TEMPO.CO , Jakarta - Kontribusi positif pelaksanaan pemilihan umum terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini diragukan. Kepala Riset Union Bank of Switzerland (UBS), Joshua Tanja memperkirakan produk domestik bruto tahun ini hanya tumbuh 5,2 persen dibandingkan realisasi di 2013 yang tumbuh 5,78 persen. Perlambatan itu karena kenaikan angka ekspor belum pulih benar seiring angka deposito yang belum membaik.
“Khawatirnya pertumbuhan kredit tahun ini di bawah target Bank Indonesia 15 persen. Sebab depositonya terus menurun,” katanya di Jakarta, 25 Februari 2014. (Baca juga : Peredaran Uang di Pemilu Bertambah Rp 100 Triliun)
Proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen adalah sangat pesimistis dibandingkan target pemerintah sebesar 6 persen. Menurut Joshua, dampak positif pemilu terhadap ekonomi tahun ini akan terlihat setelah pemerintahan baru terbentuk pada Oktober. Pola ini lebih mirip pelaksanaan pemilu 2004 ketimbang 2009. Sebab pada pemilu 2009, presiden yang terpilih adalah sama seperti di 2004. (Lihat juga : Jokowi Capres Idaman Investor Asing?)
Joshua menjelaskan meski tren nilai ekspor saat ini membaik namun defisit transaksi berjalan juga naik. Dia memperkirakan angka ekspor akan turun seiring pemberlakuan Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara mulai Januari 2014 lalu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor mineral mentah pada 2013 sebesar US$ 6,54 miliar.
Menurut Joshua, investor saat ini wait and see menanamkan modalnya. Berdasarkan catatan UBS, dana asing yang masuk di ekuitas saat ini sebesar US$ 700 juta. Meskipun Indonesia dinilai sudah berhasil keluar dari kelompok lima negara rentan (fragile five), namun ekonomi nasional masih akan rentan. “Saat ini market kan naik, saya khawatir pergerakannya belum konsiten dan masuk fragile five lagi,” jelasnya. (Berita lain : Pemilu Sukses, Pertumbuhan Ekonomi Melejit)
Dia menambahkan isu utama yang harus diperhatikan adalah soal pertumbuhan nilai deposito dan keseriusan pemerintah dalam mereformasi perekonomian. Joshua menilai tahun ini realisasi APBN akan sangat konservatif. Sebab pemerintah sedang mengelola permintaan agar angka defisit transaksi berjalan menurun. “Saya kira current account deficit masih 2,3-2,8 persen,” katanya.
FAIZ NASHRILLAH
Terpopuler :
Dave Morin Buka Peluang Investasi di Path
Harga Apel Malang Rontok Diserbu Apel Impor
OJK dan BRI Luncurkan Simolek
Wamenkeu: Utang Swasta Perlu Diawasi
Kelud Meletus, Petani Rugi Rp 140 Miliar