Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mungkin hanya orang-orang tua atau old school yang ngotot bahwa dunia digital belum akan menghancurkan bisnis konvensional. Tak perlu menjadi pakar dotcom atau meneliti seberapa besar penurunan pendapatan media cetak untuk mafhum soal ini.
Mari melongok pada industri taksi dan ojek. Mumpung di Indonesia, taksi dan ojek digital, seperti Uber, GrabTaxi, Go-jek, dan GrabBike, sedang menjadi omongan.
Di kota-kota besar, seperti New York dan London, kehadiran taksi digital, seperti Uber dan Lyft. Sebelum kehadiran taksi digital, rata-rata New Yorker dan Londoner umumnya mengeluarkan uang US$ 238 (sekitar Rp 3,2 juta) per tahun untuk membayar taksi. Di Jakarta, pasti lebih besar lagi, karena dari Senayan City ke Jatiwaringin saja sudah hampir Rp 100 ribu tarif sekali jalan. Setahun bisa dibayangkan berapa kali naik taksi bila berkantor di sekitar pusat belanja itu.
Sejak kehadiran taksi digital Uber dan Lyft, lanskap bisnis taksi berubah total. Taksi Uber dan Lyft merupakan layanan taksi berbasis digital. Orang tak perlu menelepon atau mencegat di jalan untuk mendapatkan taksi. Cukup unduh aplikasi, klik, dan pesan taksi. Taksi-yang tak perlu izin bisnis taksi, karena hanya memakai mobil pribadi biasa-akan datang menjemput. Enak, bukan?
Itulah sebabnya, popularitas taksi Uber dan Lyft meroket pesat. Uber, sampai Desember 2014, sudah membuka cabang di 266 kota dan 54 negara, termasuk di Jakarta, Bandung, dan Denpasar. Pendapatan mereka mencapai US$ 2 miliar dan tahun ini diperkirakan menembus angka US$ 10 miliar (sekitar Rp 13,5 triliun). Sekitar 20 persen dari angka itu dikantongi sebagai profit Uber. Lyft, yang datang belakangan, juga ketularan sukses. Pendapatan mereka mencapai US$ 250 juta dan membuka cabang di 70 kota.
Apa dampaknya terhadap taksi konvensional? Di New York, sopir-sopir taksi konvensional pun menjerit karena pendapatan mereka kini kalah dibanding sopir taksi Uber. Di New York, biasanya sopir taksi dalam setahun mendapat penghasilan US$ 31.553. Tapi sopir taksi Uber bisa meraih penghasilan US$ 63.128. Hal serupa terjadi di San Francisco. Pendapatan sopir taksi konvensional di sana rata-rata US$ 28.537, sedangkan pendapatan taksi uber US$48.921.
Betapa bisnis digital yang dipandang ecek-ecek oleh para pengusaha taksi konvensional kini mulai menggerogoti kue pasar.
Di Jakarta, mungkin Blue Bird dan Ekspres akan berkata, "Ah, itu kan di sono di Amerika. Di sini masih jauh."
Taksi Uber diam-diam juga sudah mencuri pasar. Para geek-seleb Twitter-mulai pindah ke taksi Uber. Awalnya, mereka menjajal Uber karena mobil taksinya memang mewah, seperti Alphard, Toyota Camry, atau sedan Mercedes. Namun, belakangan, mereka menjadi kecanduan karena kemudahan pemesanan dan murahnya ongkos taksi setelah Uber meluncurkan layanan UberX dengan mobil Avanza UberBlack dan layanan Toyota Innova. "Layanan Uber lebih murah 35 persen dari taksi biasa," begitu klaim General Manager Uber Asia Tenggara Mike Brown.
Penyedia layanan taksi asal Malaysia, GrabTaxi, juga ngiler melihat pasar taksi digital di Indonesia. Mereka menembak pasar taksi dan ojek dengan aplikasi GrabTaxi dan GrabBike. Layanan ojek GrabBike ini bisa meraih 8.000 pelanggan dalam waktu satu pekan.
Dunia digital telah membuka kotak Pandora.
*) Naskah ini dimuat juga di Koran Tempo 13 Juni 2014
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini