Data

Deindustrialisasi di Era Jokowi

20 Oktober 2024 | 06.20 WIB

https://statik.tempo.co/data/2024/09/04/id_1333773/1333773_720.jpg
Perbesar

Pekerja menyelesaikan produksi air conditioner (AC) di LG Factory, Legok, Kabupaten Tangerang, Banten. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Minggu, 20 Oktober 2024 menjadi hari terakhir Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden setelah 10 tahun menjabat. Ia digantikan oleh Menteri Pertahanan saat ini yang juga bekas rivalnya di Pemilu Presiden 2014 dan 2019, Prabowo Subianto. Di penghujung jabatannya, fenomena deindustrialisasi semakin kencang yang ditandai penurunan kinerja sektor manufaktur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena deindustrialisasi di Indonesia disinggung oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) dalam outlook perekonomian Indonesia triwulan I. LPEM UI menyebut bahwa Indonesia tengah mengalami gejala deindustrialisasi dini. Padahal, ekspansi berkelanjutan sektor manufaktur telah menjadi contoh sukses di banyak negara yang mengalami kemajuan ekonomi.

LPEM UI menyebut bahwa gejala deindustrialisasi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dibuktikan dengan andil sektor industri pengolahan yang terus menyusut terhadap perekonomian nasional dan tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional. Akibatnya, pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi mencatatkan rata-rata terendah untuk porsi sektor manufaktur terhadap PDB.

Berdasarkan data yang didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi manufaktur terhadap PDB cenderung konsisten menurun sejak 2010. Sepuluh tahun lalu, sektor industri pengolahan masih mencatatkan andil terhadap PDB Indonesia di atas 20 persen per tahun. Namun, lima tahun kemudian, nilainya turun di bawah 20 persen. Tetapi, BPS mencatat bahwa andil manufaktur terhadap PDB tahun lalu meningkat dibanding 2022. Tren ini baru dua kali terjadi dalam 10 tahun terakhir.

Penurunan kinerja sektor manufaktur tahun ini juga dicerminkan oleh indeks manajer pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P Global. Lembaga tersebut mencatat bahwa meski nilai PMI Indonesia pada September 2024 naik ke 49,2 dari 48,9 di Agustus 2024, namun kinerja manufaktur Indonesia masih menurun secara marjinal dan sedikit melambat.  

Data Bank Dunia juga mencatatkan produktivitas sektor manufaktur yang terus menurun. Andil nilai tambah manufaktur Indonesia terhadap PDB pada 2022 berada pada angka 18,34 persen. Dibanding 20 tahun sebelumnya, angka tersebut menurun sekitar 10 persen.

Kinerja sektor manufaktur yang menurun menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) menimpa pabrik-pabrik di Indonesia. Data yang diperoleh dari Kementerian Ketenagakerjaan menemukan bahwa ada hampir 50 ribu buruh yang terkena PHK tahun ini, sebagian besar dari sektor garmen. Perlu digarisbawahi bahwa data tersebut hingga bulan Agustus. Di tahun 2023, ada hampir 65 ribu buruh yang terdampak PHK massal. Kinerja manufaktur yang melesu tersebut disebabkan berbagai faktor, mulai dari impor yang tak terkendali, daya beli yang melemah, serta penurunan permintaan dari pasar luar negeri.

Faisal Javier

Faisal Javier

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum