Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Kesadaran Media terhadap Krisis Air Masih Kurang  

Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) Mustakim mengatakan kesadaran media terhadap krisis air masih kurang.

23 November 2015 | 12.11 WIB

sxc.hu
Perbesar
sxc.hu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Meskipun air adalah sumber daya alam yang sangat penting dan berkorelasi langsung dengan kehidupan manusia, tapi perhatian masyarakat terhadap pelestarian air masih kurang. Bahkan media juga masih menganggap isu air sebagai isu yang kurang penting. “Memang isu lingkungan bukan isu yang dianggap seksi. Ini semacam otokritik untuk kita,” ujar Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) Mustakim dalam acara diskusi Memajukan Hak Rakyat atas Air untuk Pembangunan Berkelanjutan di Plaza Festival, Jakarta, Ahad, 22 November 2015.

Mustakim mengatakan media saat ini hanya melihat isu lingkungan, jika dampaknya sudah meluas, semisal banjir, kekeringan, atau pencemaran air secara masif. Padahal, kata dia, krisis air jika tidak dikawal sejak dini akan membuat masalah yang lebih besar. Pasalnya, air adalah kebutuhan dasar semua makhluk hidup.

Menurut Mustakim, yang juga merupakan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, edukasi untuk jurnalis terkait dengan isu air penting. Sebab, katanya, banyak stakeholder yang hanya membuat jurnalis menjadi corong atau humas tanpa mengajak untuk membahas isu ini lebih dalam.

Wakil Ketua Forum Daerah Aliran Sungai Nasional Naik Sinukaban mengatakan saat ini Indonesia berada dalam krisis air tapi tidak sadar sedang mengalaminya. Sebab, kata dia, air adalah bagian yang dianggap sepele dalam kehidupan sehingga kerap dilupakan. “Orang kita selalu melihat air sebagai benda, tapi tidak pernah melihat dari mana asalnya,” katanya.

Selain minimnya kuantitas, kualitas air pun kian memprihatinkan. Air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat Jakarta saat ini adalah hasil dari pengolahan air limbah. Sebab, air tanahnya sudah tidak layak digunakan.

Sementara itu, Oxfam memprediksi pada 2025 sebanyak 321 juta jiwa penduduk Indonesia akan sulit mendapatkan air bersih. Naik sebesar 1,33 kali lipat dibandingkan penduduk yang kekurangan hari ini.

Direktur Kehutanan dan Konversi Sumber Daya Air Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Basah Hernowo mengatakan saat ini Indonesia sudah di ambang krisis air. Berdasarkan riset, air permukaan Pulau Jawa terus menyusut, saat ini hanya sebesar 4,2 persen. Padahal, kata dia, 57,6 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa dan jumlah penduduk itu akan terus bertambah.

Menurut Basah, saat ini umur air tanah di Bandung hanya tinggal ratusan tahun, setelah itu Bandung tidak akan punya air tanah lagi. "Kondisi Jakarta lebih parah," katanya. Kondisi air yang bagus seharusnya sebanyak 65 persen berupa green water, dan 35 persen blue water. Green water merupakan air yang bisa meresap ke tanah, sedangkan blue water adalah air yang mengalir.

Namun kondisi di Indonesia saat ini terbalik. Persentase blue water lebih besar daripada green water. Hal itu terjadi karena minimnya daya tampung tanah untuk menyerap air. “Semakin hari posisi semakin terbalik. Hujan turun langsung mengalir, tidak meresap,” ujar Basah. Akibatnya, saat musim kemarau Indonesia mengalami kekeringan sedangkan pada musim penghujan dilanda banjir.

MAYA AYU PUSPITASARI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agung Sedayu

Agung Sedayu

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus