Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Membengkaknya biaya proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung dan keputusan pemerintah mengizinkan anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN untuk turut membiayainya disorot publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain biaya yang melonjak, proyek itu juga gagal memenuhi target awal penyelesaiannya yang direncanakan rampung pada 2019. Pada awalnya, proyek ini diperhitungkan membutuhkan biaya Rp 86,5 triliun namun kini membengkak Rp 27,74 triliun menjadi Rp 114,24 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyatakan, dalam hitungannya, dana senilai Rp 27,7 triliun bisa digunakan untuk menambah bantuan subsidi upah bagi 27,7 juta. Tiap orang akan mendapatkan bantuan subsidi Rp 1 juta.
Dana yang hampir tembus Rp 30 triliun itu juga dapat disalurkan dalam bentuk bantuan sosial (bansos) tunai bagi 45 juta orang, bila masing-masing diberikan Rp 600.000.
Jika dana itu digunakan untuk membangun infrastruktur, Bhima menyebutkan, minimal sepanjang 13.500 kilometer jalan aspal baru bisa dibangun di daerah luar Jawa. "Bahkan bisa membuat empat proyek jalur rel kereta api di Sulawesi,” ujarnya ketika dihubungi, Rabu, 13 Oktober 2021.
Lebih jauh, ia menilai, proyek kereta cepat hanya akan menjadi beban terhadap utang pemerintah yang meningkat secara langsung maupun tidak langsung.
Kalaupun konsorsium yang menerbitkan utang dengan jaminan pemerintah sekalipun, menurut Bhima, akan terdapat risiko kontijensi. Risiko itu muncul ketika BUMN mengalami tekanan dan berakibat pada neraca anggaran pemerintah.
Sedangkan beban utang yang meningkat bakal membahayakan APBN dalam jangka panjang. Apalagi target defisit anggaran pada 2022 masih berada pada level 4,85 persen dari PDB.
“Pemerintah juga harus menanggung pembayaran bunga utang Rp 405 triliun. Apakah proyek kereta cepat ini sudah diperhitungkan dalam APBN 2022?” kata Bhima.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya yang membuka opsi pendanaan Kereta Cepat Jakarta–Bandung melalui APBN demi kelangsungan mega proyek yang tersandung masalah pembengkakan biaya sebesar Rp 27,74 triliun itu. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93/2021.
Direktur Keuangan & Manajemen Risiko PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI Salusra Wijaya melaporkan bahwa kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung membengkak dari US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,5 triliun (kurs Rp 14.280 per dolar AS) menjadi US$ 8 miliar atau setara R p114,24 triliun.
Padahal pada lima tahun yang lalu yakni 2016, Jokowi pernah menyatakan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung tidak boleh memakai APBN. Saat itu, ia menyebutkan lebih baik uang negara dipakai untuk membangun infrastruktur di daerah, terutama luar Jawa.
“Saya tidak mau kereta cepat ini menggunakan APBN. Makanya pembangunan ini sepenuhnya pakai investasi. Nanti kalau pakai APBN saya ditanya lagi, Pak kok Jawa lagi, yang di luar Jawa kapan? Yang di Papua kapan? Selalu rakyat bertanya seperti itu,” kata Jokowi kala itu.
Belakangan, Jokowi meralat janjinya. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93/2021 yang ditekennya merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107/2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung. Salah satu poin utama yang terdapat dalam revisi beleid itu adalah proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung kini bisa didanai oleh APBN.
BISNIS
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.