon. Ini jadi missleading, yang nikmati justru mereka lagi dari negara maju," kata Jan.
Ia berharap Indonesia tidak terjebak dengan skema green economy atau bantuan untuk memperbaiki iklim. "Boleh saja terima, ambil ilmu dan jaringannya, tapi jangan terjebak," kata Jan. "Ini tergantung kecerdasan pemerintah saja," katanya.
Menurut Rachmat, Indonesia berkomitmen menekan emisi gas rumah kaca hingga 26 persen pada 2020. Dengan menurunkan emisi gas rumah kaca, Indonesia berperan aktif dalam menangani perubahan iklim dan memperkecil risiko kerugian akibat bencana.
"Sekitar 90 persen bencana dunia sejak awal abad 19 terkait perubahan iklim. Kalau tidak ikut memperbaiki, Indonesia bisa rugi besar hingga 2,5 persen dari pendapatan global pada 2100," katanya.
GABRIEL TITIYOGA
Berita Terkait
Negara Berkembang Desak Negara Maju Kurangi Emisi
Anak-anak Dunia Tuntut Perekonomian yang Ramah Lingkungan
Konferensi Tunza Lahirkan Deklarasi Bandung
Korea Selatan Minta Dukungan Menjadi Ketua UNFC
Konferensi Pemuda Sedunia untuk Perubahan Iklim Dibuka Besok