Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung resmi mendapatkan Penyeraan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 4,3 triliun dari APBN. Suntikan modal ini diberikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI sebagai pimpinan konsorsium Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), perusahaan petungan konsorsium Indonesia dan konsorsium Cina, menyambut baik persetujuan PMN oleh pemerintah ini. Perusahaan optimistis proyek bisa segera diselesaikan setelah sempat tersendat akibat pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Masuknya investasi pemerintah melalui PMN bisa mempercepat penyelesaian pengerjaan proyek," kata Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi dalam keterangan resmi, di Jakarta, Senin, 1 November 2021.
Sebenarnya, Jokowi telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 93 Tahun 2021 yang mengizinkan APBN digunakan untuk dua tujuan di kereta cepat. Pertama untuk memenuhi kekurangan penyetoran ekuitas dasar (base equity).
Kedua untuk menutup pembengkakan biaya (cost overrun). Tapi karena audit cost overrun masih berjalan, maka PMN Rp 4,3 triliun ini baru digunakan untuk memenuhi kekurangan penyetoran ekuitas dasar.
Tempo merangkum struktur proyek, biaya, dan pendanaan untuk menggambarkan kembali kereta cepat ini. Berikut rinciannya:
1. Struktur Proyek
Nilai awal proyek ini mencapai US$ 6,07 miliar. Sebanyak 75 persen atau US$ 4,55 miliar dipenuhi oleh facility agreement atau kredit dari China Development Bank (CDB). Kesepakatan kredit ini sudah diteken pada 14 Mei 2017, dengan plafon US$ 4,55 miliar, tenor 40 tahun, dan masa tenggang 10 tahun.
Sementara sebanyak 25 persen atau US$ 1,52 miliar dipenuhi dalam bentuk ekuitas yang juga menggambarkan kepemilikan saham di tubuh KCIC. Dari US$ 1,52 miliar ini, sebanyak 40 persen atau US$ 610 juta ditanggung oleh konsorsium Cina yaitu Beijing Yawan HSR Co Ltd, yang berisi lima perusahaan:
-China Railway International Co Ltd (5 persen)
-China Railway Engineering Corporation (42,88 persen)
-China Railway Rollingstock Corporation (12 persen)
-China Railway Signal and Communication Co Ltd (10,12 persen) -Sinohydro (30 persen).
Sementara, konsorsium Indonesia yaitu PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebanyak 60 persen atau US$ 911 juta. Lewat Perpres 93, Jokowi sebenarnya menggeser pimpinan konsorsium dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk ke KAI. Akan tetapi, Perpres ini tidak mengubah komposisi saham di PSBI. "Komposisinya masih tetap seperti itu," kata Direktur KAI Didiek Hartantyo saat berkunjung ke kantor Tempo di Jakarta, Rabu, 3 November 2021. Adapun rinciannya yaitu:
-Wijaya Karya (38 persen)
-Kereta Api Indonesia (25 persen)
-PT Jasa Marga (Persero) Tbk (12 persen)
-PT Perkebunan Nusantara VIII (25 persen)
2. Struktur Biaya Awal Proyek
Dari total biaya US$ 6,07 miliar, kegiatan Engineering Procurement Construction (EPC) menyedot biaya paling banyak yaitu US$ 4,8 miliar atau 79 persen lebih. Lalu di bawah itu pembebasan lahan US$ 800 juta. Kedua komponen ini juga yang nantinya berkontribusi pada pembengkakan biaya kereta cepat.
Di dalam EPC ini, Wijaya Karya terlibat dalam 30 persen pengerjaan. Sementara sisa 70 persen dikerjakan semua perusahaan di dalam konsorsium Cina. Jumlahnya bukan lima, tapi enam, dengan tambahan China Railway Design Corporation (CRDC).
Adapun sisanya yaitu financing cost US$ 270 juta, HSR manajemen dan konsultan US$ 160 juta, head office dan pra-operasi US$ 10 juta, serta biaya-biaya lainnya.
3. Kekurangan Ekuitas Dasar Rp 4,36 Triliun
Sesuai dengan struktur proyek, porsi ekuitas konsorsium Indonesia yaitu sebanyak US$ 911 juta. inilah jumlah yang harus disetor PSBI ke KCIC. Tapi saat ini, setoran yang masuk baru US$ 614 juta. Sehingga, kekurangan setorannya mencapai US$ 297 juta atau sekitar Rp 4,36 triliun.
Rinciannya yaitu Wika sebanyak US$ 240 juta, PT Perkebunan Nusantara atau PTPN VIII sebanyak Rp 3,14 triliun, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan KAI Rp 440 juta. Saat ini, kemampuan penyetoran ekuitas dasar oleh keempat BUMN ini terdampak pandemi Covid-19. Maka, kekurangan Rp 4,36 triliun inilah yang bakal dipenuhi dengan PMN dari APBN.
Meski ada kekurangan penyetoran ekuitas, proyek sebenarnya sudah lebih dari separuh selesai. Per 22 Oktober 2021, progres pekerjaan sudah mencapai 79,3 persen. Tapi ini baru dihitung dari progres konstruksi berdasarkan perhitungan penyerapan nilai investasi, belum progres pengerjaan fisik langsung.
4. Pembengkakan Biaya US$ 1,9 Miliar
Lalu dalam proyek ini, muncullah pembengkakan biaya yang diestimasi mencapai US$ 1,4 sampai US$ 1,9 miliar. Kondisi ini dijelaskan Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI Salusra Wijaya.
Ia mengatakan porsi terbesar bengkaknya biaya proyek itu terjadi di sisi EPC dan pembebasan lahan. Menurut dia, pembebasan lahan untuk proyek sepur kilat ini cukup sulit lantaran jalur yang dilalui sangat luas dan melewati daerah komersial.
"Bahkan ada beberapa kawasan industri yang digeser, sehingga cukup costly untuk penggantian," ujar Salusra dalam rapat bersama Komisi BUMN DPR. Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 1 September 2021.
Apabila dirinci, kenaikan biaya EPC diestimasikan sebesar US$ 0,6 miliar sampai dengan US$ 1,2 miliar, kenaikan biaya pembebasan lahan sekitar US$ 300 juta, kenaikan biaya head office dan pra-operasi US$ 200 juta, kenaikan biaya pendanaan US$ 200 juta, dan kenaikan biaya lainnya US$ 50 juta.
Berdasarkan Perpres 93, pembengkakan biaya ini juga bisa ditutupi oleh PMN. Tapi saat ini, belum ada angka pasti karena masih diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kalau nanti hasil audit BPKP keluar, barulah besaran biaya yang perlu ditambah akan diputuskan oleh komite kereta cepat, yang diatur dalam Perpres 93. Komite ini dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.